Biaya Politik Mahal, Kepala Daerah Langganan OTT, Andi Putra yang Terbaru

Panca-Setyo-Prihatin.jpg
(Kaumy.org)

RIAUONLINE, PEKANBARU-Provinsi Riau adalah satu satu provinsi korban korupsi kepala daerah paling berat di Indonesia. Tercatat, tiga Gubernur dan 11 Bupati/Walikota menjadi pesakitan rompi oranye.


Bupati Kuansing, Andi Putra yang baru saja resmi menjadi tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi yang ke-14 di Riau.

Pengamat Politik, Panca Setyo Prihatin menyebut permasalahan korupsi Kepala Daerah ini sangat kompleks. Tak hanya sekadar upaya memperkaya diri, kebutuhan biaya politik yang ditanggung kepala daerah juga menjadi akar masalah korupsi.

"Problemnya kalau tarik ke hilir, ini persoalan mahalnya biaya politik. Calon Kepala daerah tidak memiliki modal untuk menanggung itu, ada kepentingan cukong. Secara tidak langsung membuat Kepala daerah berpikir asal menang saja dulu," ungkap Panca, Kamis, 21 Oktober 2021.

Akademisi Universitas Islam Riau (UIR) ini memaparkan, ada banyak kebutuhan yang harus disiapkan kontestan pemilihan di Indonesia. Salah satunya adalah biaya membentuk koalisi partai yang harus di-lobby hingga ke DPP. 

"Ini tidak muncul ke permukaan, tapi kita mengetahui itu. Ada kader yang tidak mengusung kadernya, tiba-tiba ada kader partai lain yang didukung. Ini tentu ada lobby politik, kita tentu membacanya di permukaan seperti itu," jelas Panca.

Hal lain yang juga memberatkan Calon  Kepala Daerah adalah proses kampanye yang tidak murah. Mulai dari peraga kampanye hingga hajatan dilakukan calon kepala daerah.

Belum lagi biaya-biaya yang terlihat di publik. Kalau calon tidak melakukan itu, calon lain akan melakukannya.

"Mau tidak mau dia memanfaatkan kewenangnnya untuk meraup uang sebanyak-banyaknya untuk menutup ongkos politiknya, itu problemnya," sesalnya.

 


Menurutnya hal ini kemudian menjadi jamak terjadi. Tidak kurang dari 200 kasus di Indonesia sudah terungkap ke publik dengan objek korupsi yang mirip terutama terkait lahan dan Hak Guna Usaha (HGU) oleh perusahaan.

Ia menyebut Polemik demokrasi langsung ini berulang kali diupayakan solusinya. Salah satunya oleh Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Djohermansyah Djohan yang mengusulkan agar biaya politik partai ditanggung penuh oleh pemerintah.

"Biaya politik partai, mulai dari baliho hingga  fasilitas kampanye langsung ditanggung pemerintah dan tidak boleh menggunakan dana lain. Tapi ini sulit, dalam tataran normatif mungkin terdengar ideal, tapi dalam pelaksanaannya sulit," ucapnya.

Hal lain yang juga memperberat adalah lemahnya pengawasan. Meski sudah ada lembaga yang mengawasi hingga ke TPS, praktek politik bawah tanah yang dilakukan sulit dideteksi.

Ia mengatakan, idealnya pengawasan dilakukan oleh masyarakat. Namun parahnya, masyarakat pun amat permisif terhadap perilaku korupsi.

"Masyarakat kita sangat permisif, tidak terlalu peduli. Terlebih karena kepala daerah dianggap telah berbuat, mereka anggap hal ini biasa," ungkap Panca.