'Malapraktik’ Jurnalistik, Ancaman Nyata Kebebasan Pers

RIAU ONLINE - Postingan itu awalnya biasa-biasa saja. Sebuah link berita dari media online masuk ke grup alumni, Senin, 6 Maret 2017, sekitar pukul 21.16 Wib. Satu menit berselang, postingan itu langsung menuai tanggapan. Saling tuding tak terelakkan. Sedikitnya ada 10 tanggapan. Tercatat postingan terakhir, Selasa, 7 Maret 2017, pukul 03.30 WIB.

Saya tak tertarik mengikuti. Apalagi membuka link-nya. Jelang Subuh sekitar pukul 04.30 WIB, sambil menunggu azan Subuh rasa penasaran mendorong ingin mengikuti sebuah judul berita “Pemilihan Ketum Selalu Dibayangi Kepentingan Senior: Konfercab Tak Jelas Ujungpangkal, HMI Pekanbaru dalam Fase Mati Suri”, dipublikasi pada sebuah media online lokal. 

Di alinea ke-13, bacaan saya terhenti. Kaget bukan main. Sambil sesekali menarik nafas. Astaghfirullah. Berpikir sejenak, sambil bergumam. “Kok! ada berita seperti ini bisa naik ya?”

Berita bukan opini

Sebuah berita adalah produk jurnalistik. Punya teknik dan tata cara penulisan yang baku. Berita berasal dari fakta dan peristiwa di lapangan. Bukan karangan, atau imajinasi si jurnalis/wartawan. Intinya, berita bukan opini. Karena isi berita harus bisa dipertanggungjawabkan. Makanya, dikenal rumus 5W+1H. Sehingga isi sebuah berita bisa diverifikasi kebenarannya.

Membaca link di atas, judulnya dapat dipastikan opini si jurnalis. Dari aline 1-3, juga masih rangkaian kalimat opini jurnalis. Di aline ke-4, baru ada sumber beritanya. Lagi-lagi kaget, sumbernya ‘anonim’. Nama sumbernya tak lazim. Kepiting. Bukan nama sebenarnya.

Nama anonim ini digunakan sejak aline ke-4 hingga 13. krusial di alinea ke-13. Ketika nama anonim men-judge 4 (empat) nama. Ditambah lagi satu nama di aline ke-4 sebelumnya. Anehnya, nama-nama dituduh tak satu kalimatpun diberi ruang hak jawab. Atau memberi ruang tanggapan berimbang (cover both side.

Istilah persnya, trial by press,- tindakan mengarah seperti peradilan dengan menggunakan opini di media melalui publikasi massa.

Pelanggaran kode etik

Mencermati berita tersebut, setidaknya ada sejumlah poin dugaan pelanggaran kode etik. Meski yang berhak menilai dan menyatakan pelanggaran kode etik itu adalah Dewan Pers. Tapi setidaknya, mengkaitkan dengan pasal-pasal dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ), terasa sekali berita itu memiliki persoalan.

Pasal 1, 2, 3, 10 dan 11 KEJ dalam berita itu diabaikan.
(1) Wartawan Indonesia bersikap independen,menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk;
(2) Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik;
(3) Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah;
(10) Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa;_
(11) Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.

Malapraktik

Istilah malapraktik memang tak dikenal dalam profesi jurnalistik. Baik KEJ, maupun UU No 40/1999 tentang Pers tak mengatur tentang tanggungjawab akibat kelalaian saat melaksanakan tugas jurnalistik. Istilah itu dikenal dalam praktik kedokteran, yaitu dokter praktik saat menjalankan profesi karena kelalaiannya dalam menerapkan standar profesi mengakibatkan seseorang menderita kerugian.

Namun Alwi Dahlan, sangat menekankan betapa pentingnya KEJ bagi jurnalis. Menurutnya, KEJ memiliki 5 (lima) fungsi, satu di antaranya melindungi masyarakat dari malapraktik oleh praktisi yang tidak profesional.

Apabila pendapat Alwi Dahlan ini kita ambil, makna praktisi itu sesungguhnya adalah jurnalis yang tidak taat terhadap prosedur kode etik. Sehingga pelanggaran kode etik itu sama seperti malapraktik kedokteran. Jika kerugian akibat kelalaian jurnalis dalam menjalankan tugas, maka di sana telah terjadi malapraktik.


Sama seperti pejabat administrasi negara yang melanggar peraturan saat memberikan pelayanan. Akibat kerugian yang ditimbulkan disebut sebagai maladministrasi.

Delik pidana

UU No 40/1999 tidak mengenal pelanggaran atau kejahatan (delik) dilakukan oleh jurnalis. Justru dikenal adalah delik pidana untuk orang menghalang-halangi jurnalis dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Delik pidana juga ditujukan untuk perusahaan pers tak berbadan hukum serta tak mau memberikan hak jawab dan hak koreksi.

UU Pers ini justru mengenal istilah imunitas atau kekebalan jurnalis dalam menjalankan tugas. Dalam Pasal 8 menegaskan: “Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum”.

Kerugian akibat pemberitaan dilakukan oleh jurnalis menurut UU ini diselesaikan dengan hak jawab dan hak koreksi (Pasal 1 ayat 11 dan 12).

Pertanyaannya, apakah jurnalis tak bisa dipidana? Sebagian pakar hukum mengatakan, imunitas terhadap jurnalis itu berlaku saat menjalankan tugasnya. Sehingga mereka berpandangan UU Pers itu adalah UU khusus (lex specialis derogat legi generali).

Asas di atas, penafsiran hukumnya menyatakan hukum bersifat khusus mengesampingkan hukum bersifat umum. Meski demikian, sejumlah pakar hukum, terutama hukum pidana tetap berpandangan UU Pers itu bukan UU khusus. Karenanya, pasal-pasal terkait delik pers di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) masih tetap berlaku.

Memang selama ini dalam praktiknya, Dewan Pers dalam kasus-kasus pers selalu memperjuangkan dan menempuh upaya-upaya mediasi. Sehingga terkait kasus-kasus ‘malapraktik’ jurnalistik diselesaikan melalui proses hak jawab dan hak koreksi sebagaimana diatur dalam UU Pers itu.

Kesepahaman itu dalam praktiknya juga selalu ditempuh kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Ketiga lembaga ini selalu memintai pendapat Dewan Pers terlebih dahulu terhadap kasus-kasus pers. Jika Dewan Pers dalam penilaiannya menegaskan, berita dihasilkan bukan produk jurnalistik, karena tak memenuhi unsur-unsur standar kode etik, barulah ketiga lembaga tersebut langsung memprosesnya dengan ketentuan delik pidana sebagaimana diatur dalam KUHP.

Defamation/Penghinaan

Sudah tentu produk berita dihasilkan tanpa memperhatikan kode etik, tidak masuk kategori produk jurnalistik yang dilindungi oleh UU Pers ini. Melainkan produk berita secara sengaja menyerang seseorang, masuk dalam kategori penghinaan (defamation). Di mana penghinaan diatur dalam Bab XVI pasal 310 ayat (1) dan (2) KUHP.

Barang siapa dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang dimaksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah;

Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Bahkan ancamannya tak cukup di KUHP. Terkait penghinaan apabila prosesnya menggunakan media elektronik, seperti perangkat komputer, internet, android, smarthphone, dan lain-lainnya, masuk dalam kategori transaksi elektronik. Sehingga apabila perbuatan hukum itu dilakukan menggunakan media elektronik, maka dapat diterapkan pasal-pasal dalam UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Pasal 28 ayat 1 menegaskan, Setiap orang yang dengan sengaja dan atau tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan ancaman pidana penjara enam tahun dan denda maksimal Rp1 milyar.

Penutup

Sesungguhnya di era keterbukaan dan kebebasan informasi, setiap informasi disampaikan harus benar-benar bisa dipertanggungjawabkan. Pilihan bijak adalah menjaga kehati-hatian. Informasi disampaikan harus benar-benar bermanfaat. Proses cek-ricek harus diterapkan dengan ketat.

Tak hanya sebatas melampiaskan ketidakpuasan atau ketidaksukaan. Tapi, bagaimana berpikir publik memperoleh informasi yang benar, akurat dan sehat.

Andaikan kita berhitung plus minusnya, informasi disebarkan itu menggunakan media cetak, dampaknya masih sebatas hasil cetakan itu bertahan seiring waktu. Tapi tidak demikian halnya jika menggunakan jaringan transaksi elektronik/internet. Informasi itu tak serta merta bisa dihapus.

Informasi itu akan menyebar dan berpindah begitu cepat dari satu tangan ke tangan lain melalui ruang dunia maya. Ibaratnya seperti menebar virus di udara. Selama itu pula, orang diserang kehormatannya akan terus-menerus labelnya lengket di dunia maya. Mungkin bisa 10 tahun atau bahkan 100-an tahun sepanjang proses transaksi elektronik itu masih ada.

Pilihannya, jika masih menilai informasi disampaikan itu merupakan produk jurnalistik, sebaiknya cepat melakukan koreksi. Karena prinsip dalam KEJ dan UU Pers, koreksi bukanlah hal memalukan. Tapi merupakan bagian dari proses check and balance masyarakat dalam mengawasi peran dan fungsi pers. Bagaimanapun kedewasaan pers itu ikut ditentukan oleh kedewasaan masyarakatnya.

Semoga breidel dan sensor terhadap pers tak ada lagi. Oleh karena itu mari rawat dan jaga kebebasan dan keterbukaan pers itu dengan baik dan bijak.***

 

*Ilham Muhmmad Yasir

*Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Pekanbaru 2010-2013,

*Pemegang Sertifikat Saksi Ahli Pers Dewan Pers Republik Indonesia 2010-2014.