Koyan, Pemimpin Perlawanan Suku Sakai Jadi Alasan Letnan Marsose Belanda Bunuh Diri

Pasukan-Marsose.jpg
(RIAUONLINE.CO.ID/ISTIMEWA)

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Sultan terakhir Kerajaan Siak Sriindrapura, Sultan Syarief Kasim II, sangat menentang kerja rodi diberlakukan Belanda kepada rakyatnya.

Setahun setelah ditabalkan sebagai Sultan, 1916, Kolonial Belanda mengeluarkan Peraturan Rodi (herendienst) dikenakan kepada anak negeri Siak.

Peraturan tersebut kemudian ditentang, bahkan tak dijalankan oleh Sultan Syarief Kasim II. Berbeda halnya di daerah kerajaan taklukan Belanda, Kerja Rodi, dijalankan oleh para raja dan sultan setempat.

Akhirnya, peraturan tanam paksa alias rodi ini tak bertahan lama. Tahun 1930, Rodi digantikan dengan Blasting jalan. Tak hanya menentang dan menolak, Sultan juga "merestui" perlawanan dilakukan rakyatnya yang tak setuju dengan Kerja Rodi ini.

Baca Juga: 

Wow, Sultan Siak Serahkan 13 Juta Gulden Untuk Modal Indonesia Merdeka

Sedan Jerman Setia Dampingi Sultan Siak Keliling Sumatera

Perlawanan tersebut, OK Nizami Jamil dalam bukunya berjudul Tahta untuk Negeriku Indonesia, 2017, menceritakan, dipimpin seorang Suku Sakai bernama Koyan.

Aksi perlawanan Koyan ini dimulai Desember 1931, dibantu kawan-kawannya, antara lain Matan, Labe, dan Ponoh. Mereka menolak kerja rodi di daerah mereka, Sungai Preban, Selat Akar, Onderdistrict Mandau.

Pemberontakan tersebut ternyata memakan empat polisi Belanda tewas di tangan kelompok Suku Sakai ini. Tak tanggung-tanggung, komandan Polisi Belanda bernama Weo Jange, juga ikut jadi korban.

Matinya empat polisi Belanda ini membikin Asisten Residen Belanda di Bengkalis geram. OK Nizami Jamil menjelaskan, Kolonial kemudian mengirimkan pasukan polisi Hoofdziener didatangkan langsung dari Medan, Sumatera Utara, berjarak ratusan kilometer dari Mandau.

Pasukan polisi dari Medan dipimpin Eijzerman, juga bernasib serupa seperti dialami empat polisi,gagal membasmi perlawanan angkat senjata kelompok Koyan Cs ini.


Kegagalan pemadaman perlawanan bersenjata masyarakat asli Suku Sakai ini tak terlepas dari medan di Selat Akar, dengan rawa dalam dengan pohon bakau yang sukar dimasuki orang luar.

Kegagalan dua kali serangan dilakukan polisi Belanda tersebut, kali ketiga penyerangan dipimpin langsung Meindersma Asisten Residen dibantu Controleur Tebing Tinggi.

Pasukan ini dilengkapi dengan empat kapal perang bernama Stella, Senia, Balam, dan Kruingi, serta persenjataan lengkap.

Hasilnya? Hanya kegagalan semata dialami pasukan ini. Mereka sama sekali tak bisa menangkap Koyan dan kawan-kawannya. Akhirnya, perkampungan masyarakat Sakai di Selat Akar jadi sasaran pembakaran polisi Belanda.

Tiga kali mengirim pasukan dan hasilnya gagal melulu, membuat Belanda semakin murka dan malu. Kali keempat, dikirimlah Letnan Leistser.

Klik Juga: 

Sang Penjaga Sepatu Pengunjung Istana Siak Sri Indrapura

Hoegeng, Kapolri Jujur Yang Dilupakan Ravolusi

Sang Letnan baru saja meraih gilang-gemilang saat berhasil memadamkan perlawanan rakyat Aceh. Sebagai prajurit Marsose, pasukan tak kenal ampun, malu jika tak bisa mengalahkan perlawanan masyarakat kampung dipimpin Koyan tersebut.

Tahu ia diburu oleh pasukan Marsose dipimpin Letnan Leitser, Koyan dan pengikutnya kemudian mundur jauh ke dalam hutan, dan bermukim di sana.

"Keuntungan dari mundur ke dalam hutan, sebelum memasuki hutan, harus melewati kawasan gambut atau rawa dalam, serta banyaknya ular berbisa di hutan bakau, pelindung sebelum memasuki hutan lebat," kata tokoh masyarakat Melayu Riau tersebut.

Mengetahui, tutur OK NIzami Jamil, Belanda mengirimkan pasukan Marsose, Sultan Syarief Kasim II kemudian mengirim utusan untuk menjumpai Koyan.

Utusan itu saat berjumpa Koyan menyampaikan pesan Sultan. "Isinya adalah Koyan dan kawan-kawannya harus meninggalkan negerinya dan pergi menyelamatkan diri ke tanah Semenanjung Melayu," kata Mantan Wakil Bupati Siak 2006-2011 ini.

Pesan Sultan, jelasnya, diterima Koyan dan ia bersama sahabatnya pergi ke Semenanjung Melayu atau Malaysia kini. Kepergian mereka ini menggunakan sampan layar.

Sementara itu, Letnan Leitser, tahun 1932, karena gagal menangkap dan menumpas perlawanan Koyan, ia pun kembali ke Medan, Sumatera Utara.

"Ia terpukul, malu, menjadi satu. Letnan tersebut kemudian mengambil jalan pintas dengan cara bunuh diri di atas kapal yang membawanya pulang ke Medan," kata OK Nizami Jamil.

Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE 

Follow Twitter @red_riauonline

Subscribe Channel Youtube Riau Online

Follow Instagram riauonline.co.id