RIAU ONLINE - Majulah Singapura, sebuah lagu kebangsaan Singapura yang diresmikan sejak tahun 1965. Namun tahukah Anda? ternyata sosok di balik terciptanya lagu tersebut adalah warga Indonesia sang putra Minangkabau.
Zubir Said, pria kelahiran 22 Juli 1907 di Fort de Kock yang kini menjadi Bukittinggi, Sumatera Barat. Ia adalah anak tertua dari sembilan bersaudara dari Mohammad Said bin Sanang. Zubir kehilangan ibunya saat masih berusia tujuh tahun.
Putra seorang kepala suku itu mengenyam pendidikan dasar di sekolah Belanda dari 1914 sampai 1921 dan melewatkan empat tahun belajar di sekolah menengah.
Zubir telah memperlihatkan bakatnya bermain musik sejak duduk di bangku sekolah dasar. Guru musiknya yang melihat bakat sang murid, memperkenalkan Zubir teknik solmisasi, yakni gaya berlajar musik dengan membaca notasi dan membantunya membentuk grup musi untuk murid-murid berbakat.
Baca Juga: Anda Miliki Darah Minangkabau? Inilah Urang Awak Pada Mata Uang Di Empat Negara
Dari sana Zubir belajar membuat seruling dari teman grupnya dan bersama-sama bermain musik dengan seruling bambu buatan sendiri. Menginjak sekolah menengah, Zubir bergabung dengan grup keroncong. Di grup itu, ia belajar memainkan gitar dan drum.
Usai menempuh 11 tahun pendidikan, keterbatasan ekonomi keluarga memaksa Zubir untuk bekerja di usia 18 tahun. Dengan pendidikan seadanya, peluang pekerjaan baginya terbatas. Ia mulai bekerja di sebuah pabrik sebbagai pembuat batu bata. Kemudian, ia menerima tawaran seorang temannya untuk bekerja sebagai juru ketik.
Sambil menjadi juru ketik, Zubir terus mengejar hasratnya bermain musik dengan bergabung di grup keroncong hingga mendapat pekerjaan sebagai pemain biola, seperti dilansir dari Wikipedia. Zubir menuai pujian dari pegawai kecamatan saat terlibat dalam pemadaman kebakaran. Pegawai itu mendorong Zubir untuk mengikuti impiannya dan berusaha mewujudkannya.
Saat berusia 19 tahun, Zubir meninggalkan pekerjaannya sebagai juru ketik dan memimpin grup keroncong keliling. Zubir berjalan dari desa ke desa di Sumatera bersama anggota grupnya mulai dari tampil di pernikahan, meramaikan pameran hingga kegiatan massa lainnya.
Pada 1928, Zubir sudah berusia 21 tahun meninggalkan Sumatera menuju Singapura setelah mendengar seorang temannya yang berkata bahwa Singapura adalah tempat "lampu bergemerlapan, kopi susu dan mentega" barang mewah yang tak pernah didapatkannya di Sumatera.
Klik Juga: Inilah WNI Pertama Berdarah Minang Yang Jadi Imam Besar Masjidil Haram
Perjalanan ia mulai dengan menumpang kapal kargo meski tanpa izin maupun restu dari sang ayah, yang meyakini musik bertentangan dengan agama.
Di Singapura, Zubir berkesempatan bergabung dengan wayang bangsawan City Opera, sebuah kelompok opera yang beranggotakan orang-orang yang berasal dari bangsa Melayu. Selama bekerja di teater itu, ia belajar membaca dan menulis musik dalam notasi Barat dengan bermain piano.
Pada 1936, Zubir memutuskan untuk hengkang dari grup itu dan direkrut oleh perusahaan rekaman milik Inggris, His Master's Voice (HMV) sebagai supervisor rekaman. Singapura adalah salah satu pusat industri rekaman HMV yang terpenting di Asia.
Tidak hanya memproduksi rekaman, Zubir juga bekerja sebagai pemandu penyanyi berbakat. Bekerja untuk memberikan panduan tersebut membuatnya harus berpergian ke berbagai daerah di Indonesia dan Malaya. Di HMV, Zubir dipertemukan dengan seorang penyanyi keroncong, Tarminah Kario Wikromo yang dinikahinya di Jawa pada 1938.
Karirnya di HMV berakhir seiring meletusnya Perang Dunia II, namun Zubir perlahan-lahan mulai dikenal dalam industri musik. Kemudian pada 1941, Zubir memboyong sang istri kembali ke Bukittinggi. Di sana, ia sibuk bekerja untuk menghibur tentara Jepang bersama beberapa orang pemain musik dan penyanyi.
Lihat Juga: Sesuai Adat, Jasad Tan Malaka Akan Dipindahkan Ke Tanah Minang
Namun akhirnya, Zubir kembali ke Singapura dan bekerja sebagai fotografer surat kabar Utusan Melayu agar ia punya kesempatan lebih banyak untuk bermain musik dan menuliskan laagu-lagu ciptaannya di surat kabar.
Pada 1949 ia dipercaya menjabat sebagai komposer musik untuk film-film Melayu produksi Shaw Brothers. Salah satu film yang membawa lagunya bahkan menembus papan film laris, film itu berjudul Chinta.
Namun Zubir kembali mengakhiri karirnya di Shaw Brothers dan bergabung di Cathay keris pada 1952, seorang temannya memperkenalkannya dengan manajer di perusahaan film di Singapura itu. Saat itu Cathay Keris yang memulai memproduksi film Melayu membutuhkan seorang penulis lagu latar belakang film.
Zubir, selama 14 tahun kemudian melewati karir di Cathay Keris sebagai komposer musik untuk film-film Malaysia, di antaranya Sumpah Pontianak (1958) dan Chuchu Datuk Merah (1963). Akhirnya, pada 1957 Zubir berkesempatan mementaskan musiknya untuk pertama kali di Teater Victoria.
Setahun berikutnya, tepatnya 1958, Zubir menggubah lagu dan musik Majulah Singapura sebagai lagu resmi untuk Dewan Kota Singapura. Padahal saat itu ia belum menjadi warga negara Singapura pada 1967.
Wakil Wali Kota Dewan Kota Singapura, saat itu, meminta Zubir untuk menulis laagu berjudul "Majulah Singapura", berdasarkan motto kota yang akan di tampilkan di Teater Victoria, untuk merayakan pembukaan kembali Teater Victoria secara resmi. Untuk pertama kalinya Majulah Singapura komposisi Zubir dimainkan oleh Ensemble Kamar Dagang Singapura di Teater Victoria pada 6 September 1958.
Butuh satu tahun untuk Zubir menyelesaikan musik dan lirik Majulah Singapura. Pemerintah Singapura, ketika mulai menjalankan pemerintahannya sendiri pada 1959, merasa perlu untuk memiliki lagu kebangsaan demi mempersatukan perbedaan ras di Singapura.
Lagu Majulah Singapura yang telah populer terpilih untuk diangkat sebagai lagu kebangsaan. Setelah beberapa revisi, komposisi Zubir disetujui secara bulat oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada 11 November 1959, dan pada 30 November 1959 peraturan mengenai lambang negara, bendera, dan lagu kebangsaan Singapura disahkan.
Hebatnya, Zubir menolak untuk menerima imbalan dari pemerintah atas gubahannya dengan menyatakan bahwa menerima penghormatan telah cukup baginya.
Majulah Singapura, menurut hukum, hanya boleh dinyanyikan dengan lirik Melayunya. Majulah Singapura dikumandangkan secara luas pada 3 Desember, menggantikan lagu koloni God Save the Queen.
Pada 9 Agustus 1965, setelah kemerdekaan penuh Singapura, Majulah Singapura secara resmi diadopsi sebagai lagu kebangsaan Republik Singapura.
16 November 1987, Zubir meninggal dunia di usia 80 tahun karena penyakit lever. Ia dimakamkan di Pusara Aman di Choa Chu Kang 56 Singapura.
Dilansir dari Boombastis, Pemerintah Singapura menganugerahi Zubir beberapa penghargaan atas dedikasi yang begitu tinggi pada musik Singapura. Namanya diabadikan sebagai nama salah satu jalan.
Pada 2004, patung Zubir dipajang di depan Istana Kampung Gelam, sebuah national heritage puak Melayu Singapura warisan abad ke-19. Setiap tahun, pemerintah Singapura mengundang para wartawan termasuk dari Indonesia untuk mengunjungi istana tersebut.
Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline