Polisi Tusuk Polisi di SPN Polda Riau, Kriminolog: Bahaya Kalau Sudah Dizinkan Pegang Senjata

Ilustrasi-penusukan.jpg
(Liputan6.com)

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Peristiwa pertengkaran polisi dengan polisi kembali terjadi di Polda Riau. Kali ini seorang personel junior, Bripka WF, menusuk seniornya, Aiptu Ruslan, sebanyak dua kali hingga tewas di SPN Polda Riau, Selasa, 20 Desember 2022, sekitar pukul 19.30 WIB.

Akibatnya, Aiptu Ruslan mengalami pendarahan di bagian bahu sebelah kiri dan bawah ketiak hingga mengenai organ viral korban.

Menanggapi peristiwa itu, Kriminolog dari Universitas Islam Riau (UIR), Kasmanto Rinaldi, mengatakan perlu menilik profil antara pelaku dan korban. Sebagai polisi, katanya, ada hal-hal tertentu yang menjadi karakter dalam dirinya.

"Misalnya emosional, cepat mengambil keputusan, gampang tersinggung. Karena dia dibekali seragam, jadi merasa berat hati kalau direndahkan. Jadi penolakan dia terhadap perlakuan orang tak bisa diterimanya," ujarnya, Rabu, 21 Desember 2022.

Dalam adaptasi pelaku, lanjut Kasmanto, pelaku merasa level status sosialnya naik jadi tak pantas lagi direndahkan. Ia pun menjelaskan, situasi itulah yang membuat pelaku gampang melakukan suatu tindakan yang tak masuk akal.

"Itu sulit terkontrol oleh si pelaku. Jadi sebenarnya persoalan yang sederhana, kemudian di dramatisir oleh sudut pandangnya yang subjektif, inilah yang membuat keputusan di luar nalar kita," terang Kasmanto.

"Dalam konteks kriminologi itu, pasti ada pola interaksi antara pelaku dan korban dalam kasus penusukan atau pembunuhan. Ada pemancing masalahnya. Meskipun kita tak bisa benarkan bahwa korban layak dibunuh," sambungnya.

Menurut dia, pendidikan di kepolisian itu punya orientasi dan pola yang khusus, jadi kalau disiplinnya ketat itu mempengaruhi perilaku yang dididik.

"Cuma dalam konteks kasus ini kabarnya kan dia sudah mencari jalan keluar dengan membawa orang tua menjumpai petinggi atau penanggungjawab, namun belum terselesaikan," ungkapnya.

Hal itulah yang membuat Kasmanto merasa aneh, sebab pelaku berani mengingat dalam pendidikan kepolisian itu ada hierarki yang sangat ketat.

"Keanehannya di situ. Kenapa emosinya bisa memuncak sementara dia sudah menjumpai atasannya. Makanya selain pola interaksi antara pelaku dan korban tadi, atau persoalan personal, mungkin saja ini sudah akumulasi kekesalannya terhadap korban. Ini irasional," jelas Kasmanto.

"Penyebab pelaku berani melakukan penusukan ini yang penting. Makanya latar belakang pelaku perlu dideteksi karena kalau dibiarkan akan berdampak pada institusi kepolisian, bahkan juga ke masyarakat," lanjutnya.

Ia meragukan jika pihak kepolisian masih di pendidikan sudah bersikap demikian. Tentu, katanya, hal itu berdampak di kehidupan masyarakat nantinya.

"Kebayang nanti kalau sudah dapat izin pegang senjata. Karena ini membahayakan banyak pihak. Nanti mereka menemukan masyarakat di lapangan main tempeleng saja," katanya.

"Jadi dari kasus ini bagaimana seorang polisi harus punya kontrol emosional. Itu tak bisa ditawar. Bukan hanya tusuk-menusuk, tapi ketika dia berani mengambil tindakan ekstrim sementara dia seorang aparat penegak hukum, ini resiko yang besar bagi institusi Polri," tutup Kasmanto.