Prapid Kepala BPKAD Kuansing, Ahli Hukum: Berwenang Nyatakan Kerugian Negara Adalah BPK

prapid-fikitf.jpg
(ROBI/RIAUONLINE)

RIAU ONLINE, TELUK KUANTAN - Sidang lanjutan praperadilan kasus dugaan SPPD Fiktif di BPKAD Kuansing memasuki tahap pembuktian saksi. Baik pemohon maupun termohon sama-sama menghadirkan saksi pada sidang yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Teluk Kuantan Jalan Perintis Kemerdakaan, Kamis, 1 April 2021.

Sidang dimulai sekitar pukul 14.00 WIB siang tadi dengan agenda tahap pembuktian saksi. Sidang dipimpin Timothee Kencono Malye SH, Hakim tunggal dari PN Teluk Kuantan.

Sementara dari pihak pemohon H dihadiri kuasa hukum Bangun Sinaga, MH, dan Rizki Piliang, SH. Dari pihak termohon (Kejari Kuansing,red) dihadiri Mona Siti H Simanjuntak, Danang dan dua orang jaksa.

Ini merupakan lanjutan sidang praperadilan kasus dugaan SPPD Fiktif di BPKAD Kuansing. Dalam kasus tersebut Kepala BPKAD Kuansing, H ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejari Kuansing. Atas penetapan tersangka tersebut, H melakukan upaya praperadilan.

Erdiansyah, Ahli Hukum Pidana dari Universitas Riau menerangkan, SEMA Nomor 4 Tahun 2016 merupakan aturan yang menjelaskan bahwa dalam menghitung kerugian negara pada tindak pidana korupsi instansi yang berwenang menyatakan adanya kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Menurut Erdiansyah, penghitungan kerugian negara yang dilakukan oleh Jaksa dalam tindak pidana korupsi (Tipikor), Jaksa tidak berwenang menghitung kerugian negara sebagaimana SEMA Nomor 4 Tahun 2016.

Sehingga penghitungan kerugian negara pada tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Jaksa merupakan penyelagunaan wewenang yang mengakibatkan timbulnya ketidakadilan dalam proses peradilan pidana.

Erdiansyah menjelaskan, dalam penetapan sesesorang sebagai tersangka dalam perkara tindak pidana korupsi penyidikan harus menemukan adanya kerugian negara.

"Itu harus dengan penghitungan angka pasti yang dilakukan melalui BPK dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), bukan Inspektorat. Perbuatan melawan hukum itu harus dibuktikan dengan dua alat bukti, salah satunya alat bukti pokok yakni kerugian negara," katanya.

Dalam Pasal 32 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi."Yang dimaksud dengan "secara nyata telah ada kerugian negara" adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang.

Kemudian yang menilai atau menetapkan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah BPK dan BPKP. Ini dipertegas dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25/PUU-XIV/2016 menyatakan aparat penegak hukum harus membuktikan adanya kerugian negara sebelum dilakukan penyelidikan perkara korupsi sebab banyak penyidikan sewenang-wenang.

Jadi kalau ini tindak pidana korupsi."Korupsi itu unsur pentingnya adalah kerugian keuangan negara. Jadi harus ada perhitungan kerugian keuangan negara baru bisa dikatakan orang bisa benar atau sah ditetapkan tersangka," katanya.

Penetapan tersangka terangnya orang yang melakukan tindak pidana sebagai dimaksud Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, jika belum ada perhitungan kerugian negara dari BPK, maka penetapan tersangkanya tidak sah.

Kemudian apabila ditemukan patut diduga terdapat kerugian keuangan negara dalam proses penyelidikannya, maka Kejaksaan dapat bekerjasama dan dapat berkoordinasi dengan BPK dan BPKP yang memiliki kewenangan audit investigatif dalam perhitungan kerugian keuangan negara.

Dalam hal ini, untuk dapat menentukan kerugian negara, maka kejaksaan mendasarkan pada bukti-bukti dari laporan hasil pemeriksaan audit BPK atau BPKP.

"Hasil audit Jaksa tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti di persidangan, karena lembaga yang berwenang melakukan audit kerugian negara adalah BPK dan BPKP," terangnya.

Menurutnya, Kejaksaan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi hanya diberikan kewenangan penyidikan, sedangkan audit investigatif yang dilakukan Kejaksaan dapat digolongkan kepada penyalagunaan kewenangan.