Kompetensi Komunikasi dalam Meningkatkan Pelayanan Kesehatan

Ilustrasi-layanan-kesehatan.jpg
(Istimewa)

Oleh: Eka Fitri Qurniawati, M.I.Kom & Nurul Eka Oktalisa, S.I.Kom

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Pelayanan kesehatan menentukan terlaksananya jaminan kesehatan bagi masyarakat. Pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan seperti rumah sakit agar dapat memberikan pengobatan bagi masyarakat yang sedang sakit. Pelayanan kesehatan menjadi salah satu faktor penting untuk menunjang kesembuhan pasien yang berobat di rumah sakit. Kepuasan pelayanan rumah sakit memberikan kondisi emosional yang positif kepada masyarakat yang melakukan pengobatan. Begitu juga sebaliknya, kondisi emosional yang buruk akan menyebabkan pasien kesulitan dalam proses penyembuhannya (Sandiata, 2013).

Rumah sakit sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan memiliki peran yang sangat strategis dalam menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas sebagai upaya mempercepat peningkatan derajat kesehatan secara menyeluruh, merata, terjangkau dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat. Peran strategis ini didapat karena rumah sakit merupakan fasilitas pelayanan kesehatan yang padat, model, padat karya dan padat teknologi. Selain itu juga menerapkan nilai sosial dan etika serta harus mempertimbangkan segi ekonomi agar rumah sakit dapat berkembang terus.

Fungsi utama rumah sakit adalah sebagai wadah pelayanan rawat jalan, gawat darurat, pelayanan medik, dan non medik. Maka pengelolaan sumber daya manusia sangat diperlukan dan bagian terpenting dalam manajemen rumah sakit terhadap peningkatan kualitas pelayanan yang diberikan (Riauan, 2017). Permasalahan pelayanan kesehatan menjadi variabel penting dari faktor meningkatkan pelayanan kesehatan. Tenaga medis harus mampu memperhatikan kualitas pelayanan yang diberikan kepada pasien mulai dari proses administrasi hingga proses pengobatan dan pemberian obat di farmasi.

 

Seiring dengan meningkatnya jumlah pasien Rumah Sakit, maka beban kerja masing-masing tenaga medis menjadi sangat tinggi. Hal ini memberikan dampak terhadap pelayanan kesehatan, oleh karena itu dirasa perlunya memaksimalkan pemahaman bagi Tenaga Medis untuk tetap mempertahankan efektivitas komunikasi yang dilakukan dalam pelayanan kesehatan guna meningkatkan pelayanan melalui keterampilan komunikasi khususnya komunikasi terapeutik, kesadaran tenaga medis untuk aktif melakukan interaksi sosial, memiliki kemampuan menyimak dengan penuh perhatian keluhan dari para pasien dan masyarakat, menunjukkan penerimaan yang baik, aktif untuk mengeksplorasi keluhan pasien demi mendapatkan pelayanan atau pengobatan yang tepat kepada pasien.


Tak hanya itu, tenaga medis juga memerlukan informasi terkait kompetensi komunikasi sebagai bentuk solusi bagi pasien atau masyarakat setelah mendapatkan pelayanan kesehatan. Berbicara tentang kompetensi komunikasi erat kaitannya dengan komunikasi efektif guna meningkatkan pelayanan. Silverman menjelaskan bahwa komunikasi efektif tidak berhenti sampai pemberi pesan (komunikator) selesai menyampaikan maksudnya. Komunikasi baru dapat dikatakan lengkap ketika pembicara (komunikator) mendapatkan umpan balik dari penerima (komunikan) yang meyakinkannya bahwa tujuan komunikasinya tercapai (komunikan memahami sesuai yang diharapkan).

Oleh karena itu, penting mengidentifikasi beberapa kebutuhan dasar masyarakat yang akan ditangani di Rumah Sakit atau pelayanan kesehatan lainnya. Adapun diantaranya: Informasi mengenai preferensi latar belakang budaya, preferensi dan kebutuhan mobilitas, agama atau spiritual, komunikasi dan kebutuhan, serta lainnya adalah penting bagi petugas pelayanan kesehatan untuk membantu dalam proses penerimaan pesan guna merencanakan akomodasi dan layanan yang sesuai.

Tak hanya itu dalam meningkatkan kompetensi komunikasi sangat diperlukan 5S, yakni senyum, sapa, salam, sopan, dan santun. Staff atau pelayan kesehatan lainnya harus memiliki attitude atau sikap yang sopan santun, ramah tamah kepada masyarakat khususnya pasien di Rumah Sakit. Harus senyum dan menyapa dengan salam, senyum merupakan bentuk awal sebelum terjadinya interaksi, kemudian dilanjutkan dengan salam seperti Assalamu’alaikum, selamat pagi, selamat siang dan sebagainya, selanjutnya sapaan yang ramah seperti bapak/ibu ada yang bisa saya bantu? Atau sekedar budaya basa-basi guna membangun interaksi.

Apabila hal ini diterapkan maka pasien akan merasa senang dan dampaknya akan positif yakni mampu meminimalisir penyakit semakin parah dan kemungkinan untuk sembuh semakin cepat. Selain itu, dilihat berdasarkan perspektif kompetensi komunikasi tenaga medis, sebagai berikut: seorang pasien yang tidak mendapatkan perilaku 5S+1M (senyum, sapa, salam, sopan, santun, motivasi) bahkan tidak terjadi komunikasi atau interaksi sama sekali antara tenaga medis dan pasien maka kesembuhan dari pasien tersebut cenderung lama dan kemungkinan semakin parah juga ada karena stigma yang dibangun oleh pasien dari perlakuan yang dia dapatkan.

Sedangkan, pasien yang mendapatkan perilaku kompetensi komunikasi 5S+1M akan membentuk stigma bahwa dia akan sembuh dengan dorongan tenaga medis yang ramah dan terus memotivasi pasien akan sembuh, hal ini membuat pasien sembuh lebih cepat. Oleh karena itu, perlakuan 5S+1M ini dapat menentukan rentang kesembuhan seorang pasien, maka sebaiknya kompetensi komunikasi 5S+1M ini wajib dilakukan oleh dokter dan tenaga medis lainnya guna memberi dampak yang sangat besar dalam meningkatkan layanan kesehatan.