Aidit, Segelas Kopi dan Tumpangan Sepeda untuk Ketua Masyumi, Moh Natsir

Moh-Natsir-DN-Aidit-dan-IJ-Kasimo.jpg
(RIAUONLINE.CO.ID/ISTIMEWA)

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Ada hal menarik di awal-awal Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdiri, terutama di masa-masa antara 1950 hingga keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. 

Bapak-bapak bangsa ini (The Founding Fathers) saling beradu argumentasi, berdebat dengan kerasnya di Sidang Konstituante, bertugas untuk membentuk Undang-undang Dasar (UUD), namun usai itu berakhir, selesai sudah pertarungan keras di dalam sidang. 

Mereka kembali akrab, akur, bahkan saling menghormati serta menghargai satu sama lainnya. Termasuk cerita menarik di antara tokoh-tokoh politik berbeda ideologi tersebut, antara Ketua Umum Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Mohammad Natsir, Ketua Partai Komunis Indonesia (PKI), Dipo Nusantara (DN) Aidit. 

Baca Juga: 

Indahnya Cerita Persahabatan Bapak Bangsa Ini, Antara Buya Natsir, IJ Kasimo Dan Aidit

Inilah Cerita Komandan Kopassus saat Diturunkan Mahasiswa dari Gubernur Riau

Jumlah golongan menghendaki Pancasila sebagai dasar negara lebih kuat daripada golongan Islam, menghendaki Syariah Islam. Namun, kedua golongan ini, Pancasila dan Syariah Islam, plus komunis di sisi lainnya, tidak berhasil mencapai kuorum dua pertiga seperti ditentukan pada Pasal 37 UUDS 1950. Akibatnya Sidang Konstituante macet. 

Di dalam Sidang konstituante, pertentangan ideologi sangat tajam, namun bagi para tokoh bertikai kala itu, ini tidak membuat mereka saling membenci serta memusuhi secara pribadi. Seperti dialami Ketua Partai Katolik, Iganatius Joseph (IJ) Kasimo.

Ia tetap merasa lebih dekat secara pribadi dengan Buya Mohammad Natsir, Burhanuddin Harahap dan Kasman Singodimedjo dari Partai Masyumi, partai Islam.

 



Bagi IJ Kasimo, seperti ditulis dalam buku Politik Bermartabat Biografi IJ Kasimo, karangan JB Soedarmanta, perbedaan politik tidak memisahkan persaudaraan dan persahabatan pribadi. 

"Misalnya, Natsir dari Masyumi mengaku di dalam sidang konstituante ingin menghajar DN Aidit, pemimpin PKI, dengan kursi. Hingga selesai sidang, tak ada kursi melayang. Malahan, usai sidang, Aidit lebih muda dari Natsir membuatkan segelas kopi dan keduanya berbincang-bincang soal keadaan keluarga masing-masing," tulis JB Soedarmanta. 

Bahkan, kejadian seperti itu acap kali terjadi. Saat Natsir tak ada tumpangan untuk pulang, tokoh komunis itu sering memboncengkan  pencetus Mosi Integral Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tersebut, menggunakan sepeda dari Pejambon.

Rukunnya dan menghargai perbedaan pendapat juga diperlihatkan saat Natsir mengajukan Mosi Integral, kemudian dikenal dengan sebutan Mosi Integral Natsir, 3 April 1950. Para tokoh non-muslim tegak berdiri mendukungnya. 

Usai pembubaran Republik Indonesia Serikat (RIS) bentukan Belanda, Natsir menjadi Perdana Menteri pertama di era Parlementer. Urang awak itu tidak lupa menggandeng tokoh dari partai lainnya berbeda agama, seperti FS Harjadi dari Partai Katolik, sebagai Menteri Sosial dan Herman Johanes dari Parkindo untuk memimpin Kementerian Pekerjaan Umum. 

"Menurut Natsir, kepemimpinan adalah seperti tukang kayu yang dapat memanfaatkan semua jenis kayu. Petinggi Masyumi, KH Isa Ansyari malah mengajak Aidit dan Nyoto makan sate setelah rapat. Kalau Aidit ke Sukabumi, ia menginap di rumah Kiai Ansyari," tulis Soedarmanta. 

Klik Juga: 

Kini Penjara untuk Tahanan PKI Itu Berdiri Plaza Citra

Sesama Kodam Diponegoro, Soeharto Tak Masuk Jenderal Diculik Pasukan Letkol Untung

Kedekatan IJ Kasimo dengan tokoh Masyumi, jelas beragam Islam lainnya tak hanya dengan Natsir semata saja. Prawoto Mangkusasmito dibantu Kasimo membeli rumah di Yogyakarta.

Saat ditanyakan itu, Kasimo berdalih, "Kalau tangan kananmu memberikan sesuatu, janganlah tangan kirimu tahu," kata Kasimo sambil mengutip kata-kata dalam Injil. 

Bagi Kasimo, Natsir dan kawan-kawan adalah rekan dialog yang konstruktif, demikian pula sebaliknya. Permusuhan dan pertentangan ideologi bukan pertarungan dengan musuh harus dilawan secara membabi-buta serta saling membunuh, tetapi dipandang perseteruan biasa dengan saudara-saudara sebangsa dan setanah air. 

"Karena itu, tidak pantas memperlakukan lawan sebagai musuh, tetapi sebagai sesama saudara dengan membedakan antara urusan politik yang bisa "kalah-menang" dan urusan pribadi diwarnai persaudaraan serta keakraban," tulisnya. 

Buktinya, ketika Sarmidi Mangunsarkoro (1904-1959) dari PNI, pernah menjatuhkan Kabinet Natsir meninggal, Natsir pun datang melayat dan ia meneteskan air mata karena kehilangan rekan seperjuangan. 

 

Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE 

Follow Twitter @red_riauonline

Subscribe Channel Youtube Riau Online

Follow Instagram riauonline.co.id