RIAU ONLINE, PEKANBARU - Anggota Gabungan Koperasi Pegawai Negeri (GKPN) Riau hingga kini masih memperjuangkan dan mempertahankan tanah kavlingan GKPN Unit 2 di Km 17 Jalan Pekanbaru-Bangkinang.
Hal ini menjadi pembahasan dalam pertemuan yang digelar Minggu, 19 November 2023. Apalagi persoalan sengketa kepemilikan lahan ini telah bergulir selama beberapa tahun.
"Mereka berusaha mempertahankan haknya karena merasa itu alas hak yang benar, merasa terzolimi dengan adanya surat yang diduga palsu," jelas Kuasa Hukum GKPN Riau, Nuriman.
Tanah dengan surat dokumen diduga palsu dijual Tarji Supari kepada Napsijah Utami dan lainnya. Pemilik tanah kaplingan GKPN, Armaini dan lainnya sudah melaporkan dugaan surat palsu ini ke Mapolda Riau sekitar Desember 2022 lalu.
"Sampai sekarang prosesnya masih berjalan di Polda Riau, namun anggota GKPN merasa prosesnya lamban, karena dari Desember sampai sekarang belum ada perkembangan," ujarnya.
Padahal, saksi dari GKPN sudah menjalani pemeriksaan dan juga menyatakan dokumen alas hak kepemilikan lahan itu lengkap. "Sekarang tinggal Polda Riau sudah memeriksa terlapor yang mengaku memiliki 7 AJB yang diduga menyerobot tanah milik Tanah kaplingan GKPN," jelasnya.
Mereka menanti kejelasan itu sehingga dalam waktu dekat bakal mempertanyakan progres laporan yang ada. Apalagi para anggota GKPN ingin tahu kelanjutan proses laporan 7 AJB tersebut.
"Setahu kami, prosesnya memeriksa keaslian surat pelapor, ini sudah selesai. Cuma kita ingin tanyakan, apakah sudah sampai ke surat yang dilaporkan, ini belum jelas," paparnya.
Ada rencana pekan depan, para anggota GKPN bakal mempertanyakan perkembangan laporan mereka ke Polda Riau. Ia menyebut bahwa kondisi di lapangan sudah saling menyerobot.
"Kita tentu berusaha menjaga agar tidak terjadi hal tidak diinginkan, maka aparat keamanan bisa cepat menindaklanjuti laporan dari para pelapor," tegasnya.
Dirinya tidak ingin ada korban akibat bentrok penyerobotan lahan di kawasan tersebut. Ia menyebut bahwa anggota GKPN bakal turun ke lapangan menguasai lahan itu.
"Sekarang sudah dikuasai dengan penanaman sawit, walau investor Tarji Supari, yang bernama Murni Maryati Ningsih, memakai oknum untuk menguasai lahan itu," ungkapnya.
Dirinya menegaskan, para anggota GKPN tidak gentar dan tetap bakal memperjuangkan haknya. Luas lahan tersebut mencapai 15,8 hektar dengan total delapan surat tanah. Tanah ini dalam kondisi tumpang tindih dijual oleh Suparji dalam 8 AJB.
Tokoh masyarakat, Elviriadi menyatakan bahwa proses yang diajukan GKPN mestinya bisa dilayani secara transparan dan akuntabel. Baik yang sudah diajukan di Polda Riau, Kanwil BPN Riau maupun di instansi lainnya.
"Saya ke Jakarta, yang menjadi domain dari Ombudsman, yang mau saya laporkan adalah Kementerian ATR BPN Riau sudah tidak melayani selama dua minggu," paparnya.
Dirinya menilai pelayanan di Kantor Pertanahan Kabupaten Kampar dan Kanwil BPN Riau sudah molor menjawab surat laporan blokir 8 AJB tersebut. Ia berharap nantinya Ombudsman bisa mempertanyakan kinerja dari Kanwil BPN Riau.
"Kami ingin bertanya, kenapa surat dari GKPN tidak dilayani balasannya. Biasanya akan dipanggil kedua pihak, sehingga Ombudsman bisa menyimpulkan dan merekomendasi hasil temuan, sebagai kekuatan GKPN," ujarnya.
Menurutnya, rekomendasi sebagai hasil kesimpulan Ombudsman ini punya produk hukum yang tinggi sehingga nantinya bisa disampaikan ke Polri untuk pidana atau ke KSP untuk pencopotan jabatan.
Saat ini yang tidak atau belum sinkron dengan kondisi GPKN yaitu surat yang diterbitkan desa berdasarkan tetua adat sehingga menjadi SKT. Ia menilai hal itu baru rencana Murni untuk meminta pengakuan ke Ketua Adat Air Tiris.
Mereka sudah membahasnya dengan perjanjian akan membayar dengan dicicil dua kali. Meskipun dalam sidang No.128 di pengadilan negeri ada surat keterangan dari Datuk Talak yang dijadikan bahan bukti oleh Tardji, Utami dan Murni.
"Kita berharap ini harus diusut tuntas, asal perkara ini dengan terbitnya surat dari desa, sehingga dari sini muncul permasalahannya, dimana surat dari surat tetua adat itu tidak bisa dikonversi menjadi hukum positif, yaitu SKT," paparnya.
Lebih lanjut ia menyampaikan, awalnya pihak lawan seolah mendapat pengakuan dari kedatukan. Tapi berdasar hukum agraria, hal itu tidak bisa dikonversi menjadi hukum positif.
"Tidak bisa Kades mengeluarkan, itu namanya tanah ulayat, itu dualisme yang berbeda. Saya jelaskan, kalau begitu itu tanah wilayah adat, pengakuannya non struktural oleh struktur adat," pungkasnya.