Sate Padang dan Es Tebak, Dua Hal Disukai Luhut Panjaitan-Nurmala Kartini

Nurmala-Kartini-Panjaitan.jpg
(RIAUONLINE.CO.ID/AZHAR SAPUTRA)

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Bagi abang adik ini, Kota Pekanbaru, bukanlah kota asing buat mereka, walau kini sang abang sudah menjadi pembesar negeri ini. 

Sang abang, Jenderal (Purn) Luhut Binsar Panjaitan dan adiknya, Nurmala Kartini Panjaitan, memiliki kenangan dan memori sulit dilupakan saat mereka kanak-kanak di Kota Bertuah ini. 

Ker, demikian ia kerap dipanggil, kadang kala dipanggil juga dengan sebutan Kartini, merupakan istri mendiang ekonom Indonesia, aktivis mahasiswa Universitas Indonesia (UI), pentolan Peristiwa Malari 1974, Syahrir. 

Baca Juga: 

Sejarah Pilu Yang Terlupakan Di Riau

Kini Penjara Untuk Tahanan PKI Itu Berdiri Plaza Citra

Pekanbaru, dalam kenangan ker, menyebutnya dengan sebutan Kota perintis. Sebutan itu melekat setelah ia dibawa keduaorangtuanya merantau dan bekerja di perusahan asing perminyakan asal Amerika Serikat, PT Caltex, dari kampung halamannya, Simangala Hutanamora, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara. Antropolog ini lahir pada 1 Februari 1950. 


"Masa kecil itu buat kami adalah masa-masa amat sangat menyenangkan. Selalu mengingatkan kita daerah ini (Pekanbaru) adalah betul-betul daerah perintis. Jadi banyak sekali pendatangnya," kata adik kandung Luhut Binsar Panjaitan tersebut kepada RIAUONLINE.CO.ID, Selasa, 8 Agustus 2017. 

Ketika bincang-bincang dengan teman dekat perempuan Soe Hok Gie, aktivis Indonesia keturunan China, mahasiswa UI ini, Ker duduk berdampingan dengan Gubernur Riau, Arsyadjuliandi Rachman dan Wakil Gubernur Riau, Wan Thamrin Hasyim. 

Di Pekanbaru, Ker jatuh cinta dengan makanan yang dijual di sebuah bofet (tempat makan) dengan cita rasa masakan Padang, Sumatera Barat. Di bofet tersebut, tuturnya, hanya menjual sate padang dan es tebak. 

"Jadi di situ ada Pak haji menyewakan sepeda. Pergi boncengan dari SMP 1 (Jalan Sultan Syarif Qasim), usai pulang sekolah tidak ke rumah dulu. Singgah ke bofet yang jualnya cuma ada dua, es tebak sama sate Padang. Mau dibilang makanan apapun, saya sama Pak Luhut itu hanya sate Padang. Yang lain tidak nendang," katanya dengan tersenyum. 

Sampai-sampai, keduanya pun saat bertemu sekarang ini, dimana pun, selalu berbicara bahasa Minang bercampur logat Pekanbaru. "Karena itu saya kalau ketemu sama Pak Luhut, kalau berbicara itu pakai bahasa Minang-Pekanbaru. Ya, benar Minang-Senapelan," katanya sambil tertawa. 

Klik Juga: 

Inilah Cerita Jenderal Kopassus Dikudeta Mahasiswa dari Jabatan Gubernur Riau

Inilah Kisah Pengibaran Merah Putih Pertama Di Pekanbaru

Nurmala Kartini Pandjaitan merupakan anak dari pasangan Bonar Pandjaitan dan Siti Frida Br Naiborhu dari Huta Parranggitingan. Kedua orangtuanya memutuskan membawa anak-anaknya ke Pekanbaru pada 1945.

Mereka dibesarkan dan tinggal di Padang Bulan, Kecamatan Senapelan, Kota Pekanbaru. "Saya datang kemari sangat senang dan hafal itu dimana-mana (hafal Jalan). Tadi saya sudah bilang, Sudirman masuk dulu itu ada rumah Kapolda. Ini semua adalah daerah elite (menunjukkan Jalan Diponegoro) dan dulu ini rimba raya. Pokoknya gak bisa dibayangkan," jelasnya. 

Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline