Kenaikan TPP Disenangi ASN, Tapi Lukai Hati Rakyat

Tito-Handok.jpg
(Istimewa)

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Kenaikan Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) disambut sukacita oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Pemprov Riau. 

Namun, di sisi lain kenaikan TPP tersebut justru melukai hati rakyat Riau. Pasalnya, kenaikan tambahan penghasilan tersebut berkisar antara 17 hingga 30 persen. 

Angka tersebut dianggap tidak wajar oleh Pengamat Pemerintahan Universitas Riau, Tito Handoko. 

"Kenaikan TPP ini pegawai suka. Tapi melukai hati rakyat karena melihat persenan yang diperoleh. Harusnya sampai 15 persen saja," ungkap Dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Riau, Rabu, 22 Februari 2023.

Secara regulasi, jelasnya, tentu Pemprov sudah melakukan kajian TPP sesuai dengan kemampuan daerah. 

Secara filosofis, kata Tito,  kenaikan karena dari kemampuan kinerja dan simpatik orang untuk bekerja secara penuh terlepas itu berdampak  atau tidak. Tentunya setelah penerimaan TPP.

"Dengan adanya kajian tentunya pemprov pun melakukan penetapan dan analisa sesuai dengan kelompok jabatan," jelasnya.

Pasca mendapat TPP pun, kata Tito mengingatkan, perlu dilihat adakah perubahan kinerja para pegawai terkait layanan misalnya.

Kemudian, secara politis perlu diingat juga karena ini kejadian setelah Covid-19. Ini akan menjadi perdebatan publik.

"Dengan kondisi masyarakat yang belum stabil secara ekonomi karena tumbuhnya lambat, hanya beberapa kawasan yang tumbuhnya bagus. Kenaikan TPP tersebut menjadi orang berpendapat kurang sesuai pada skala mikro. Sementara bagi pegawai suka," ungkapnya.


Menurutnya, alangkah lebih baik uang tersebut didistribusikan untuk kecepatan penanganan ketahanan pangan, infrastruktur, dan sebagainya.

"Pemerintah hanya memikirkan diri sendiri tapi tidak memikirkan masyarakat secara luas. Untuk itu kita perlu melihat dari dua sisi yakni dari pemerintah dan publik," tegasnya.

TPP yang didapat Sekda mencapai Rp90 juta itu dikatakannya besaran itu sudah melalui kajian tim seperti BPKAD, Bapeda, dan Bapenda. Kajian itu sudah sesuai tanggung jawab dan beban.

"Besaran itu sebenarnya tergantung persepsi. Namun, melihat angka perekonomian saat ini itu termasuk besar apalagi bagi masyarakat yang berada di pedalaman Meranti, Inhil, dan lainnya. Kalau masyarakat kesusahan tentunya kenaikan TPP itu melukai hati masyarakat," terangnya.

Sementara, masyarakat yang berada di dalam sana belum mendapat sentuhan pembangunan. Itu yang harus dilihat secara jernih.

Persoalan kuantifikasi TPP itu, kata Tito, dilihat besaran tanggung jawab yang diemban dan tugas yang harus dijalan. Itu dari pihak Pemprov. 

"Jika dari level mereka ada perdebatan (TPP naik besar dan sedikit). Soal itu artinya ada ketidakpahaman soal TPP yang disusun apalagi di tingkatan di level bawah dengan penyandang kesejahteraan sosial. Tentunya, masyarakat sedih mendengar kenaikan itu," ujarnya.

Lebih jauh, itulah problem yang tidak bisa dilihat dari satu sisi. 

ASN senang mendapat TPP tersebut meski besarannya berbeda. Alangkah baiknya persentase itu tidak perlu dijelaskan secara signifikan. 

"Naiklah sewajarnya saja 10 sampai 15 persen saja. Tapi kalau sampai 30 persen itu tidak wajar," tegasnya.

Katanya, pada aspek birokrasi perlu juga ada perhatian untuk honorer. Dari persepsi publik, itulah yang membuat mereka tidak terima.

Sekarang, tantang Tito,  apa bukti kerja nyata pemerintah dalam hal peningkatan kesejahteraan?

Lagi-lagi ia pun menegaskan tidak wajar kenaikan TPP apalagi jika melihat alasan naiknya karena inflasi, BBM, biaya pokok dan anak. 

"Sekarang pertanyaannya apakah pemerintah juga memikirkan biaya tersebut dari masyarakat. Jangan begitu dalilnya. Meski sebenarnya ada yang sepakat dan tidak. Jujur saja saya mewakili publik kenaikan TPP melukai rasa keadilan masyarakat," tutupnya.