Kisah Uletnya Warga Sakai Menjadi Mandiri

Mus-Mulyadi.jpg
(RIAUONLINE.CO.ID/ISTIMEWA)

RIAU ONLINE - Program pengembangan masyarakat harus mampu menciptakan kemandirian, bukan justru melahirkan ketergantungan. Pendidikan merupakan salah satu cara untuk mengembangkan pola pikir yang progresif-inovatif sehingga dapat mengembangkan potensi terbaik dari masing-masing individu.

Muhammad Yatim (76), pemuka Suku Sakai di Desa Kesumbo Ampai, Mandau, Bengkalis, sangat merasakan penting dan manfaat pendidikan. Sekitar tahun 1950-an, berdiri Sekolah Rakyat (SR) di Duri, ibu kota Kecamatan Mandau.

”Saya masuk SR waktu berumur 23 tahun. Gurunya orang Jawa dibawa Jepang dulu,” kenang Yatim.

Lokasi sekolah tersebut, lanjutnya, sekarang menjadi stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) dekat kantor camat. 

”Sebagian besar murid sekolah itu adalah warga pendatang,” imbuh Yatim.

Kehadiran warga dari berbagai wilayah lain di Indonesia mulai mewarnai Duri seiring peningkatan kegiatan operasi Caltex, atau sekarang dikenal sebagai PT Chevron Pacific Indonesia (PT CPI).

Sebagian besar dari mereka ingin menjadi pegawai Caltex dan sebagian lainnya datang untuk berdagang. ” Sekolah Rakyat itu berdiri kira-kira empat tahun setelah Caltex masuk,” tutur Yatim.

Setelah lulus SR, Yatim melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP. Waktu itu, hanya ada dua SMP swasta di Duri, antara lain SMP Setiawan, sekarang menjadi SMP Negeri 4 dan SMP Santo Yosef.

Dengan bekal pendidikan dan jejaring dibangun, Yatim kemudian mendapatkan pekerjaan di Pertamina Putri Tujuh, Dumai, sebagai tenaga honorer. Selama bekerja di sana, ia berkesempatan belajar dan bertugas di beberapa kota lain, termasuk Jakarta.

Pengalaman berkeliling ke berbagai kota mampu membuka wawasan Yatim. Ia kemudian berpikir untuk berkontribusi memajukan warga sukunya, Suku Sakai.

”Pada awalnya, paling utama saya lakukan adalah mengajarkan baca tulis huruf Hijaiyah (huruf arab) kepada anak-anak Sakai. Saya melakukannya setiap kali pulang dari bekerja,” ungkapnya.

Yatim ingin anak-anak Sakai dapat mengenyam Pendidikan setinggi mungkin. Perkenalan Yatim dengan PT CPI bermula dari keikutsertaan masyarakat Sakai dalam Festival Seni Budaya Suku Asli se-Asia Pasifik di Pekanbaru pada 1991.

Dari perkenalan itu, PT CPI kemudian membangun rumah adat Sakai dan membantu memperkenalkan seni budaya Sakai kepada keluarga para karyawan PT CPI.

“Kami menjadi sering diundang untuk mementaskan seni budaya Sakai dalam acara- acara di dalam perumahan PT CPI di Rumbai dan Duri.” 

Tidak berhenti di situ. Yatim juga berkeinginan agar anak-anak Sakai tamat SMA dapat melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Ia bertemu dengan Syahril, warga Sakai dari Pematang Pudu, ketika itu berkuliah dengan beasiswa dari PT CPI.

Syahril pernah terpilih sebagai anggota DPRD Riau pada 2004, ketika masih berusia 30 tahun. Ia mendapatkan beasiswa dari PT CPI mulai jenjang SD hingga S2.


Karena satu pemikiran, Syahril dan Yatim pun berdiskusi untuk mencari jalan agar semakin banyak anak Sakai mengenyam pendidikan. Dari situlah, mereka kemudian berdiskusi dengan PT CPI untuk memberikan bantuan pendidikan untuk anak-anak Sakai mulai jenjang sekolah dasar sampai ke perguruan tinggi.

Usulan tersebut ternyata disambut baik. Dengan bantuan beasiswa PT CPI, lanjut Yatim, anak-anak Sakai saat ini sudah banyak mengecap pendidikan hingga perguruan tinggi, duduk sejajar dengan suku-suku lain di Indonesia. Setidaknya, hampir 2.000 anak-anak Sakai pernah mendapatkan beasiswa tersebut.

“Setelah tamat SMA atau universitas, kami sambut mereka kembali ke kampung dengan upacara upah-upah dan tepung tawar. Kami pasang foto-foto mereka di rumah adat Sakai,” jelas Yatim.

Warga Sakai saat ini sudah banyak mengembangkan diri di luar kampung halaman. Mereka menekuni berbagai bidang profesi maupun usaha. Sebagian lagi mengembangkan keahlian dan keterampilan mereka di kampung halaman melalui bidang pertanian dan peternakan.

Masyarakat Sakai yang dulu dikenal banyak menggantungkan hidupnya dari hasil hutan, sekarang lebih mampu beradaptasi dengan perubahan-perubahan di sekitar tempat tinggal mereka.

Contoh lainnya, Mus Mulyadi (44), putra asli Sakai, mantan anggota DPRD Bengkalis. Mulai dari nol, ia berhasil mandiri berkat kegigihan dan kemauan kerasnya untuk terus belajar. Pada 1999-2000, Mus Mulyadi mulai bekerja padat karya di lingkungan PT CPI bertugas menyapu, membersihkan parit, dan memotong rumput.

Mus Mulyadi kemudian berkeinginan menjadi pengusaha. Awal 2000-an, PT CPI meluncurkan Program Local Business Development (LBD), atau program pengembangan usaha lokal, bertujuan mengembangkan kemampuan pengusaha-pengusaha kecil di sekitar wilayah operasi Perusahaan. 

”Selain bidang pendidikan, program pengembangan masyarakat yang dilaksanakan PT CPI juga menyentuh bidang ekonomi kecil dan menengah,’’ jelasnya. 

Mus Mulyadi merupakan ketua pertama Gapensus Duri, kemudian membuat kerja sama dengan PT CPI. Gapensus kependekan dari Gabungan Pengusaha Suku Sakai. Saat ini, jelas Mus Mulyadi, ada 43 badan usaha milik Sakai tergabung dalam Gapensus.

Pada 2012, Mus Mulyadi mulai merambah ke bidang pertanian terpadu. Dengan dukungan PT CPI, ia dan beberapa keluarga Sakai membuat peternakan ikan di kolam berukuran 10x20 m. Mereka diberikan 10 ribu bibit ikan lele, pakan, pelatihan, hingga pendampingan agar usaha tersebut berkesinambungan.

”Saya dikirim ke berbagai daerah untuk belajar budidaya ikan ke Sukabumi, Garut, dan beberapa daerah lainnya,” ungkap Mus Mulyadi.

Kelompok ia pimpin mengembangkan pertanian terpadu di atas lahan seluas 12 hektare. Perlahan tapi pasti, usaha mereka mulai berkembang. Mulai dari satu kolam, kemudian menjadi dua kolam, tiga kolam, hingga sekarang 16 kolam.

Masing-masing kolam berisi 20 ribu ekor lele, kecuali lele di keramba berukuran 5x10 meter berisi 10 ribu ekor. Saat ini, kelompoknya mengelola 24 keramba. Mereka menabur benih ikan setiap 10 hari sekali. 

”Usaha ini sangat menjanjikan bagi saya maupun para keluarga Sakai yang ikut,” jelasnya.

Kelompok tani dipimpin Mus mampu memasok hampir 1 ton ikan lele per hari ke pasar-pasar di Duri, dan 500 kg per minggu ke langganan di Dumai. 

Setelah budidaya ikan berkembang, kemudian Mus Mulyadi melihat peluang lain. Peluang tersebut bertanam buah dan sayuran. ”Pihak PT CPI menantang kami membuktikan kami mampu melakukan apa kami inginkan. Kami menyambut tantangan itu dengan bekerja keras, mencangkuli tanah untuk membuat kebun,” kenang Mus Mulyadi.

Pada tahap awal, mereka menanam cabai, timun, dan kacang. Kemudian berkembang ke peternakan ayam, bebek, dan burung puyuh. Ada juga masyarakat Sakai yang menekuni peternakan dan penggemukan sapi. 

”Saya senang karena kerja keras kami membuahkan hasil. Kini, masyarakat Sakai sudah mampu membeli sepeda motor maupun keperluan lainnya. Bahkan juga ada membuat usaha budidaya ikan atau tanaman sendiri,” ceritanya.

Lokasi pertanian terpadu mereka kelola sekarang juga menjadi tujuan belajar dan wisata. ”Tempat kami sering dipakai untuk pelatihan dari berbagai daerah di Riau. Banyak juga anggota masyarakat dan anak sekolah, terutama TK, datang kemari untuk belajar. Mereka bisa menanam sayuran dan datang lagi beberapa minggu kemudian untuk memanen,” terangnya.

Saat menjabat sebagai anggota DPRD Bengkalis awal 2019 lalu, Mus Mulyadi sempat ditunjuk sebagai sebagai Ketua Pansus Corporate Social Responsibility (CSR) bertugas membentuk Forum CSR.

Di situ, Mus menjadikan program CSR PT CPI sebagai contoh untuk perusahaan di Kabupaten Bengkalis. ”Ranperda sudah jadi dan sedang menunggu persetujuan Bupati untuk dilaksanakan.”

Mus Mulyadi menegaskan, pelaksanaan program-program pengembangan masyarakat harus dibarengi oleh kerja keras, keuletan, dan semangat pengembangan diri para penerima manfaat. Manfaatkan program-program itu untuk menjadikan diri kita lebih mandiri, berdiri di kaki sendiri untuk masa depan yang lebih baik. (advertorial)

Advertorial ini sudah naik dan telah mendapat izin dari Tribun Pekanbaru berjudul Keuletan Warga Sakai Menjadi Mandiri