John Lie, Si "Hantu Selat Malaka" yang Jadi Laksamana Muda

John-Lie.jpg
(KOMPAS.COM/DISPENAL TNI/ISTIMEWA)

RIAU ONLINE - Jahja Daniel Dharma alias John Lie, satu-satunya milisi Indonesia keturunan Tionghoa yang meraih pangkat Laksamana Muda dan bergelar Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia.

John Lie dikenal sebagai penyelundup ulung di laut, hingga dijuluki "Hantu Selat Malaka". Februari 1946, John Lie dan teman-temannya pelaut asal Indonesia yang bekerja di maskapai pelayaran Koninlijk Paketvaart Maatschapij (KPM) akhirnya bisa pulang ke Indonesia setelah kekalahan Jepang akibat pengeboman Hiroshima dan Nagasaki pada 6 dan 7 Agustus 1945.

Selama 10 hari saat singgah di Singapura, dimanfaatkan John Lie untuk mempelajari sistem pembersihan ranjau dari Royal Navy di Pelabuhan Singapura. Ia juga menyegarkan ingatannya soal taktik perang laut dan peranan kapal logistik. Pria kelahiran Manado, Sulawesi Utara, 9 Maret 1911 itu ternyata tidak sabar untuk bisa bergabung mengusir penjajah bersama laskar pejuang.

Namun sesampainya di Jakarta, ia tidak segera bergabung bersama laskar pejuang. Sebulan dihabiskannya mengumpulkan uang untuk ke Yogyakarta, seperti dilansir dari Kompas.com

Pada Mei 1946, John Lie menemui pimpinan Laskar Kebaktian Rakyat Indonesia (KRIS), Hans Pandelaki dan Mohede di Jalan Cilacap, Menteng. Ia diterima sebagai anggota KRIS Barisan Laut dan diberi surat pengantar untuk bertemu AA Maramis. Lalu dari Maramis, John Lie mendapat referensi untuk menghadap Kepala Staf Angkatan Laut RI (ALRI) Laksamana M Pardi di Yogyakarta.

Baca Juga: Dia Dono Warkop, Pria Yang Hadang Aparat Keamanan Dalam Kerusuhan Malari

Di hadapan M Pardi di Yogyakarta, John Lie menjelaskan maksud dan tujuannya bergabung bersama perjuangan Indonesia di bidang maritim. Kemampuan dan pengalaman John Lie ternyata membuat Pardi tertarik. Mereka membahas pengalaman dan kemampuan John Lie dengan menggunakan bahasa Belanda.

"John Lie maunya pangkat apa? Karena pengalaman saudara banyak," ujar Pardi kala itu.

Dengan tegas John Lie menjawab, "Saya datang bukan untuk cari pangkat. Saya datang ke sini mau berjuang di medan laut. Karena hanya inilah yang saya miliki, yaitu pengalaman dan pengetahuan kelautan yang sekadarnya."

Akhirnya John Lie diangkat sebagai Kelasi III setelah Pardi menandatangani izin bergabung John Lie di ALRI. Meski berpangkat rendah, namun perwira ALRI banyak yang bertanya perihal pengetahuan kelautan ke John Lie.

M Pardi kemudian menugaskan John Lie ke Pelabuhan Cilacap pada 29 Agustus 1946, bergabung bersama ALRI di sana. Dengan menumpang gerbong pos di kereta api uap dari Yogyakarta, John Lie memenuhi tugasnya berangkat ke Cilacap.

September 1947, Kepala Urusan Pertahanan di Luar Negeri membeli sejumlah kapal cepat. Mereka menyaring dan menyusun personalia pelaut untuk mengawaki satuan kapal cepat yang digunakan memasok kebutuhan perlengkapan perjuangan di Indonesia.

