Gus Ghofur: Islam Nusantara Lahir dari Ulama Melayu

Gus-Ghofur-Safara-Pencerahan.jpg
(RIAUONLINE.CO.ID/ISTIMEWA)

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Anak ulama kharismatik Nadhlatul Ulama (NU), almarhum KH Maimoen Zubair atau Mbah Maimoen, Dr KH Abdul Ghofur (Gus Ghifur) mengatakan, Islam di Nusantara ini lahir dari tanah Melayu.

Gus Ghofur menjelaskan, bumi Melayu menjadi tonggak peradaban Islam di Indonesia sekarang ini, hingga Asia Tenggara. Bahkan, ayahnya, almarhum Mbah Maimoen juga berguru dari gurunya berasal dari tanah Melayu di Sumatera Utara.

"Sebelum ada Islam di Jawa, sudah ada Islam di Melayu. Orang Melayu itu, 100 persen ya Islam," kata Gus Ghofur, Rabu, 18 Desember 2019, usai melakukan Safari Pencerahan di hadapan ratusan mahasiswa dan civitas akademika Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim (UIN Suska) Riau, di Islamic Center. 

Rektor Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Anwar, Sarang, Rembang, Jawa Tengah (Jateng) ini kemudian bercerita, bagaimana pendiri Nahdlatul Ulama Hasyim Asy'ari belajar dari guru asal Melayu juga, Minangkabau bernama Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi di tanah haram, Mekkah. 

Termasuk juga, dari literatur diperoleh, KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, juga belajar dari Syekh Ahmad Khatib. 

"Nahdlatul Ulama pendirinya KH Hasyim Asy'ari, belajarnya kepada Ahmad Khatib Minangkabau, sudah jadi khatib di Masjidil Haram, belajarnya dari orang Melayu. Ayah saya punya guru dari Medan (juga) Melayu. Maka harus dihidupkan kembali, Islam Nusantara lahir dari Melayu ini," jelas kata Gus Ghofur. 

Senior Ustad Abdul Somad (UAS) di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir ini mengatakan, Islam di Indonesia ini menjadi harapan bagi banyak dunia. 

Alasannya, kehidupan berbangsa di Indonesia mayoritas memeluk agama Islam, berjalan dengan damai dan aman. Antara keagamaan, Islam serta kebangsaan, berjalan dengan baik seiring sejalan. 

"Bisa tenang, tidak konfrontasi antara (keagamaan) keislaman dengan kebangsaan. Semua ingin mencontoh di sini (Indonesia)," ungkap Ahli Tafsir tersebut. 


Gus Ghofur menjelaskan, terkadang banyak mahasiswa dan generasi muda, tidak menyadari hal tersebut. Bahkan, ada beberapa pihak justru ingin mencontoh kehidupan berbangsa dan beragama Islam dengan negara lain di luar sana.

"Kita itu kadang-kadang memberi contoh di sana (luar negeri), padahal di sana ingin contoh di sini. Ini akan kita sampaikan, harapan banyak negara muslim di dunia itu ada di sini (Indonesia)," jelasnya. 

Menurut dia, Indonesia dibangun dengan menerapkan Pancasila. Para ulama menjadi pendiri bangsa juga telah mengakui Pancasila sebagai dasar untuk menjaga NKRI. 

Selain itu, Gus Ghofur menjelaskan, banyak ulama di Timur Tengah mengakui sistem dianut Indonesia benar adanya. "Semuanya kita sampaikan risalah tentang Islam di Indonesia. Negara ini sudah dibangun oleh para ulama dengan bentuk seperti ini, dengan Pancasila-nya denga NKRI-nya," tuturnya. 

"Dan kita konfirmasi ke berbagai ulama di Timur Tengah, ini sudah benar dan Indonesia bisa pertahankan kebenaran itu, sementara di berbagai negara kebenaran ini dikoyak berbagai kelompok," lanjutnya. 

Gus Ghofur pada hari ini melakukan Safari Pencerahan di sejumlah perguruan tinggi. Safari diawali di Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim dan dilanjutkan ke Universitas Riau. Safari hari pertama diakhiri di Pondok Pesantren Dar El Hikmah. 

Pada Kamis besok, safari dilanjutkan ke Universitas Lancang Kuning (Unilak) dan Universitas Islam Riau (UIR). Gus Ghofur merupakan lulusan Al Azhar Kairo, Mesir ini, merupakan senior dari Ustad Abdul Somad (UAS). Gus Ghofur masuk Al Azhar tahun 1993 dan tamat tahun 1997, atau empat tahun menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir.

Semua hasil ujian Gus Ghofur selalu mendapatkan nilai Jayiid Jiddan, sebuah prestasi langka untuk mahasiswa Indonesia di Kairo. Pencapaian prestasi itu dipertahankan Gus Ghofur hingga melanjutkan studi S2 di jurusan sama.

Selama menempuh S2 di Jurusan Fasir Al Azhar, kairo, Gus Ghofur selalu mendapat hasil akhir Jayyid Jiddan. Keberhasilan itu tidak lepas dari ketekunan dan kesabarannya semakin meningkat selama belajar di Kairo.

Tentang hal ini ada kawan Gus Ghofur bercerita, “Sing ngajari bahasa Inggris Gus Ghofur, ki, aku. Eh, pas ujian aku mung Jayyid Jiddan, Gus Ghofur malah mumtaz”.

Siapa tidak tahu kalau ketika pertama kali datang ke Kairo, Gus Ghofur Awam bahasa Inggris. Namun ketekunan dan kesabarannya telah berhasil menjinakkan ujian bahasa Inggris di Al-Azhar.

Pada 2002, Gus Ghofur menyandang gelar Master dengan menulis tesis setebal 700 halaman, harus mencantumkan banyak maraji’. Padahal tradisi menulis baru ia tekuni sejak tahun keempatnya di Kairo.

Orang mengenal Ghofur kecil dan tidak mengikuti perkembangannya di Kairo pasti terheran-heran ketika googling “Abdul Ghofur Maimoen” di internet. Sebab hasil googling itu akan menampilkan berbagai tulisan beliau yang pernah dimuat di dunia maya. Dari Abdul 

Ghofur gagap menuslia menjadi Abdul Ghofur produktif menulis. Ia mengakhiri masa lajangnya pada 2003. Gadis beruntung dipersuntingnya adalah Nadia, putri KH Jirijis bin Ali Ma’shum Karpyak Yogyakarta.

Jika di thesis, Gus Ghofur menulis dengan 700 halaman, maka untuk desertasinya, ia menulis setebal 1.700 halaman, terbagi menjadi 2 jilid disidangkan di Auditorium Abdul Halim Mahmud, Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar.

Ia lulus setelah dapat mempertahankan desertasinya berjudul Hasyiah Al-Syekh Zakaria Al-Anshary Ala Tafsir Al-Baidhawy, Min Awwal Surah Yusuf Ila Akhir Surah l-Sajdah dengan hasil mumtaz ma’a martabati syarafil ula (summa cumlaude) dari Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir.