Harmonisasi Imigran-Warga Tempatan, Kami Layaknya Keluarga (1)

Humaira-Pengungsi-Afghanistan.jpg
(RIAUONLINE.CO.ID/DINA FEBRIASTUTI)

Laporan: DINA FEBRIASTUTI 

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Petang itu, pertengahan September 2020, sayup-sayup terdengar suara keriuhan. Entah dari mana. Makin didengar, kesayupan itu berganti jelas. Itu suara keriangan, suara anak-anak sedang bermain di satu lapangan luas di belakang dua baris rumah dan sepetak tanah lainnya.

Yusuf (15), tengah bermain sepak bola bersama teman-teman tak semuanya sebaya. Kanti-kantinya (teman) ada berusia seusia dengannya, kisaran 15 tahun. Ada pula jauh lebih muda, tak sampai 10 tahun agaknya.

Layaknya konco sepermainan saban hari, tiada hal asing dan ganjil dari aktivitas itu. Selain keseruan dan keributan ala anak-anak. Orang awam tak akan menyangka, Yusuf merupakan anak pengungsi Rohingnya. Apalagi, justru ia lebih banyak mengomandoi permainan petang itu.

Padahal, secara fisik, jelas ia berbeda di antara yang lainnya. Kulitnya lebih gelap, perawakannya pun lebih tinggi dengan rambut sedikit bergelombang. Namun, tak ada lagi kendala bahasa sesamanya.

Pembauran telah terjadi lebih dari tujuh tahun, tentulah jawabannya. Dalam kehidupan keseharian, tak ada lagi batasan dan keterasingan ia dengan lingkungan dan masyarakat sekitar. Termasuk, adat kebiasaan warga tempatan.

Apa berlaku di diri Yusuf begitu pula melekat di anggota keluarganya yang lain. Kakak tertuanya, Nisa, memiliki beberapa teman warga Kota Pekanbaru, bermukim sementara di Kota Bertuah.

Ada pula beberapa temannya Warga Negara Indonesia (WNI) bermukim di luar kota. Barangkali, karena ia sekeluarga sempat mukim di Kota Semarang sekira setahun sebelum dipindahkan ke Pekanbaru.

Yusuf, Anak Pengungsi Rohingnya

Yusuf (kanan), anak pengungsi asal Rohingnya, tengah bermain sepak bola dengan anak-anak warga Pekanbaru, Riau, Indonesia.

Belakangan, Nisa mengikuti kursus Bahasa Inggris di sebuah lembaga kursus yang ada. Teman-teman kursus itu, bila berusia sepantarannya, tentu menjadi temannya pula.

Namun, situasi pandemi belakangan membuatnya tak lagi dapat menempuh pendidikan itu. Sekali dua bila ada program digelar secara dalam jaringan (daring), barulah ia mengikutinya.

Sesungguhnya, ada kegiatan serupa difasilitasi International Organization of Migration (IOM). “Namun, level diberikan jauh di bawah saya,” kata Nisa dalam Bahasa Inggris.

Sehingga, ia tak bergabung ke kelas itu yang kini juga beku karena pandemi. Hingga kini, tak ada pendidikan formal pernah ditempuhnya.

Bahkan, pendidikan dasar sekalipun. Kehidupan sebagai pengungsi memaksa ia, kakak dan adiknya memahami kondisi tersebut. Sebelum tiba di Indonesia, keluarganya terdiri ayah, ibu dan lima anak tersebut telah menjadi pengungsi di Thailand.


Ibu dari kakak beradik ini sedikit unik, karena warna kulit mereka tak semua senada tersebab ada berkulit lebih cerah, serupa dengan Yusuf.

Kulit lebih gelap dan lancar berbahasa Indonesia. Ia kini memiliki ibu angkat atau saudara terdekat dari masyarakat sekitar. Seorang nenek tinggal dengan seorang anaknya belum menikah, namun sudah bekerja.

Kehidupan dua keluarga ini benar-benar layaknya keluarga. Setiap hari mereka saling berkunjung. Si nenek mendatangi tempat tinggal keluarga berjarak sepelemparan batu dari rumahnya, hanya untuk sekadar berkunjung atau silaturahmi.

Hal yang sama pula dilakukan ibunda Nisa. Sesekali, ia membantu urusan rumah tangga si nenek. Sudah teramat sering ia diajak si nenek pergi ke luar rumah untuk berbagai urusan.

Dari menemaninya berbelanja, mengikuti bermacam arisan, kegiatan sosial dan menghadiri acara keagamaan, hingga bertamu ke sanak saudara si nenek.

“Ia sudah seperti keluarga. Hampir tiap hari ke sini. Saya juga sering diajaknya bepergian. Apa saja urusan ke luar rumah, selalu diajaknya saya,” ujarnya.

Aksi Sosial
Rasa persaudaraan dan sikap menolong dan saling bantu juga diperankan Humaira. Gadis dua puluh tahunan asal Afghanistan ini punya kemurahan hati kepada masyarakat tempatan. Meskipun kehidupan dilaluinya jauh dari aman, nyaman dan sejahtera.

Tatkala ditemui di blok tempat tinggalnya mereka sebut sebagai community house, Humaira tengah mempersiapkan hidangan untuk disumbangkan kepada keluarga berkekurangan di sekitar. Satu mangkok kacang merah dimasak dengan bumbu semacam kari, mereka sebut dengan tokhm.

Lalu, beberapa potong roti lebar pipih yang menjadi makanan utama masyarakat sekitar Persia mereka sebut nan.

Sesekali, ia memerintahkan sesuatu kepada adik perempuannya, berusia 14 tahun. Sementara, ibunya berada di kamar lain, tengah beribadah dengan membaca Alquran menjelang datangnya waktu Salat Maghrib.

Mereka memang hanya bertiga saat ini, setelah sang adik lelakinya memilih pulang dengan sukarela untuk merawat sang ayah telah pula berpulang.

Kecuali memasak, semua dilakukannya di kamar ini. Kamar tak lebih dari 3x3 meter dengan kamar mandi di dalam. Semua perangkat kebutuhan pribadi dan rumah tangga ada. Rak bersusun di mana semua peralatan ditempatkan ditutup dengan selembar kain.

Di sisi lain, terpandang mata adalah penghangat makanan (magic com), termos pemanas air listrik dan sekarung tepung. Lalu, ada lemari pakaian, perangkat WiFi, kipas angin dan kasur per singel. Semua tertata dengan baik, rapi dan bersih.

Humaira terkesan lebih dewasa dibanding usianya. Bersama keluarga, punya nazar, keinginan, menyumbang makanan selama 40 hari berturut-turut kepada orang lebih susah dari mereka.

Adat kebiasaan dari negeri leluhurnya, ini bermaksud meringankan langkah dan menerangkan kubur dari orang baru saja meninggal. Humaira dan seorang adik perempuannya baru saja kehilangan nenek di kampung halamannya.

“Bagi kami, bila kami menyumbangkan makanan selama 40 hari, berarti kami mengunjungi telah meninggal. Mereka dapat bersua lagi dengan kami,” Humaira menjelaskan dalam Bahasa Inggris.

Adalah suami istri dengan anak-anak yang sudah mandiri dan menikah serta bertempat tinggal masing-masing yang disantuni Humaira sekeluarga.

Namun, Sugiono dan Yus, dititipi seorang adik penyandang disabilitas. Pasangan itu tak pula memiliki penghasilan semenjak memilih menutup warung makan mereka kelola beberapa tahun belakangan.

Menutup mata pencarian menjadi pilihan setelah sang pemilik bangunan warung hendak menaikkan sewa. Gadis berpembawaan riang itu mengantarkannya dengan bersepeda.

Sesampai di rumah kayu berlantai tembok dikelilingi beragam tanaman buah melindungi rumah dari kepanasan, ia mengucap salam. Penghuni rumah segera membuka pintu, seakan sudah menjiwai kedatangan Humaira, gadis entah dari pelosok mana sama sekali tak diketahui oleh mereka.

Padahal, Humaira masih berdiri jauh dari pintu, sangat mungkin belum terdengar suara salam yang baru dilontarkannya sekali.

Yus langsung menyambutnya dengan senyuman. Humaira sekelebat mata langsung menyerahkan jinjingannya. Perempuan berperawakan gemuk itu langsung ke dalam. Ia hendak menyalin makanan dibawakan untuknya agar wadah pembawa makanan itu bisa langsung dibawa pulang oleh Humaira.

Sembari itu, ia bercerita, tak tahu apa sebenarnya maksud dan tujuan dari gadis dari negeri asing baginya ke rumahnya. Bahkan, ia tak tahu nama si gadis. Bagaimana bisa ia bertanya jawab, bahasa masing-masing sama sekali tak mereka mengerti.

Cuma, Yus sudah teramat sering melihatnya berada di sekitar tempat tinggalnya. Bahkan, sebelum Humaira sering memberikan makanan. Setidaknya, mereka berbalas senyum.

Memang bukan kali ini saja Humaira berdonasi makanan. Selain demi almarhum neneknya, ia lebih dulu sudah melakukannya demi almarhum ayahnya. Ketika itu, ayahnya memang tak memilih mengungsi bersama keluarga.

Kiriman makanan selalu diberikannya kepada keluarga Yus dan Sugiono. Dilihatnya, hanya keluarga ini saja hidup sangat sederhana dibanding keluarga lain di sekitar. Tetangga Humaira didominasi rumah tangga sangat berkecukupan.