Apa Kabar Dugaan Pemerasan Oknum Jaksa terhadap Puluhan Kepsek di Inhu?

Pemerasan.jpg
(INTERNET)


RIAU ONLINE, PEKANBARU - Layu sebelum berkembang. Peribahasa ini menggambarkan kasus dugaan pemerasan dilakukan oknum jaksa di Kejaksaan Negeri (Kejari) Rengat, Indragiri Hulu (Inhu) bekerjasama dengan sebuah LSM, terhadap Kepala SMPN di kabupaten tersebut.  

Dampaknya, 64 Kepala SMPN di Kabupaten Inhu, Riau, mundur berjamaah. Mundurnya para pemimpin sekolah tersebut klimaks kasus dugaan pemerasan dilakukan sejak 2016 silam terkait pengelolaan dan pemakaian dana Bantuan Sosial Sekolah (BOS). 

Kasus ini menjadi sorotan publik dalam tiga pekan terakhir, nasional dan lokal, hingga kini didalami Bidang Intelijen dan Pengawasan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau. Puluhan tenaga pendidik itu, mulai dari bendahara hingga kepala sekolah telah dimintai keterangan.

Kasus tersebut telah mencoreng muka Korps Adhyaksa di Bumi Lancang Kuning Riau jelang Hari Ulang Tahun di 2020. Bahkan, Mia Amiati, wanita berhijab menakhodai Kejati Riau hingga harus berbicara lantang dengan mengatakan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Rengat, Inhu, bodoh karena tidak mengawasi anggotanya.

“Nah, sekarang Kajari (Rengat, Hayin Suhikto), saya (sudah) beberapa kali mendekati (Hayin Suhikto) dengan pendekatan persuasif untuk bisa dia mengaku. Akan tetapi, memang dia betul-betul tidak tahu. Nah salahnya, bodohnya dia sebagai Kajari adalah tidak mengawasi (anak buah)," ungkap Mia Amiati, Rabu (22/7/2020), saat gelar konferensi pers di Gedung Kejati Riau.

Padahal, dua hari sebelumnya, Senin (20/7/2020), Mia Amiati juga mengeluarkan pernyataan serupa, terkait dugaan suap diduga dilakukan anak buahnya hingga memicu 64 Kepsek memutuskan ajukan surat pengunduran diri.

Tak tanggung-tanggung, Kuasa Hukum ke-64 Kepsek tersebut, Taufik Tanjung, kepada RIAUONLINE.CO.ID, berapi-api menjelaskan tiga kali permintaan uang. Mulai dari nominal Rp 65 juta, kemudian Rp 35 juta dan terakhir Rp 15 juta.

Drama masih terus berlangsung. Di saat proses penyelidikan berlanjut, Kejati Riau berkeinginan melakukan penandatanganan kesepakatan MoU dengan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Provinsi Riau. 

Niat memunculkan MoU itu sendiri sebenarnya sejak awal telah disampaikan oleh Asisten Intelijen Kejati Riau, Budi Raharjo. Dalam keterangannya medio Juli ini, ia mengklaim justru PGRI Riau sendiri meminta MoU itu dilaksanakan. 


Teranyar, Ketua Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum (LKBH) PGRI Riau, Taufik Tanjung membenarkan hal itu. Taufik selama ini lantang menyuarakan ketidakadilan diterima para kepala sekolah itu justru dengan MoU itu terkesan melunak.

Ia mengatakan, dengan adanya MoU itu diharapkan kejadian serupa tidak terulang. Taufik juga memastikan jika MoU secara garis besar mendampingi para guru tidak akan mempengaruhi proses penyelidikan dugaan pemerasan masih berlangsung.

“Tidak ada kaitannya, secara normatif aturan hukum tetap berjalan. Walaupun kita melakukan MoU dengan kejaksaan, tapi proses hukum tetap harus berjalan,” kata Taufik.

Ia mengatakan, sejauh ini proses penyelidikan terus berjalan. Seluruh kepala sekolah dan bendahara juga telah diperiksa. Termasuk LSM Tipikor Nusantara disebut menjadi bagian dari dugaan pemerasan itu.

“LSM juga sudah diperiksa. Muaranya dari LSM Tipikor Nusantara. Bendahara, ketua, sekretaris sudah diperiksa. Keterkaitan mereka sedang didalami oleh kejaksaan,” ujarnya.

Taufik sebelumnya menjelaskan dugaan pemerasan itu telah terjadi sejak 2016 lalu. Modusnya laporan LSM Tipikor Nusantara dengan menyurati para kepala sekolah terkait penggunaan dana BOS. Mereka mengancam akan melaporkan dugaan penyalahgunaan dana bos ke kejaksaan.

Belakangan, Taufik mengatakan, kasus bergulir ke Kejaksaan. Lalu ada sejumlah oknum jaksa turut memintai uang kepada para sekolah. Totalnya ada 64 kepala sekolah saat ini telah mengundurkan diri seluruhnya.

Jumlah uang diminta bervariasi, jelasnya, ada Rp 15 juta, Rp35 juta dan Rp65 juta. Untuk penyerahan uang, ditunjuk satu orang dipercaya oknum jaksa tersebut.

"Jadi mereka (Kepsek) itu dipanggil oknum jaksa itu, tidak diperiksa cuma disuruh datang. Kembali lagi, nanti ada satu yang dipilih untuk menyerahkan uang itu," tutur Taufik.

Pemanggilan tidak dilakukan secara resmi tapi hanya melalui telepon. "Yang resmi baru panggilan Kejati ini," tambah Taufik.

Pengamat Hukum Pidana Universitas Riau, Erdiansyah mengatakan, dugaan pemerasan dilakukan oknum LSM bekerjasama dengan Kejaksaan tersebut harus diungkap sejelas-jelasnya.

"Kalau para kepala sekolah tidak nyaman karena merasa ditekan, ini mungkin sudah lama. Kemudian berubah jadi pemerasan sehingga ada pemaksaan agar dituruti," ujar Erdiansyah.

Namun, agar hal ini terang-benderang, Erdiansyah meminta agar penyidik mendengarkan pengakuan dari kedua belah pihak.

"Tapi menurut saya ini bukan penyuapan. Karena kalau penyuapan kedua belah pihak dalam kondisi sadar dan tidak ada paksaan dari pihak lain. Namun yang terjadi justru kepala sekolah mengundurkan diri karena merasa ditekan karena ada pemerasan," pungkasnya.