Klik Juga: Ketika Prabowo Menampar Perwira Pasukan Elit AS Hingga Tersungkur

John Lie merupakan salah satu yang lolos seleksi. Ia dipercaya untuk memimpin sebuah kapal cepat bernama "The Outlaw". Saat itulah, perannya sebagai penyelundup tidak sadari dimulai seketika. Rute pelayaran Singapura-Labuan Bilik dan Port Swettenham menjadi operasi perdana "The Outlaw".

Pada Oktober 1947, John Lie mencatat "The Outlaw" memuat perlengkapan militer berupa senjata semi otomatis, ribuan butir peluru dan perbekalan dari salah satu pulau di Selat Johor ke Sumatera.


Setibanya di Labuan Bilik, tampak pesawat Belanda terbang rendang mengitari pelabuhan dan meminta "The Outlaw" meninggalkan pelabuhan. John Lie nekat berbohong dengan mengatakan bahwa kapal sedang kandas dan tidak bisa ke mana-mana.

John Lie bisa melihat jelas dua juru senjata pesawat sudah mengarahkan senapan mesin ke arah "The Outlaw", siap menarik pelatuknya. Namun terjadi keajaiban, pesawat meninggalkan "The Outlaw" usai memutar dan aga menukik. John Lie seketika masuk ke kabin, berlutut, mengucap syukur atas kemurahan dan kasih Tuhan. "The Outlaw" menjadi berwibawa di hadapan juru tembak pesawat yang memutuskan pergi.

Belakangan terkuak, pesawat Belanda meninggalkan "The Outlaw" karena menipisnya bahan bakar. John Lie dan 22 awak kapalnya membongkar muatan senjata dan amunisi, kemudian diserahkan ke Bupati Usman Effendi serta komandan pejuang setempat, Abu Salam. Misi perdana pun sukses.

Pada misi-misi berikutnya, penyelundupan senjata ke Indonesia atau hasil bumi ke Singapura hingga Thailand oleh "The Outlaw" selalu berhasil. Siaran stasiun radio BBC di London sampai-sampai menjuluki kapal tersebut dengan nama "The Black Speedboat."

Lihat Juga: Inilah Sesepuh TNI yang Dilupakan Negara dan Meninggal dalam Kekecewaan

Kepala Subdinas Sejarah Dinas Penerangan TNI Angkatan Laut Kolonel Syarif Thoyib mengatakan, John Lie memiliki koneksi yang baik dengan orang-orang di pelabuhan Singapura, Thailand, bahkan hingga Afrika. Tidak heran operasi-operasinya berjalan sukses atas bantuan mereka.

"Apalagi di Singapura, beliau begitu dikenal di sana. Wajahnya yang khas keturunan Tionghoa juga yang mungkin membuat dia dibantu sana-sini. Padahal apa yang John Lie lakukan adalah membantu Indonesia merdeka," ujar Syarif.

Awal Agustus 1949, "The Outlaw" harus menjalani perbaikan total dengan naik galangan atau docking di Penang. Usai perbaikan, "The Outlaw" kembali ke Phuket menjemput awak kapal dan berlayar kembali ke Aceh.

Saat kapal memasuki Delta Tamiang, kapal Belanda menghadang di pagi-pagi buta itu. Kapal penjajah menembakkan meriam ke badan "The Outlaw" dengan membabibuta. Suasana tiba-tiba sangat mencekam. Paluru berdesing-desing. Ledakan terjadi di jarak 3 meter tempat John Lie berlindung.

"The Outlaw" sama sekali tidak berdaya dalam kondisinya yang kritis. Ajaibnya, kapal perang Belanda kandas di karang sehingga tidak dapat bergerak. "The Outlaw" kemudian melarikan diri dan bersembunyi di Delta Tamiang.

Tak hanya sampai di situ, kini armada udara yang menyergap. Lagi-lagi keajaiban terjadi. Pesawat dengan juru tembaknya hanya berputar-putar di atas delta, seakan-akan tidak melihat "The Outlaw" yang porak-poranda di bawahnya.

"Roh Kudus membungkus kami," ujar John Lie dalam sebuah memoarnya.

John Lie memutuskan untuk kembali ke Penang. Terlebih lagi, satu baling-baling mesinnya copot. Sehingga sulit untuk melarikan diri jika Belanda kembali mengejar.

Laksamana Muda TNI Jahja Daniel Dharma atau yang dikenal John Lie berfoto bersama awak kapal (KOMPAS.CO/DISPENAL TNI AL/ISTIMMEWA)

Keesokan harinya, pagi-pagi buta "The Outlaw" sedikit lagi memasuki Selat Malaka. Namun, di tengah kegelapan sebuah kapal tanker milik Belanda melintas. Nakhoda kapal tangker itu kemudian menghubungi patroli militer Belanda. Benar saja. Tidak lama kemudian, kapal patroli Belanda kembali menghadang "The Outlaw".

Kesunyian laut seketika pecah dengan tembakan meriam Bofors dan senapan mesin 12,7 milimeter. John Lie dan awak hanya bisa pasrah, mengingat jarak ke Penang masih jauh. Seisi kapal berserah kepada Tuhan. Bahkan, John Lie tidak menyadari kapal Belanda mengirimkan sandi morse agar "The Outlaw" menyerah.

Sekali lagi kembali terjadi keajaiban. Cuaca buruk mendadak melanda perairan. Kabut menyelimuti permukaan laut. Hujan turun dengan sangat deras. Gelombang laut berkecamuk. Kapal Belanda tak sanggup mengejar "The Outlaw" dengan cuaca yang demikian.

Perjalanan menyeramkan Phuket-Aceh itu juga terus dipantau radio BBC di London. Penyiar menyebut, "The Outlaw" dengan segala pengalamannya lolos dari sergapan itu di luar nalar. Bahkan, saat John Lie untuk kesekian kalinya bertandang ke Phuket, wartawan Roy Rowan dari majalah Life mengulas secara khusus operasi-operasi "The Outlaw" dari halaman 49 sampai 52

Pada 30 September 1949 John Lie dipindahkan ke Bangkok dan ditugaskan di Pos Hubungan Luar Negeri. Tugasnya sama seperti saat di darat, mendapatkan pasokan senjata yang lebih banyak untuk para pejuang di tanah air. Sedangkan "The Outlaw" kemudian dipimpin Kapten Laut Kusno. Namun pelayaran pertamanya, seisi kapal tertangkap Belanda.

Dengan sejumlah misi penting, John Lie melanjutkan tugasnya di TNI AL. Mulai dari penumpasan DI/TII Kartosuwiryo, penumpasan RMS hingga PRRI-Permesta. Hingga ia diberi pangkat tertinggi sebagai Laksamana Muda, pangkat tertinggi bagi pejuang keturunan Tionghoa di Indonesia.

John Lie akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya pada 27 Agustus 1988. Kediamannya di Menteng, Jakarta Pusat, dipenuhi anak asuh, pengemis hingga anak jalanan. Seorang Tionghoa yang selama ini menyantuni mereka telah pergi untuk selama-lamanya.

Pada 9 November 2009, pemerintahan era Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahkan Gelar Pahlawan Nasional dan Bintang Mahaputera Adipradana kepada mendiang John Lie. Di awal Januari 2017, nama John Lie diabadikan sebagai nama Kapal Perang Indonesia, KRI John Lie.

Dalam salah satu wawancara sebelum meninggal, John Lie sempat menggambarkan situasi pada saat itu di mana setiap pejuang harus memiliki inisiatif melakukan apa saja demi menguntungkan negara.

"Tahun 1946-1947 itu kita harus bertindak sendiri. Sebab saya punya semangat untuk bekerja bagi negara, nusa dan bangsa. Apa saja saya hadapi. Membantu Republik pada waktu itu mencari devisa," tutur John Lie.

"Sebab kita banyak orang yang bantu negeri mencari devisa supaya jangan kita dipukul oleh kaum-kaum neokolonialisme. Sebab kita tidak ada dana. Itu tindakan yang baik sekali, dapat dana yang banyak,” ujarnya.

Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline