Empat Pimpinan PT WBN Didakwa Penggelapan, Penasehat Hukum: Ini Ranah Keperdataan

Hakim-dan-Palu-Hakim.jpg
(INTERNET)

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Empat pimpinan perusahaan didakwa melakukan tidak pidana penipuan dan penggelapan perusahan dengan kerugian mencapai Rp 84,9 miliar.

Keempatnya yakni BS sebagai Direktur Utama PT WBN, AS sebagai Komisaris Utama PT WBN, ES sebagai Direktur PT WBN dan CS sebagai Direktur PT TGP.

Selain empat nama tersebut, perkara ini juga menjerat Marketing Freelance PT WBN dan PT TGP inisial M.

Kelimanya telah menjalani sidang dengan agenda penyampaian eksepsi di Pengadilan Negeri Pekanbaru, 29 November 2021.

Dalam eksepsinya, Penasehat Hukum (PH) para terdakwa keberatan terhadap dakwaan JPU. Mereka menilai dakwaan Jaksa tak memenuhi syarat formil dan materil.

"Sebab perkara ini bukan pidana tapi perdata atau wanprestasi," ucap Syafardi, PH dari empat terdakwa, Rabu, 1 Desember 2021.

Syafardi juga menerangkan tindakan Jaksa yang mendakwa perkara tersebut ke ranah pidana merupakan kekeliruan besar. Ini dianggap menyebabkan kegamangan dalam hukum.

Selanjutnya, Syafardi menjelaskan bahwa sejak awal perkara ini merupakan perkara keperdataan dengan alasan perjanjian, sehingga proses hukumnya seharusnya ke sengketa keperdataan dan bukan merupakan perkara pidana.

Sehingga penerapan pasal sebagaimana dalam dakwaan Jaksa dalam perkara ini dipaksakan, karena dari awal tidak ada perbuatan tipu muslihat yang dilakukan oleh para terdakwa kepada para pelapor.

Hubungan antara para pelapor dengan para terdakwa didasarkan hubungan perjanjian yang dibuat dengan kesadaran penuh oleh kedua belah pihak.

Oleh sebab itu tuduhan para terdakwa telah melakukan penipuan dan penggelapan adalah sangat tidak relevan dan terkesan dipaksakan.


"Ini juga sejalan dengan putusan Nomor 1601 K/Pid/1990 yang menyatakan bahwa apabila perbuatan yang mengakibatkan gagalnya perjanjian terjadi setelah perjanjian dilahirkan, maka akibat hukum yang timbul ialah wanprestasi yang merupakan ranah hukum perdata. Pandangan ini juga terdapat pada beberapa putusan lainnya," terangnya.

Syafardi juga menilai JPU salah dalam menempatkan locus delicti atau lokasi terjadinya dugaan tindak pidana.

Dalam dakwaannya, Jaksa menyebut locus delicti perkara ialah di Jalan Mawar Nomor 55 RT 33 RW 02 Kelurahan Padang Terubuk, Kecamatan Senapelan, Kota Pekanbaru.

Sementara menurut Syafardi, berdasarkan data administrasi Kota Pekanbaru RT 33 RW 02 Kelurahan Padang Terubuk, Kecamatan Senapelan tidak ada.

"Locus delicti ialah syarat materil yang harus dipenuhi dalam surat dakwaan."

"Atas itu karena tidak terpenuhinya perumusan locus delicti secara jelas, lengkap dan cermat di dalam surat dakwaan, menyebabkan surat dakwaan batal demi hukum," pungkasnya.

Sebelumnya diketahui, dalam dakwaan Jaksa disebutkan kalau para terdakwa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin usaha dari pimpinan Bank Indonesia.

Dikatakan Jaksa, kasus ini berawal pada 2016. Ketika itu PT WBN yang bergerak di bidang usaha consumer product dan PT TGP yang bergerak di bidang usaha properti bernaung di bawah Fikasa Group sedang membutuhkan tambahan modal untuk operasional perusahaan.

"Saat itu, terdakwa 2 Agung Salim yang menjabat sebagai Komisaris Utama PT WBN mencari ide untuk mendapatkan tambahan modal tersebut. Lalu diputuskan untuk menerbitkan promisorry note atas nama perusahaan yang ada dalam Fikasa Group, yaitu PT WBN dan PT TGP. Kemudian, terdakwa Agung Salim menyuruh (terdakwa) Maryani menjadi Marketing Freelance dari PT WBN dan TGP," ungkap Jaksa Lastarida Sitanggang beberapa waktu yang lalu.

Selanjutnya, Maryani mendatangi para korban pada Oktober 2016 di Pekanbaru untuk menawarkan investasi dengan bunga 9 persen sampai 12 persen per tahun dengan cara menjadi pemegang promissory note PT WBN dan PT TGP.

Saat menawarkan promossory note, Maryani mengiming-imingi bunga yang sangat tinggi melebihi bunga bank pada umumnya.

"Jika bunga bank pada umumnya hanya 5 persen per tahun, tapi Maryani menjanjikan bunga 6 sampai 12 persen per tahun, sehingga tabungan berbentuk promissory note ini lebih menguntungkan," lanjut dia.

Selain tabungan berbentuk deposito promissory note, Fikasa Group menawarkan penempatan dana dalam jangka waktu tertentu dan dijanjikan mendapatkan imbalan bunga serta pokoknya terjamin.

"Bahwa dengan kepiawaiannya selaku Marketing Frelance Fikasa Group, Maryani dari tahun 2016 sampai 2019, berhasil mendapatkan nasabah dari masyarakat yang berdomisili di Pekanbaru, dan menempatkan dana di PT WBN dan PT TGP dengan menyetorkan dana dengan cara transfer ke rekening PT WBN. Ada 3 nomor rekening, masing-masing ke BCA, CIMB Niaga, serta Bank Mandiri," sebut dia.

Lastarida menyampaikan, pada beberapa promissory note PT WBN dari para korban, ternyata dana yang ditransfer bukan ke PT WBN namun ke rekening atas nama PT inti Putra Fikasa pada ketiga bank itu.

Setelah itu, para nasabah mendapatkan bukti penempatan berupa perjanjian promissory note dan certificate yang berisi nominal penempatan, bunga keuntungan, dan tanggal jatuh tempo. Dokumen itu ditandatangani terdakwa 1 Bhakti Salim, juga terdakwa 2 Agung Salim, terdakwa 3 Elly Salim, serta terdakwa 4 Christian Salim. Para nasabah juga diminta menandatangani bukti perjanjian itu.

"Perbuatan para terdakwa merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana pada Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang (UU) RI Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU RI Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Pasal 378, Pasal 372, Jo Pasal 64 ayat (1) Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP," pungkas Lastarida.