RIAUONLINE, PEKANBARU - Sebanyak 55 kasus konflik satwa dan manusia terjadi sejak awal 2022 hingga Agustus ini di Provinsi Riau.
Direktorat Jenderal Penegakan Hukum (Gakkum) Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), khawatir banyaknya konflik antara satwa dan manusia serta perburuan liar dapat mengancam keanekaragaman hayati. Khususnya satwa yang masih hidup di landscape Riau, seperti harimau, gajah, dan beruang madu.
Plt Direktur Pencegahan dan Pengamanan KLHK, Sustyo Iriyono, mengatakan konflik terjadi, karena satwa telah terdegradasi dan terfragmentasi akibat perusakan kawasan hutan dan konversi hutan. Hal ini mengakibatkan ruang hidup manusia dan satwa saling tumpang tindih.
"Kita tahu kenapa terjadi konflik antara satwa dan manusia, yaitu karena rumahnya sudah dimanfaatkan sebagai hal lain. Bisa juga karena pakan yang sudah langka," kata Sustyo Iriyono dalam rapat koordinasi di Hotel Labersa Pekanbaru, Kamis, 22 September 2022.
Pemanfaatan kawasan hutan, sebutnya, dapat dilakukan apabila memiliki izin pemerintah. Habitat dan home range satwa liar bukan hanya di kawasan konservasi, maka pemegang perizinan harus menaati aturan yang telah ditetapkan, seperti alokasi untuk penyediaan areal HCV, koridor satwa, dan lainnya.
Selain itu, kata dia, teknokrasi pembangunan wilayah dan internalisasi prinsip konservasi dalam manajemen pemanfaatan hutan, perlu diperhatikan dalam penyelesaian konflik satwa manusia.
Pembangunan bukan hanya bersifat antroposentris, namun perlu memperhatikan kehidupan liar sesuai prinsip pembangunan berkelanjutan, menyelaraskan kepentingan ekonomi, sosial dan lingkungan.
"Dengan rakor ini diharapkan dapat membangun sinergitas, komitmen dan konsistensi para pihak dalam penanganan konflik satwa dan perburuan yang dituangkan dalam nota kesepahaman, sehingga kelestarian dapat terjaga dan kehidupan ekonomi masyarakat tetap berjalan," sebut Sustyo.
Kepala Balai Gakkum LHK wilayah Sumatera Subhan menyebutkan bahwa penegakan hukum terhadap kejahatan tumbuhan dan satwa liar di wilayah Sumatera terus dilakukan.
"Namun penegakan hukum bukanlah satu-satunya solusi. Perlu ada upaya dan komitmen bersama dari para pihak baik pengelola kawasan, penegak hukum, para mitra, pelaku usaha serta masyarakat dalam penegakan hukum dan penanganan konflik antara satwa dan manusia," tutup Subhan.