Gubraak! Sang Jenderal Pemikir Banting Pintu di Depan Soekarno

Soekarno-Lantik-Jenderal-TB-Simatupang.jpg
(Historia.id/Repro "Membuktikan Ketidakbenaran Suatu)

RIAU ONLINE - Gubraak! Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) TNI Mayor Jenderal Tahi Bonar Simatupang membanting pintu dan berlalu meninggalkan sang Presiden Soekarno.

Hingga bertahun-tahun kemudian, Menteri Sekretaris Negara, AK Pringgodigdo memberitahu Simatupang bahwa betapa terhinanya Soekarno pada hari itu. Umpatan bahkan terlontar dari presiden pertama RI itu.

Hij poept op mij! (Dia (Simatupang) memberaki saya!?” sebagaimana diungkapkan Pringgodigdo kepada Simatupang dalam Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos, dikutip dari Historia.

Pertengahan Juli 1952, peristiwa itu bermula dari laporan Bambang Supeno, Komandan Candradimuka, lembaga pendidikan mental bagi perwira, kepada Presiden Soekarno. Ia meminta Soekarno untuk mengganti Kolonel AH Nasution dari kedudukannya sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAP).

Baca Juga: Bung Karno Minta Dikafani Pakai Bendera Muhammadiyah

Alasannya, banyak perwira kurang berkenan dengan Nasution yang melibatkan Misi Militer Belanda (MMB) dalam meningkatkan mutu tentara. Permintaan itu direstui oleh Soekarno, dengan syarat para panglima di daerah juga setuju melalui pengumpulan tanda tangan.

Pengumpulan tanda tangan para panglima divisi akhirnya rampung. Lantas, surat permintaan pemberhentian Nasution itu diserahkan kepada Simatupang.

Dalam Ikhtisar Sejarah RI (1945-Sekarang), Nugroho Notosutanto menyebutkan, KSAP meminta penjelasan tentang maksud Bambang Supeno. Perdebatan sengit pun terjadi dalam pertemuan keduanya. Beberapa hari kemudian, Bambang Supeno diberhentikan dari segala jabatannya.

Didampingi Menteri Pertahanan, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, dan KSAD, Simatupang bergegas menemui Soekarno di Istana Negara. Ketika itu, terjadilah percakapan yang kemudian berjalan sangat dramatis antara Simatupang dan presiden.



Klik Juga: Inilah Foto Pencitraan Bung Karno Dengan Merangkul Panglima Besar Soedirman

Soekarno membenarkan usul Bambang Supeno seraya mengemukakan tekad para panglima daerh yang menginginkan pergantian KSAD. Sebaliknya, keputusan itu malah ditentang Simatupang. Menurutnya, jika dibiasakan, hal ini akan terjadi kepada para panglima dengan mengumpulkan tanda tangan di antara para komandan resimen dan seterusnya. Dengan demikian, akan lahir pemimpin militer yang begitu takut akan kedudukannya, sehingga mereka akan melindungi diri dengan menunjukkan loyalitas mutlak kepada presiden.

“Selama saya Kepala Staf Angkatan Perang, saya tidak akan biarkan itu terjadi,” ujar Simatupang.

Uraian Simatupang dijawab dengan nada marah oleh Soekarno. "Ik heb je al gesegd je hebt de specialiteit om iemand in de hoek te drukken (Saya sudah bilang kamu mempunyai kemampuan khusus untuk memojokkan seseorang)," kata Soekarno.

Suasana panas, sarat emosi dan tak bersahat mewarnai pembicaraan keduanya, hingga berakhir tanpa solusi. “Saya sendiri meninggalkan presiden tanpa berjabat tangan, saya hanya memberikan hormat militer belaka,” kenang Simatupang.

Sementara itu, ketegangan di kalangan TNI AD terus bergolak. Muara konflik berujung pada Peristiwa 17 Oktober 1952, ketika militer menuntut pembubaran parlemen. Hingga berujung pada pencopotan Nasution dan Simatupang sebagai KSAD dan KSAP. Namun, kedudukan Nasution dipulihkan pada 1955, tidak demikian halnya dengan Simatupang.

Lihat Juga: Ketika Air Mata Bung Karno Iringi Tanda Tangan Vonis Mati Sang Sahabat

Sebenarnya, Simatupang sempat dua kali mendapat tawaran sebagai duta besar. Namun dia menolak, ia menilai tawaran itu tak lebih sebagai bentuk pengasingan terhadap dirinya. Dinas aktif militer Simatupang hanya dibatasi selaku penasihat militer di Departemen Pertahanan.

Dari rekannya Friderich Silaban yang juga arsitektur untuk proyek mercusuar Soekarno, Simatupang mengetahui, bahwa Soekarno telah memupus kesempatan bagi Simatupang untuk memegang suatu jabatan penting dalam pemerintahan.

Dalam otobiografinya, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat, dikatakan, bahwa tak sekalipun Soekarno menyebut nama Simatupang. Sedangkan Nasution, Soekarno menyanjungnya sebagai “pembantu yang baik dan loyal” meski juga sempat berselisih.

Selepas pensiun pada 1959, Simatupang aktif di dunia gereja dan menerbitkan buku hasil pemikirannya, baik dalam bidang militer maupun teologi. Beberapa di antaranya otobiografi di masa revolusi Laporan dari Banaran (1960), Pengantar Ilmu Perang di Indonesia (1969), Pelopor dalam Perang, Pelopor dalam Damai (1981), Iman Kristen dan Pancasila (1984).

Pada 1 Januari 1990, Simatupang akhirnya wafat. Namanya kemudian diabadikan sebagai salah satu jalan utama di Jakarta Selatan. Gambarnya juga terdapat dalam uang logam pecahan Rp500 tahun 2016.

Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline