Geger Cilegon, Kemarahan Rakyat Saat Belanda Runtuhkan Mushola

Banten-Tempo-Dulu.jpg
(MERDEKA.COM)

RIAU ONLINE - Kala itu, Banten ditimpa bencana yang membuat rakyat dihadapkan pada keadaan yang cukup sulit dan kalut. Penyakit Kolera mewabah pada 1879 dan disusul dengan meletusnya Krakatau pada 23 Agustus 1883. Kondisi ini membuat sebagian masyarakat kehilangan orientasinya. Hingga mempengaruhi kehidupan spiritual religius masyarakat. Bahkan, di desa Lebak Kelapa, sebagian masyarakat kembali menyembah pohon berhala, sebuah pohon kepuh besar yang dianggap keramat.

 

Berkali-kali Ki Wasyid mengingatkan penduduk bahwa meminta selain kepada Allah termasuk syirik, namun tak kunjung diindahkan. Kemudian, Ki Wasyid bersama muridnya merobohkan pohon berhala itu. Tindakan itu membuat Ki Wasyid mesti berhadapan dengan pengadilan Kolonial pada 18 November 1887. Ia dipersalahkan karena melanggar hak orang lain sehingga dikenakan denda 7,50 gulden.

 

Dilansir dari Wikipedia, hukuman yang dijatuhkan kepada Ki Wasyid menyinggung rasa keagamaan dan rasa harga diri para murid Ki Wasyid. Kemarahan rakyat Cilegon bahkan lebih besar saat menara Mushola di Jombang Tengah dirobohkan atas perintah Asisten Residen Goebels.

Baca Juga: Inilah WNI Pertama Berdarah Minang yang Jadi Imam Besar Masjidil Haram

 

Goebels menganggap menara yang dipakai untuk azan mengganggu ketenangan karena suaranya yang keras. Bahkan, Goebels menginstruksikan kepada Patih agar mengeluarkan surat edaran yang melarang salawat, tarhim dan azan dengan suara keras.


 

Hingga pada 7 Juli 1888, diadakanlah pertemuan para kyai untuk persiapan gerakan di rumah Haji Akhia di Jombang Wetan. Minggu, 8 Juli 1888, diadakan arak-arakan sambil meneriakkan takbir dan kasidahan yang dimulai dari rumah Haji Akhiya di Jombang Wetan dan berakhir di rumah Haji Tubagus Kusen, penghulu Cilegon. Pada hari Senin malam tanggal 9 Juli 1888, diadakanlah serangan ke Cilegon.

 

Di bawah pimpinan Ki Tubagus Ismail dan KH Wasyid serta sejumlah ulama dan jawara perlawanan berkobar membangkitkan semangat rakyat melawan Belanda. Perlawanan dilakukan untuk menyerang orang-orang Belanda yang tinggal di Cilegon. Namun, insiden ini segera dipadamkan oleh serdadu Belanda yang dipimpin Letnan I Bartlemy sudah terlatih.

Klik Juga: Kisah Sang Peneriak Kemerdekaan, Sosok yang Hilang dari Sejarah Indonesia

 

Meski api perlawanan dapat dipadamnkan, namun sebelumnya telah terjadi pertempuran hebat. Ki Wasyid kemudian memimpin pemberontakan perang gerilya hingga ke ujung kulon, sedangkan 94 pimpinan pemberontakan lainnya menghadapi hukuman pembuangan.

 

Haji Abdurahman dan Haji Akib dibuang ke Banda, Haji Haris dibuang ke Bukittinggi, Haji Arsyad Thawil dibuang ke Manado/Minahasa, Haji Arsyad Qashir dibuang ke Buton, Haji Ismail dibuang ke Flores, dan banyak lagi yang dibuang ke Tondano, Ternate, Kupang, Manado, Ambon, dan Saparua.

 

Kelak, Bung Karno pernah berkata dalam sebuah pidatonya di alun-alun Serang, Desember 1945, "Wahai putra putri Banten, tahukah kalian, bahwa di Banten pernah ada seorang pahlawan besar, siapa dia? Dia adalah Kyai Haji Muhammad Arsyad Thawil!" seperti dilansir dari Instagram MataPadi.

 

Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline