Cerita Tragis di Balik PLTA Koto Panjang, 10 Desa dan Habitat Satwa Tenggelam

PLTA-Koto-Panjang1.jpg
(Media Center Riau)

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Koto Panjang, Kabupaten Kampar, menjadi yang terbesar di Provinsi Riau. PLTA ini menggunakan air Sungai Kampar dan Sungai Batang Mangat sebagai penggerak turbinnya dengan saluran masuk di daerah Rantau Berangin.

PLTA Koto Panjang memiliki kapasitas terpasang 3 x 38 megawatt (144 WW). Namun akan menyusut saat musim kemarau dan hanya menghasilkan 60 MW. Hal ini disebabkan terbatasnya debit air sungai tersebut. Produksi rata-rata per tahun sebesar 542 GWH.

PLTA memiliki konstruksi dam beton tipe "concrete gravity" setinggi 58 meter, sehingga terbentuk waduk seluas 124 km² dengan kapasitas tampung 1.545 juta m³ dan kapasitas tampung 1.545 juta m³. Ketinggian muka air waduk maksimal 85 meter dari permukaan laut (dpl), muka air normal 83 mdpl dan minimum 73 mdpl. 

Tapi siapa sangka? Ada cerita tragis di balik pembangunan PLTA ini. Masyarakat dari 10 desa harus merelakan kampungnya ditenggelamkan. Sedangkan 4.886 KK yang mendiami 10 desa tersebut harus dialihkan ke pemukiman baru yang lokasinya sebagian besar berdekatan dengan waduk PLTA.

Mereka harus pindah dan membangun kehidupan baru di Desa Pulau Gadang, Koto Masjid, Ranah Sungkai, Lubuk Agung, Batu Bersurat, Binamang, Pongkai Baru, Pongkai Istiqomah, Tanjung Alai, Muara Takus, dan Koto Tuo. 

Sebagian masyarakat di desa tersebut menggantungkan hidupnya dari bertani dan menjadi nelayan. Beberapa di antaranya juga berdagang, tukang, pensiunan, dan PNS.



Tak hanya desa dan pemukiman warga yang harus dikorbankan, pembangunan PLTA ini juga merendam habitat terestrial (daratan) bagi satwa. 

Bahkan sebelumnya, lokasi PLTA kini merupakan satu dari kantong gajah Sumatera di Riau. Demi terbangunnya PLTA, gajah-gajah harus direlokasi ke Pusat Pelatihan Gajah (PLG) Minas. Ditambah lagi, terjadi perubahan ekosistem sungai.

Pembangunan PLTA Koto Panjang bertujuan untuk mengantisipasi laju pembangunan di Provinsi Riau, khususnya dalam memenuhi kebutuhan tenaga listrik jangka panjang, serta memacu pertumbuhan ekonomi masyarakat di hulu dan hilir Koto Panjang.

Sayangnya, kini debit air di PLTA Koto Panjang sering tidak stabil. Saat kemarau, debit air berkurang drastis sehingga tidak mampu menggerakkan turbin. Sedangkan musim hujan, permukaan air melebihi debit normal yang mengakibatkan area sepanjang sungai rawan banjir.

Masalah ini muncul di antara penyebabnya karena daerah resapan air di Koto Panjang sudah sangat memperhatikan. Luasan hutan berkurang secara signifikan, lebih kurang 73,40 persen dari yang ada sebelumnya. Penebangan hutan tidak terkendali, alih fungsi perkebunan sawit dan karet juga mempengaruhi debit air di bendungan.

Meski begitu, PLTA Koto Panjang menyuguhkan keindahan alam. Flora dan fauna masih dapat ditemukan di sekitar PLTA, seperti vegetasi hutan tropis semacam kempas, kruing, meranti resak, jelutung, rengas. Adapula pohon pionir seperti mahang, senduk-senduk, medang, dan terap. Sedangkan Fauna seperti bajing, landak, kukang, harimau, dan berbagai macam jenis burung hidup di sana.

Tak jauh dari PLTA, terdapat Candi Muara Takus, situs candi Buddha peninggalan sejarah di Desa Muara Takus.

Artikel ini ditulis A.Bimas Armansyah, peserta program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di RIAU ONLINE