RIAU ONLINE, TELUK KUANTAN-Sidang lanjutan gugatan Yayasan Wahana Sinergi Nusantara (Wasinus) terhadap Koperasi Perkebunan Sokojati di Kabupaten Kuansing, Riau kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Teluk Kuantan, Kamis, 19 Agustus 2021.
Yayasan Wasinus selaku penggugat dan Koperasi Sokojati selaku tergugat termasuk ikut digugat adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia. Lahan yang digugat tersebut luasnya lebih kurang 2.599 hektar diduga milik Koperasi Perkebunan Sokojati.
Sidang lanjutan kemarin dengan agenda mendengarkan keterangan ahli yang dihadirkan oleh tergugat yakni Koperasi Perkebunan Sokojati. Saksi ahli yang dihadirkan tergugat adalah Dr Sadino, SH, MH dari Universitas Al Azhar Jakarta.
Sidang dipimpin Majelis Hakim Jhon Paul Mangunsong, SH dengan hakim anggota masing-masing Samuel Pebrianto Marpaung, SH dan Yosep Butar-Butar, SH.
Dari penggugat hadir Ketua Yayasan Wasinus Suryadarma didampingi rekannya. Dan dari pihak Koperasi Perkebunan Sokojati hadir Penasehat Hukum (PH) dan sejumlah pengurus Koperasi Sokojati. Sidang digelar tetap mengikuti protokol kesehatan yang ketat.
Saksi ahli dari tergugat, Dr Sadino dalam keterangannya mengatakan, setiap usaha yang ada di dalam kawasan hutan itu harus ada persetujuan pelepasan kawasan hutan.
"Kalau anda bermohon akan dapat surat persetujuan pelepasan kawasan hutan dikeluarkan oleh menteri, dan statusnya pelepasan kawasan hutan," katanya dalam kesaksiannya didepan Majelis Hakim.
Dulu kata Dia ada yang namanya persetujuan pelepasan kawasan hutan dan hanya hutan produksi yang dapat dikonversi.
Tetapi dengan terbitnya Undang-Undang Cipta Kerja ini tidak hanya hutan produksi yang dapat dikonversi tetapi bisa hutan produksi tetap dan bisa hutan produksi terbatas.
"Itu produknya harus ada persetujuan pelepasan kawasan hutan," kata dia dalam kesaksiannya.
Lantas bagaimana dengan petani, masyarakat, kelompok tani dan seterusnya apabila tanpa izin mengolah lahan dalam kawasan hutan? Menurutnya, apabila tidak ada izin masuk dalam Pasal 110 a.
"Tapi kalau tanpa izin sama sekali masuk dalam kontek 110 b, disitu kalau tanpa izin," katanya.
Namun dalam Pasal tersebut ada hitungan dimana kelompok tani atau badan usaha harus membayar iuran setiap tahun atau untung yang dia dapat ada hitungan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 tahun 2021.
"Kalau sudah dapat membayar dan seterusnya, kalau ada koperasi suratnya bukan pelepasan, tapi dapatnya persetujuan penggunaan kawasan hutan," terang Dia.
Lanjut Sadino, kenapa persetujuan dan pelepasan beda. Dia menjelaskan kalau dia pelepasan otomatis dia keluar dari kawasan hutan, kalau persetujuan dia disetujui oleh Menteri.
"Misalkan untuk sawit untuk hutan produksi konvensi, hutan produksi tetap dan terbatas waktunya penggunaan kawasan hutan itu adalah 25 tahun, tapi tidak boleh ditingkatkan menjadi hak atas tanah," kata Dia.
Dan kalau itu di hutan dikonvervasi, hutan lindung atau taman nasional katanya, itu ada kesempatan 15 tahun. "Namanya adalah persetujuan melanjutkan usaha, dikasih batas waktu 15 tahun," jelasnya.