Wow, Ilmuwan Indonesia dan AS Kembangkan Pendeteksi Tsunami Baru

Pendeteksi-Tsunami.jpg
(VOA INDONESIA/AP)

RIAU ONLINE - Saat ini para ilmuan Indonesia bersama ilmuan Amerika Serikat tengah mengembangkan sistem baru untuk mendeteksi tsunami di Indonesia. Pasalnya, sistem deteksi tsunami di Indonesia yang terdiri dari sensor-sensor dasar laut dan berhubungan dengan pelampung transmisi di permukaan telah dirusak vandalisme dan kekurangan dana, sehingga menjadi tidak berguna lagi.

Para ilmuan Indonesia dan AS mengatakan telah mengembangkan sistem baru dengan pelampung-pelampung yang mahal dan kemungkinan lebih cepat beberapa menit dalam memberi peringatan di kota-kota pesisir yang rentan, seperti dilansir dari VOA Indonesia.

Selama empat hampir empat tahun mereka telah merancang Prototipe untuk mendeteksi tsunami dekat daratan. Kini telah dicoba di Padang, Sumatera Barat. Sementara, sistem ini menunggu keputusan keputusan terkait dana pemerintah untuk menghubungkannya ke badan-badan penanggulangan bencana di darat.

Pada 26 Desember 2004 silam, tsunami yang dipicu gempa di Samudera Hindia telah membuat hampir 230 ribu orang tewas atau hilang, sebagian besar di Indonesia. Peristiwa dahsyat itu memicu urgensi memastikan masyarakat memiliki peringatan sedini dan secepat mungkin.

Sayangnya, saat gempa besar menghantam wilayah dekat Kepulauan Mentawai, sekitar 170 kilometer dari Padang, Maret tahun lalu, tidak satu pun dari pelampung di daerah ini yang seharusnya mengirim peringatan tsunami bekerja.

Seorang pejabat pemerintah mengatakan ke-22 pelampung di Indonesia, yang harganya masing-masing beberapa ratus ribu dolar dan pengoperasiannya juga mahal, tidak ada yang bekerja akibat pengrusakan oleh awak kapal atau kurangnya dana perawatan.

Gempa Mentawai itu tidak menimbulkan tsunami tapi evakuasi berlangsung ricuh di Padang, yang berpenduduk satu juta jiwa dan kota-kota lain, yang memiliki waktu paling banyak 30 menit sebelum tsunami melanda. Kurangnya informasi, membuat para petugas untuk tidak membatalkan peringatan tsunami selama dua jam.

"Kini tidak ada pelampung di Indonesia. Semuanya rusak," ujar Iyan Turyana, insinyur kelautan di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).



Yayasan Sains Nasional AS telah memberikan dana sebesar US$3 juta, sehingga sebuah jaringan prototipe sensor bahwa laut telah dipasang antara Padang dan Kepulauan Mentawai.

Pelampung-pelampung tidak diperlukan karena seismometer bawah laut dan sensor tekanan memberikan gelombang suara berisi data ke air permukaan yang hangat. Dari situ mereka berbelok kembali ke kedalaman laut, menempuh 20-30 kilometer ke simpul berikutnya di jaringan itu dan seterusnya.

aringan itu memerlukan beberapa kilometer kabel serat optik di titik akhir bawah laut, untuk menghubungkannya dengan stasiun pantai di Kepulauan Mentawai. Dengan demikian curahan data akan ditransmisikan oleh satelit ke badan meteorologi dan geofisika, yang mengeluarkan peringatan-peringatan tsunami, dan kepada para petugas bencana di Padang.

"Seluruh proses kemungkinan hanya perlu 1-3 menit bukannya 5-45 menit seperti sistem pelampung pada umumnya," ujar Louise Comfort, ahli penanggulangan bencana dari University of Pittsburgh yang memimpin proyek tersebut, yang juga melibatkan para insinyur dari Lembaga Oseanografi Woods Hole.

"Kami mendapat catatan gerakan seismis yang lebih cepat sehingga mendapatkan waktu beberapa menit yang sangat berharga," ujarnya. "Dan kami mendapat sinyal yang lebih jelas mengenai apakah akan ada atau tidak ada tsunami."

Iyan mengatakan dibutuhkan biaya pemerintah sekitar Rp 1,5 miliar untuk pemasangan kabel tersebut. Sistem itu belum dipasang di mana pun, tapi dapat menjadi opsi bagi negara-negara atau wilayah miskin lain yang rentan tsunami.

Sejak 2004, mantra di antara para pejabat bencana di Indonesia adalah bahwa gempa merupakan peringatan tsunami dan sinyal untuk evakuasi segera. Tidak semuanya yakin sistem deteksi tsunami itu penting.

"Mengapa? Karena tsunami terlalu cepat untuk mencapai daratan. Setelah gempa, kita berevakuasi. Tidak perlu mendeteksi tsunami. Evakuasi saja. Itu opini keduanya. Itulah sebabnya sulit mendapatkan anggaran," ujar Iyan.

Namun menurut pendukung jaringan deteksi, tanpa sistem yang dapat diandalkan yang dapat mengurangi peringatan keliru, dampak peringatan keliru itu akan mengubah perilaku orang-orang.

Deteksi dini juga dapat memberikan informasi penting kepada para pejabat bencana mengenai tsunami, seperti tinggi gelombang dan di mana serta kapan mereka akan menghantam daratan.

"Sistem ini akan memastikan tsunami benar-benar datang," ujar Febrin Ismail, insinyur struktural yang terlibat dalam penanggulangan gempa dan perencanaan tsunami di Padang.

"Kadang-kadang setelah gempa, orang-orang lari dan kemudian mereka melihat tsunami tidak ada. Nantinya mungkin mereka tidak akan lari lagi. Kami khawatir gempa itu tidak efektif."

Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline