Menakar Strategi Politik Jokowi Jadikan Prabowo Menhan

tualeka.jpg
(istimewa)

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Partai Hanura melalui Ketua Departemen kajian Strategis Bidang Organisasi DPP Partai Hanura, Chalid Tualeka angkat bicara terkait masuknya Prabowo Subianto ke dalam kabinet jilid II Jokowi.

Kepada Riau Online, Chalid mengatakan memang dari sekian banyak orang yang telah dipanggil Jokowi, sosok Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto menjadi sorotan dan sangat menyedot animo publik.

Sebab, Prabowo ialah personifikasi oposan utama Jokowi, dibuktikan dengan dua kali menjadi lawan politik Jokowi dalam perhelatan pemilu terakhir. Prabowo bahkan harus mengakui keunggulan Jokowi dua kali berturut-turut.

Namun, katanya, inilah realitas politik, dalam politik tidak ada yang abadi. Lawan dan kawan ialah nisbi. Bahkan, salah satu adagium menyebutkan, dalam politik yang abadi ialah perubahan itu sendiri.

Beberapa spekulasi kemudian berhamburan terkait bergabungnya Prabowo kedalam kabinet Jokowi, banyak yang mempertanyakan tujuan Jokowi mengikutsertakan Prabowo kedalam bahtera kabinetnya.

Salah satu jawaban yang bisa diketengahkan, sambung Chalid ialah Jokowi ingin memastikan kepemimpinanya dapat disokong oleh mesin partai yang solid.

"Kerja-kerja besar Jokowi butuh didukung oleh partai-partai besar pula, jika mengacu pada presentase hasil suara partai dalam pemilu tahun ini, PDIP dan Gerindra menduduki posisi pertama dan kedua," imbuh Chalid, Selasa, 22 Oktober 2019.

"Itu sebabnya langkah mengikutsertakan Gerindra dirasa opsi yang strategis untuk menyokong pemerintahan jilid duanya," tambahnya.

Setidaknya, Chalid memperkirakan ada dua alasan Prabowo dilibatkan kedalam jajaran kabinet Jokowi dan diberikan posisi sebagai menteri pertahanan.


Pertama, dalam kampanye Pilres 2019 simbol Prabowo merupakan syimbol oposisi yang di dalamnya berkumpul semua oposisi yang anti pada rezim Jokowi.

Kelompok tersebut diisi dari anasir partai politik PKS, PAN dan Gerindra serta beberapa ormas “Ultra Kanan” seperti PA 212, HTI, FPI dan lainnya.

Kedua, Jika Prabowo menjadi menteri pertahanan, secara tidak langsung Jokowi dapat "menjinakkan” mayoritas kelompok oposisi.

"Untuk menetralisir kekuatan oposisi ialah dengan menjadikan personifikasi kunci oposisi menjadi mitra politik, sedangkan Prabowo ialah personifikasi itu sendiri," pungkasnya.

Terkait Nasdem yang mengambil posisi Oposisi bukan serta merta dilihat sebagai bentuk “pecah kongsi” antara Megawari dan Surya Paloh, melainkan upaya strategis jokowi mengarahkan Surya paloh untuk berada di luar pemerintahan agar dapat mengawal PKS sebagai oposisi.

Hal itu dinilai Chalid sebagai bentuk upaya jokowi mengontrol oposisi agar tidak mengganggu berjalannya program pembangunan nasional.

Struktur kabinet jilid II ini juga merupakan periode terakhir jokowi, Ia berupaya mengurangi jumlah lawan-lawan politik dengan kompromistis dengan memasukan semua kekuatan politik yang masuk di dalam kabinet.

"Dalam pembentukan kabinet jokowi jilid II, di sinilah kepiawaian dan kehebatan jokowi dalam mengkonsolidasikan semua kekuatan politik baik lawan politik maupun koalisi pendukungnya," ungkapnya.

TNI/Polri, lanjutnya, juga tidak lepas dari “bidak” jokowi yaitu selain anggaran mereka dinaikan, pos pos strategis yang terkait dengan terjaminnya stabilitas politik dan keamanan di isi oleh orang-orang loyalis Jokowi dari PDIP di jabatan Menpolhukam, Kajagung, Kapolri, Panglima TNI , dan Kepala BIN.

Di sini Jokowi telah belajar dari periode pertamanya, bahwa kerja besarnya butuh suasana yang kondusif. Ia ingin menciptakan iklim politik yang tenang agar fokus dan energi bangsa bisa diarahkan kedalam pembangunan nasional.

"Bukan pada kegaduhan nasional yang dipenuhi hal-hal remeh dan konfrontasi poltisi-politisi yang 'kering' subtansi pada kritik dan gagasan," tuturnya.

Sebagaimana diutarakan Jokowi dalam pidato pertamanya seusai dilantik oleh MPR beberapa hari lalu, tutur Chalid, Jokowi ingin berfokus mengerek neraca perekonomian. Program pembangunan ekonomi nasional tentu membutuhkan stabilitas politik.

Dengan stabilitas politik dan keamanan suatu bangsa, sambungnya, maka gerbang investasi dan usaha mendapatkan jaminan keamanan yang prima.

Namun di sisi lain, Jokowi dihadapkan pada PR yang tidak mudah, selain ia ingin melakukan konsolidasi nasional dan memobilisasi mesin partai sebanyak mungkin, ia juga harus mempertimbangkan psikologi kekuatan-kekuatan pendukung Jokowi, khususnya para relawan pemenangannya.

"Sebab, Jika masukan-masukan mereka tidak didengar secara baik, itu bisa menjadi bomerang dan bom waktu bagi jokowi, karena mereka akan berbalik menyerang Jokowi. Sebagaimana Joker, orang jahat ialah orang baik yang dicampakkan dan tersakiti," tutupnya.