Kisah Badut yang Menggantung Asa di Balon Warna-warni

Badut-penjual-balon.jpg
(TIKA AYU/RIAUONLINE)

RIAUONLINE, PEKANBARU - Mengenakan atribut badut warna-warni, mulai dari baju hingga topeng yang lucu merupakan upaya Syafril setiap kali turun ke jalan.  

Dengan segenggam balon berwarna-warni, ia berjalan menyusuri Kota Pekanbaru menjajakan balon dagangannya.  

Tak seperti penjual balon umumnya, Syafril mengenakan pakaian khas badut untuk menarik perhatian masyarakat.

Pria berambut putih dengan perawakan kecil itu sudah menjadi badut penjual balon sejak Juli 2022. Kendati sudah menginjak usia senja, 64 tahun, tak sekali pun Syafril absen dari pekerjaan, meski tubuhnya kini tak lagi sekuat dan sesehat dulu.

"Karena ada infeksi paru, pantangannya nggak boleh berembun, berdebu. Kalau di jalan banyak debu yang mau dibagaimanakan lagi caranya, tapi ginilah awak cari makan, kalau di rumah aja uang dari mana. Ya usaha," ungkapnya kepada RIAUONLINE.CO.ID, Kamis, 3 November 2022.

Syafril didiagnosa mengidap infeksi paru lebih dari 4 tahun, terhitung sejak 2018. Sambil menggenggam inhaler yang baru saja habis, Syafril mengaku pernapasan kian rentan sesak. Terlebih lagi, setiap harinya ia harus berjalan berpuluh-puluh kilometer melewati jalanan yang penuh debu dan asap kendaraan.

Butuh perjalanan panjang dari rumahnya di Jalan Harapan Raya, Gang Gurami, menuju Jalan Kereta Api atau Simpang Empat Paus, yang menjadi tempat Syafril berjualan balon.

Di sana ia menggantungkan asa. Berharap balon yang ia bawa dari perjalanan panjangnya habis terjual untuk sesuap nasi bagi sang anak tercinta.

Sekitar delapan jam ia di sana berpeluh keringat, dengan napas yang tidak jarang terasa sesak. Belum lagi seringnya terik memecahkan balon dagangannya atau ketika hujan.

"Mulai dari jam 4 siangan atau jam 3-an lah sampai jam 11 malam baru sampai rumah. Kalau waktu pergi berjualan kadang balon pecah, karena kena panas terik, lagi kadang hujan," ujarnya. 

Ada sekitar 20 sampai 25 balon yang seluruhnya bermotif polkadot yang setiap harinya dipersiapkan dan digantung pada kayu yang dibawa Syafril. Setiap balon dihargai Rp 2.500 saja. 

Dengan Rp 2.500 per balon, Syafril hanya meraup untung paling banyak Rp 80 ribu. Namun tak selalu untung. Satu waktu, bahkan, Syafril hanya mendapatkan Rp 20 ribu setelah delapan jam berjualan. 


"Cuma bapak pasrahkan pada Allah, ada umur, sehat alhamdulillah. Sehari dapat tidak menentu, paling banyak Rp 80 ribu. Gimanalah dijualkan Rp 2.500 satu, Rp 5 ribu dua kan. Kadang-kadangkan maklumlah anak 'Kek adanya uang dua ribu, mau dijual kek', namanya anak-anak," senyum Syafril mengingat.  

Dari penghasilan itulah Syafril menyokong kehidupan keluarganya. Dengan uang yang itu pula ia menjamin kebutuhan putra dan putrinya di rumah terpenuhi.  

Kendati penghasilannya tak menentu, bahkan jauh dari cukup, Syafril selalu berupaya agar dapurnya tetap mengebul.  

"Kalau uang Rp 80 ribu bapak pikir-pikir kalau dibuat ongkos ojek sudah Rp 10 ribu. Dari sini sisa Rp 70 ribu, harus disimpan Rp 20 ribu tinggal Rp 50 ribu.Itu semua lah di uang Rp 50 ribu untuk kebutuhan," terangnya.  

Di tengah kondisi kesehatan paru-parunya yang berantakan, Syafril masih harus menanggung beban biaya sekolah anaknya kini duduk di bangku kelas dua jurusan Manajemen Perkantoran di salah satu SMK di Pekanbaru.  

Dari sorot matanya, ia bicara, ada kebutuhan penting yang harus dipenuhi. Menurut Syafril, angkanya tidak sedikit. Mulai dari SPP hingga biaya magang menjadi tanggung jawabnya yang harus dipenuhi agar sang anak tetap bersekolah dan tidak mengalami kesulitan sepertinya di masa depan.

"SPP Rp 250 ribu sebulan, di bulan November atau Desember ini magang biayanya Rp 2 juta. SPP harus pula dibayarkan 4 bulan Rp 1 juta, udah 3 juta. Itu aku yang tanggung. Baju sekolah orang yang tolong bayarkan," helanya dalam. 

Kata Syafril, di usia senjanya ini, tak ada pekerjaan lain yang sanggup ia kerjakan. Lebih-lebih, untuk pekerjaan yang mengandalkan tenaga dan butuh kerja keras. Bagi Syafril, hanya menjadi badut penjual balon yang bisa ia lakukan untuk memenuhi tanggung jawabnya sebagai seorang ayah. 

Ini semua tak lepas dari niatnya melanjutkan sekolah anaknya yang dua tahun lalu sempat terputus. Ada lagi biaya sewa rumah, makan, token listrik, dan biaya tak terduga lainnya.

"Ya susahlah kalau nggak punya kayak gitu, ini aja Rp 650 ribu sewa rumah sebulan, anak Awak kek mana, token kayak mana, kayak mana air, kayak beras ke mana kan beli semua itu," ingatnya.

Syafril cuma punya keyakinan, bahwa selalu ada jalan terbaik yang sudah dipersiapkan untuknya. Dia hanya bisa bersabar seraya berusaha setiap harinya. Tak ada kata menyerah baginya. Kendati ayah-ayah lain seusianya telah menikmati hari tua.  

"Usahalah dengan apapun asal jangan maling. Pokoknya barang yang halal lah. Biarlah walaupun pulang malam baju badut aja nggak sempat buka, udah capek rasanya, harus makan dulu karena badan menggigil, haus. Walau udah nggak ada tenaga lagi," katanya. 

Pria berdarah Solok, Sumatera Barat itu bertransmigrasi ke Pekanbaru sejak tahun 1999. Saat itu dirinya masih muda, 35 tahun, dan sebagian pekerjaan yang digelutinya mengamen. 

Namun seiring bertambahnya usia, hatinya seperti berbisik. Sudah tidak semestinya lagi di usia tua ia bernyanyi di jalanan hingga menghibur dari warung ke warung. 

"Kalau mengamen ini, awak yang sama-sama manusia ini rasanya menyerah, kalau ngamen nih ya. Agak merasa adalah ke malu gitulah. Tapi kalau bagi menjual ini awak kan menjual. Tidak maksa orang, tambah lagi udah tua. Kadang-kadang ada orang yang mengerti keadaan, dikasih sama orang," tuturnya.  

Walaupun telah lama bermukim di Kota Pekanbaru dengan kondisi ekonomi sulit, Syafril mengaku tak pernah mendapatkan bantuan dari Pemerintah Kota Pekanbaru. Pernah beberapa kali pendataan, namun tak jua bantuan yang diperolehnya dari pemerintah. 

"Selama ini bantuan dapat beras dari Yayasan Al-azhar. Kalau bantuan belum pernah sama sekali. Aku itu lah yang kuharapkan tapi gimana ya, bingung," ujar Syafril.

Kini, Syafril hanya mampu mengandalkan tenaga dan doa. Ia tak meminta. Dengan tubuhnya yang tak sekuat dulu, ia berusaha melawan pedihnya hidup di ibukota Bumi Lancang Kuning. 

Di tengah keterbatasan pula ia tak berhenti menggantung asa pada setiap balon yang ia bawa. Berharap ada anak yang menerbangkan asa berwujud balon warna-warni itu ke angkasa hingga kelak takdirnya kan berbahagia.