The Power of Emak-emak Dinilai Ampuh Kurangi Jumlah Perokok

Ilutrasi-rokok-batangan.jpg
(Liputan6.com)

RIAU ONLINE - Wacana pemerintah untuk melarang penjualan rokok batangan menimbulkan polemik di tengah masyarakat dan mendapat perhatian dari sejumlah akademisi, dengan potensi kebijakan yang tidak efektif jadi sorotan utama. Edukasi sosial pun dinilai berperan penting.

Menurut Guru Besar Sosiologi Ekonomi Universitas, Airlangga Bagong Suyanto, wacana pelarangan penjualan rokok batangan tak sepenuhnya bisa menjadi solusi yang tepat jika tujuannya untuk mengurangi konsumsi rokok. Bagong menilai perlunya kembali menggali kesadaran akan bahaya rokok.

"Mengerem kebiasaan merokok masyarakat tidak cukup hanya melalui pelarangan, tapi perlu mengubah kesadaran. Ini adalah soal pemahaman mengenai bahaya rokok itu sendiri yang perlu digali dan dipulihkan kembali. Perokok yang telah kecanduan akan tetap membeli rokok meskipun tidak dapat lagi membeli secara batangan," ujarnya seperti dikutip dari situs resmi Universitas Airlangga, dikutip dari Suara.com, Senin, 2 Januari 2023.

Bagong pun mendorong adanya edukasi untuk mempromosikan cara menciptakan nilai baru dari bahaya rokok, kejahatan rokok. Bagong menyebut, tokoh-tokoh lokal termasuk emak-emak memiliki peran edukasi mengurangi jumlah perokok.

"Biasanya, suami-suami itu nurut kalau istri yang meminta. The power of emak-emak, bahasa kerennya, diperlukan juga untuk mengembangkan gerakan perempuan dan anak anti rokok," sambungnya.

Edukasi sosial ini menjadi penting, sebab menurut Bagong, dalam tatanan masyarakat yang memang menutup mata atas bahaya merokok, adanya iklan yang mengajak untuk berhenti merokok pun bakal tidak efektif.

Sementara itu, pengamat sosial Universitas Katolik Parahyangan Garlika Martanegara cukup pesimistis dalam memproyeksikan implementasi wacana kebijakan ini. Bukan cuma tidak efektif, Garlika menilai jika dijalankan, wacana kebijakan justru bakal memicu masalah-masalah baru.


"Misal saya beli rokok kemasan, kemudian saya datang ke pangkalan ojek, dan menjualnya secara ketengan, bisa saja pelanggarannya seperti itu. Apa iya setiap ada orang berkumpul kemudian para penegak hukum akan mendatangi dan tanya rokoknya dari mana?" Garlika mengkritisi.

Tantangan terberat saat wacana kebijakan ini diterapkan adalah pengawasan. Karenanya, kata Garlika, penerapan wacana kebijakan ini pasti tidak akan berjalan mulus, justru bakal menumbuhkan pelanggaran-pelanggaran baru.

Selain itu, larangan penjualan rokok batangan dinilai Garlika akan mematikan para usaha kecil seperti pedagang asongan. Pasalnya, konsumen utama pedagang asongan adalah warga sekitar di mana pedagang asongan tersebut berjualan.

"Menurut saya, lebih arif dan bijak kalau wacana kebijakan ini ditinjau kembali. Penjualan ketengan jangan dilarang karena itu akan mematikan usaha kecil. Sehingga pada akhirnya, kebijakan yang tujuannya ingin menyehatkan tapi berujung mematikan usaha kecil. Saya yakin ini tidak akan berhasil," imbuhnya.

Secara terpisah, pengamat pendidikan Universitas Lampung (Unila) M Thoha B Sampurna Jaya mengatakan, pelarangan tersebut tidak efektif jika diukur dari persentase remaja yang merokok.

"Pastilah tidak efektif karena jumlah remaja semakin banyak, baik secara absolut maupun relatif," katanya.

Maka dari itu, menurut Thoha akan lebih efektif menekan remaja untuk tidak merokok bila adanya sinergitas antara pihak orang tua dengan guru dalam membina siswanya.

"Pelarangan ini juga bukan hanya berdampak pada pelajar, juga berdampak pada perokok dewasa yang tingkat pendapatannya yang pas-pasan," pungkasnya.