Kisah Pelarian Massal Napi Nusakambangan

Para-napi-di-penjara-pada-masa-kolonial.jpg
(Historia/Wikipedia/Tropenmuseum)


RIAU ONLINE - Rasa bosan dan rindu keluarga mudah hinggap di benak napi yang berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun hidup di kompleks penjara. Belum lagi, mereka harus menghadapi kekerasan dan penularan penyakit yang sering menimpa.

“Penjara itu neraka dunia. Tak banyak kebebasan,” ungkap Ibrahim, mantan narapidana kasus kepemilikan narkoba, melansir Historia, Minggu, 2 Agustus 2018.

Beberapa napi yang tak tahan berupaya kabur. Bahkan, percobaan napi untuk kabur dari penjara telah mengada sejak pemerintah kolonial Belanda memberlakukan sistem penjara pada abad ke-19. Menurut R.A. Koesnoen dalam Politik Pendjara Nasional, alasan utama napi kabur adalah tekanan dari sipir dan poorman, napi tukang pukul.

“Makin keras tekanan, makin keras mendidihnya gerak daya tersebut. Akibatnya pelarian atau pembunuhan. Ibarat bensin yang direbus. Makin keras ditutup, makin keras tekanan keluar,” tulis Koesnoen.

Koesnoen memang tak menyebut contoh kasus pelarian napi dengan rinci. Namun, catatannya menungkap ada aturan tentang kepenjaraan yang muncul dari sejumlah kasus pelarian para napi. Aturan itu termaktub dalam Surat Edaran Kepala Djawatan Pendjara, 15 September 1932, No. G. 1/278/4.

“Narapidana yang suka melarikan diri dikirim ke penjara yang ada pekerjaan dalam penjara atau dipekerjakan dalam tambang batubara di Sawahlunto,” demikian sepenggal isi surat tersebut.

Lalu, apa penyebab napi nekat kabur?

Kemerdekaan Indonesia pada 1945 mengubah orientasi pengelolaan penjara. Pemerintah berupaya menjadikan penjara tempat resosialisasi napi ke masyarakat. Artinya, perlakukan terhadap napi tak harus selalu condong pada tekanan dan kekerasan. Ada pembinaan spiritual, jasmani, dan keahlian untuk mempersiapkan mereka kembali ke masyarakat.

Tapi, menjadikan penjara sebagai tempat resosialisasi tidak untuk membuat napi betah di penjara. Apalagi sampai hidup enak-enakan. Napi tetap hidup keras dan terbatas. Terlebih lagi, ebagian besar penjara Indonesia menempatkan napi bersama-sama dalam satu sel.

“Dengan adanya mereka bersama-sama dalam kamar mudahlah mereka mengadakan permufakatan-permufakatan jahat. Baik untuk pemberontakan dan pelarian besar-besaran maupun untuk perusakan tembok atau pelarian sendirian,” tulis Koesnoen.

Sebab itu, kasus pelarian napi masih ditemukan. Majalah Suara Buruh Kependjaraan, gawean organisasi Serikat Buruh Kependjaraan, edisi Oktober-Desember 1959 mencatat dua kasus pelarian napi selama dekade 1950-an di kompleks penjara Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.

Penjara Nusakambangan berada di sebuah pulau yang dikelilingi hutan lebat. Terbagi atas tiga kompleks, yakni Permisan, Karang Tengah, dan Batu. “Sebagian besar penghuninya narapidana berat dan ditambah dengan narapidana ringan yang berasal dari sekitarnya,” tulis Koesnoen.

Pelarian pertama terjadi di Permisan pada 9 September 1957 dan peristiwa kedua di Karang Tengah pada 7 Oktober 1959. Dua nyawa pegawai penjara dan beberapa rekan terluka parah dalam peristiwa pertama. Sedangkan pada pelarian kedua, satu nyawa pegawai penjara gugur dan satu rekan kena sabetan parang. Napi dalam peristiwa kedua berhasil merebut parang dan senapan mauser dari lemari penyimpanan pada siang hari.

“Adapun cara narapidana tersebut mengambil senjata yang berada di dalam almari senjata tersebut dengan jalan merusak gembok sehingga patah karena dibetel,” tulis Suara Buruh Kependjaraan.



Setelah melumpuhkan dua pegawai penjara, napi pelarian mendapat serangan balasan dari pegawai penjara lainnya. Tapi, sebuah peluru yang bersarang di tubuhnya tak cukup membuatnya rebah. Dia mampu keluar dari bangunan penjara di tengah rasa sakit. Dia masuk ke hutan sekitar kompleks penjara.

Sore hari bantuan untuk pegawai penjara datang dengan persenjataan lengkap. “Pasukan Korps Keamanan Nusakambangan (KKN) telah siap di Karang Tengah bersama dengan kepolisian untuk menghadapi peristiwa tersebut dan mengadakan operasi di dalam hutan mencari pemberontak tadi,” tulis Suara Buruh Kependjaraan.

Napi pelarian tak berdaya menghadapi belasan pasukan dan luka menganga di tubuhnya. “Pada jam 18.00 lebih dari pihak KKN bersama dengan pihak kepolisian telah berhasil membekuk batang lehernya pemberontak tersebut,” catat Suara Buruh Kependjaraan.

