4 Aset Bersejarah di Indonesia dari Wakaf, Ada Sumbangan Rakyat Minangkabau

Replika-Pesawat-Avro-Anson-RI-003.jpg
(dok. TNI AU via Kumparan)

RIAU ONLINE - Indonesia mengatur wakaf melalui Undang-Undang Nomor 41, tahun 2004. Namun, perkembangannya dimulai sejak Islam memasuki Nusantara dan terus bertransformasi hingga kini.

Pada gilirannya perjalanan evolisi wakaf sangat berkontribusi terhadap negara. Wakil Ketua Pelaksana Badan Wakaf Indonesia, Imam T. Saptono, mengatakan wakaf di Indonesia memiliki andil penting, terutama di sektor pembangunan fasilitas umum nasional. Imam menyebut, peran wakaf di sektor ini telah ada sejak era kemerdekaan.

Jadi, tak heran negeri ini memiliki beragam aset penting bernilai sejarah yang diperoleh dari hasil wakaf. Apa saja? Berikut ulasannya, sebagaimana dilansir dari Kumparan, Minggu, 6 November 2022.

1. Emas di Puncak Monas

Monumen Nasional atau yang hingga kini dikenal sebagai Monas, sudah menjadi wisata ikonik ibukota Jakarta yang menyimpan sejarah perjuangan di Indonesia. Ternyata, ada campur tangan pengusaha tanah air dalam pembangunannya.

Ialah Teuku Markam, sosok pengusaha asal Aceh yang mewakafkan puluhan kilogram emas dalam pembangunan Monas pada 1961. Emas pun telah menghiasi puncak Monas.

Berawal ketika Presiden Soekarno yang hendak membangun Monas sebagai proyek kebanggaannya. Kala itu, dibutuhkan anggaran sebesar Rp358.328.107,57 untuk membangun proyek Tugu Monas tersebut. Untuk memperoleh anggaran yang cukup besar itu, Soekarno pun harus mendari donatur yang dermawan.

Teuku Markam dan Monas

Teuku Markam, pengusaha asal Aceh penyumbang 28 kilogram emas untuk Monas (Istimewa via Kumparan)

Singkatnya, Soekarno menemuni Teuku Markam. Teuku Markam lantas menyumbangkan atau memberikan wakaf 28 kilogram emasnya untuk pembangunan Tugu Monas.

Selain Teuku Markam, pengusaha bioskop di seluruh Indonesia juga turut menjadi donatur untuk proyek pembangunan Monas. Tercatat dalam sejarah, bahwa 15 bioskop menyumbang hingga terkumpul Rp 49.193.200,01 dalam rentang waktu November 1961 hingga Januari 1962.

2. Pesawat Angkut Pertama, Dakota DC-3-RI-001 Seulawah

Dakota RI-001 Seulawah menjadi aset bersejerah hasil wakaf pertama di Indonesia. Pesawat angkut ini adalah yang pertama milik bangsa Indonesia.


Seulawah sendiri berasal dari padanan makna gunung emas dalam bahasa Indonesia. Nama itu disematkan kepada unit pesawat lantara dibeli dari hasil patungan rakyat Aceh, yang nilainya setara 20 kg emas.

Pesawat Seulawah menjadi muasal perusahaan penerbangan pertama di tanah air, yakni Indonesia Airways, yang merupakan cikal bakal Garuda Indonesia dewasa ini.

Ide sumbangan ini diprakarsai oleh KSAU Laksamana Udara, Soejardi Soerjadarma. Ia bahkan membentuk biro untuk menyiapkan 25 model pesawat Dakota.

Singkat kisah, Kepala Biro Propaganda TNI AU, OMU I J. Salatun, ditugaskan menemani Presiden Soekarno untuk mencari dana sumbangan ke Pulau Sumatera. Di sana, Soekarno menyampaikan pidato yang membangkitkan semangat patriotisme masyarakat Aceh agar berkontribusi menyumbang pesawat angkut pertama di Indonesia.

Berawal dari pidato Soekarno di Hotel Atjeh pada 16 Juni 1948 kemudian terkumpul sumbangan melalui kepanitian yang diketuai Djuned Yusuf dan Said Muhammad Alhabsji.

Dari dari sekian banyak penyumbang, terdapat nama Nyak Sandang. Ia sempat bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, pada Maret 2018. Ketika itu berkisah bahwa di tahun 1948, dirinya dan keluarga menjual sepetak tanah yang ditanami 40 pohon kelapa, untuk berkontribusi dalam pengadaan pesawat Dakota dulu. Selain itu, ia juga menyerahkan 100 gram emas dan hartanya yang dihargai Rp 100 di kala itu.

Dakota DC-3 RI-001 Seulawah

Pesawat angkut pertama, Dakota DC-3 RI-001 Seulawah (dok. TNI AU via Kumparan)

Berkat wakaf harta rakyat Sumatera, khususnya Aceh, Pesawat Dakota RI-001 Seulawah menjadi pembuka jalur penerbangan Jawa-Sumatera hingga luar negeri. Wakil Presiden Mohammad Hatta sempat berkeliling Sumatera menggunakan pesawat ini pada November 1948. Selain itu, Dakota pun pernah digunakan untuk pemotretan udara di atas Gunung Merapi pada 4 Desember 1948.

Tak sampai di situ, perjalanan Dakota berlanjut pada 6 Desember 1948. Ketika itu Dakota bertolak ke Kalkuta, India, untuk urusan diplomasi luar negeri. Namun, Agresi Militer Belanda II yang berkecamuk membuat pesawat ini tak bisa kembali ke Indonesia. Untuk mempertahankan kemerdekaan RI, dibentuklah perusahaan maskapai di Birma (Myanmar) dengan jenis Pesawat Dakota RI-001.

Masa operasi yang sudah tua membuat Dakota berhenti mengudara seiring perkembangan teknologi. Namun sampai kini, Dakota tetap dikenang sebagai pioner pertama maskapai penerbangan komersial di Indonesia.

Seiring perkembangan teknologi, pesawat Dakota berhenti mengudara karena faktor masa operasi yang sudah tua. Hingga kini, Dakota tetap dikenang sebagai pionir pertama maskapai penerbangan komersial di Indonesia.

3. Pesawat Avro Anson RI-003

Masyarakat Minangkabau, Sumatera Barat, ternyata berperan besar dalam pembelian Pesawat Avro Anson RI-003. Kala itu Wakil Presiden Indonesia, Mohammad Hatta, membentuk panitia pengumpulan dana. Dana yang terkumpul mencapai nilai 14 kilogram emas pada tahun 1947 dan dibeli di Thailand.

Replika Pesawat Avro Anson RI-003

Monumen Replika Pesawat Avro Anson RI-003 di Lanud Sutan Syahrir Padang (dok. TNI AU via Kumparan)

Warga setempat menyambut gembira pesawat terbang buatan Inggris tipe Dakota RI-003 yang datang dari Lanud Maguwo, Yogyakarta, melintasi Lanud Gadut, Agam, Sumbar. Pesawat itu dibeli untuk diterjunkan ke medan perang saat Agresi Militer Belanda II berkecamuk. Ini menjadi salah satu strategi untuk menyelamatkan dan mempertahankan kemerdekaan RI agar tak direbut kembali oleh Belanda.

Kini, pesawat wakaf tersebut diabadikan lewat monumen replika Pesawat Avro Anson RI-003 yang dapat disaksikan di Lanud Sutan Syahrir, Padang.

4. Bundaran di Stadion Utama Gelora Bung Karno

Stadion Gelora Bung Karno menjadi salah satu stadion termegah di Asia Tenggara. Menurut Wakil Ketua Pelaksana Badan Wakaf Indonesia, Imam T. Saptono, salah satu bagian infrastruktur stadion, yaitu lingkaran, dibangun dari dana wakaf.

Stadion Gelora Bung Karno di malam hari

Stadion Gelora Bung Karno di malam hari. (Shutterstock via Kumparan)

Meskipun Indonesia memiliki banyak aset wakaf di masa lalu, akan tetapi pencatatan di keuangan negara masih belum rapi. Padahal, dengan mencatat aset wakaf, maka lembaga-lembaga wakaf dapat menjadi penopang untuk masyarakat jika terjadi krisis.