Namun, itu bukanlah upaya pelarian terakhir napi di penjara kelas berat Nusakambangan. Seiring berganti zaman, pelarian di Nusakambangan melibatkan napi dalam jumlah yang lebih besar.

Johny Indo, perampok ulung toko emas di Jakarta, sudah menjalani masa hukuman hampir 15 tahun di penjara Permisan. Pada awal Mei 1982, sepucuk surat datang dari sang anak. Surat itu bercerita tentang keadaan istrinya, Stella, yang banting tulang. Namun, penghasilannya hanya cukup untuk beberapa hari. Di bagian lain surat, anaknya juga mengabarkan ibu kandung Johny sedang sakit keras.

“Surat itu sungguh membangkitkan rindu pada rumah, rindu pada istri, anak-anak, dan ibunya,” tulis Willy A. Hangguman dalam Johny Indo Tobat dan Harapan.

Selama beberapa hari Johny memikirkan isi surat tersebut. Di sela-sela perenungannya, tampak gelagat mencurigakan dari rekan-rekannya. Dia tahu mereka merencanakan pelarian.

Suatu Minggu, Johny mengikuti kebaktian di dalam penjara. Pikirannya tertuju lagi pada surat anaknya. Dia juga teringat rencana pelarian rekan-rekannya. Niat ikut melarikan diri pun tumbuh.

Dia pun menghampiri rekan-rekannya dan mengatakan akan turut dalam pelarian. Niat Johny tak langsung mendapat sambutan dari rekannya. Mereka bajingan, tidak gampang percaya satu sama lain. Jika bukan karena mencapai kebebasan, mereka biasanya berkelahi untuk membuktikan siapa paling jago. Tapi sekarang mereka berusaha percaya satu sama lain, biarpun pelan-pelan.

Setelah meyakinkan rekan-rekannya bahwa dirinya bukan pengkhianat, Johny mendapat kepercayaan. Dia mengusulkan cara pelarian. Kontak fisik dengan sipir tak mungkin dihindari. Tapi Johny tak suka perebutan senjata. “Ini kan bukan zaman revolusi lagi,” kata Johny. Sebagian napi menolak usul Johny, beberapa lainnya mengiyakan. Tak ada kesepakatan.

Kamis, 20 Mei 1982, Permisan sepi dari penjagaan. Hanya ada empat sipir berjaga dan sebagian besar sipir berwisata dengan keluarga. Salah satunya berusia setengah baya. Para napi baru saja makan siang. Sebagian besar bermalas-malasan di suatu ruangan.

“Tiba-tiba narapidana yang sedang menjalani hukuman penjara 13 tahun (dan baru akan habis tahun 1988 mendatang), ditambah lagi 17 tahun penjara untuk kejahatan lain, menyerang sipir penjara setengah baya itu sehingga terjadi pergulatan,” tulis Subagyo PR dkk. dalam Rekaman Peristiwa 1982.

Johny ambil bagian mengeroyok sipir. Sedangkan belasan napi lainnya menyasar ruang penyimpanan senjata. Tiga sipir yang kewalahan menghadapi mereka akhirnya roboh.

Ruang penyimpanan senjata pun dikuasai para napi. Mereka membuka gerbang. Puluhan narapidana yang tadinya tak terlibat dalam rencana pelarian, jadi ikut-ikutan kabur. Tercatat 34 narapidana kabur menuju hutan lebat, mencari bibir pantai, mengharap kebebasan.

Sebenarnya, napi kabur merupakan hal biasa di penjara. “Dimana-mana narapidana dengan berbagai cara pasti ingin bebas dan keluar. Ini menunjukkan mereka masih manusia normal,” kata Ahmad Arif, Direktur Jenderal Pemasyarakatan ketika itu.

Tapi, lain cerita jika puluhan napi kabur bersamaan. Ketakutan mulai segera menyebar. Penduduk sekitar penjara yang mendengar kabar pelarian para napi itu mengungsi.

Ratusan petugas mulai berdatangan. Tidak semua masuk hutan, sebagian berjaga di pinggir pantai. Mereka tahu hutan Nusakambangan begitu liar. Ada ular, macan kumbang, dan binatang buas lainnya.

Napi pelarian melawan banyak hal di hutan. Kegelapan, binatang buas, kelaparan, dan tembakan petugas. Satu per satu napi pelarian kandas. Johny juga menyerah pada 1 Juni 1982. Upaya pelarian 34 napi itu gagal. Ada yang mati diterjang timah panas petugas, ada yang menyerah, ada pula yang diterkam binatang buas.

Berhari-hari cerita pelarian napi ini menyita halaman depan surat kabar nasional. Persoalan tentang pengelolaan penjara muncul lagi. Pejabat menjawab dengan mengatakan bahwa hukum tetap akan mengejar yang berbuat salah kemana pun. Mereka juga berjanji memperbaiki keadaan penjara untuk mencegah napi kabur dan peristiwa berdarah terulang.

Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE 

Follow Twitter @red_riauonline

Subscribe Channel Youtube Riau Online

Follow Instagram riauonline.co.id