Mohammad Saleh, Si Mantan Kuli Bangunan yang Jadi Ketua DPD

Mohammad-Saleh.jpg
(ANTARANEWS.COM)

RIAU ONLINE - Setelah dilantik pada Rabu, 12 Oktober 2016, Mohammad Saleh resmi menjabat sebagai Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Tapi ternyata, tak banyak yang tahu tentang perjuangan hidup yang dilalui Saleh hingga mengantarkannya sebagai Ketua DPD.

 

Sebelum duduk sebagai senator, pria asal Bengkulu ini sempat bekerja serabutan. Kata dia, karirnya benar-benar dari nol, dilansir dari Kompas, Jumat, 14 Oktober 2016.

 

"Mungkin enggak percaya background hidup saya di Jakarta. Tahun 1990, tamat sekolah, saya bawa baju satu di badan, satu dibungkus, saya merantau ke Jakarta," tutur Saleh.

 

Setibanya di Ibukota, Saleh sempat menjadi pedangan asongan. Setelah itu, Saleh menjajal profesi sales yang menawarkan produk elektronik dari pintu ke pintu. Saleh mengaku sangat berat menjadi seorang sales door to door di Jakarta. Ia mengaku tidak akan sanggup menjalani profesi itu jika tanpa optimisme.

 

"Paling susah jadi salesman door to door itu di Jakarta karena orang saling curiga. Enggak bisa kita masuk pintu orang sembarangan. Kalau di daerah enak. Masuk rumah pun keluar dikasih minum. Di sini diusir," ujar Saleh.

 

Perjuangan hidup Saleh di Ibukota tak hanya berhenti sebagai sales, ia juga sempat merasakan berat menjadi kuli bangunan. Memotong pipa, kerja lembur untuk memasang rangkaian kabel hingga larut malam, hingga membuat partisi gedung.

Baca Juga: Pemilihan Pimpinan DPD RI Masih Ditentukan Faktor 'Gizi'

 

"Nangis saya malam-malam di situ, sambil motong pipa. Alangkah berat hidup di Jakarta ini," kenang Saleh.

 

Namun Saleh tak mudah menyerah berkat lecutan dari seorang temannya yang menyemangatinya untuk terus bangkit mencari sumber kehidupan yang lebih baik. Berawal dari kebiasaannya tidur malam yang relatif cepat, kawannya pun menegur.



 

"Lae, kau kan dari kampung. Kamu lihat tuh kakak saya. Koko saya GM (General Manager) di salah satu agennya IBM. Dia tidur rata-rata di atas jam 1. Pagi dia sudah kerja. Otaknya pintar itu. Kamu? Dari kampung, sekolah asal-asal, jam 9 tidur. Kau bakal jadi kuli di sini, budak orang," kata Saleh menirukan perkataan kawannya.

 

Kalimat tersebut membuat Saleh bertekad untuk bangkit hingga mulai menggeluti bidang komputer. Atas dasar saran temannya, ia mempelajari operating system lewat buku.

 

Setiap hari dirinya menyempatkan diri main ke Harco, pusat belanja barang elektronik di Jakarta. Kemudian, mengajukan lamaran kerja ke sebuah software house di bilangan Gunung Sahari, Jakarta Pusat.

 

Namun Saleh mendapat hasil tes dengan nilai yang buruk, karena bahan ujiannya adalah akuntansi. Sementara, Saleh tak mahir pada bidang tersebut.

 

Saleh kemudian mengambil kursus akuntansi di bilangan Cideng, Jakarta Pusat selama enam bulan. Lalu, melamar lagi di tempat yang sama. Akhirnya lulus.

 

Pada 1995, ia pindah kerja ke perusahaan yang menjual barang elektronik. Menurutnya, tempat itu yang telah memberinya banyak pengalaman. Delapan tahun ia membina karir di sana dan memulainya dari bawah.

 

"Saya masuk dari pegawai paling bawah, tukang reparasi komputer. Selama delapan tahun, orang yang jadi atasan saya sampai jadi bawahan saya semua," kenangnya sambil tertawa.

 

Kemudian, pada 2005 Saleh memutuskan meninggalkan perusahaan itu ketika ia menjabat sebagai National Assist Manager. Saleh melihat direktur perusahaan begitu nyaman di posisinya. Ia merasa tak memiliki peluang menggesernya.

 

Dunia bisnis pun mulai digelutinya. Pria kelahiran Curup 10 Juli 1966 ini kemudian membangun perusahaan yang persis dengan Columbia. Untuk membangun bisnisnya itu, Saleh sempat berutang hingga Rp200 miliar. Namun, dalam 10 tahun grafik bisnisnya tak pernah turun. Sebanyak 560 cabang dengan hampir 17 ribu pegawai di seluruh Indonesia berhasil dibangun.

 

"Orang lain punya perusahaan sibuk. Saya enggak. Setiap saya buka di satu kota, saya buka 1 PT. Setiap yang jadi kepala di situ, saya kasih saham," tutur pria kelahiran Curup 10 Juli 1966 itu.

 

"Kita bisa dapat besar (keuntungan) 100 persen tapi setengah mati ngawasinnya. Enggak ada kebahagiaan di situ. Mending dibagi-bagi. Bisa sambil jadi anggota DPD, perusahaan tetap jalan," sambungnya.

 

Saat mencalonkan diri sebagai anggota DPD, yang menjadi pemacunya adalah karena tak seorang pun di keluarganya yang berkarir di bidang politik maupun menjadi pejabat negara.

 

Semua anggota keluarga sempat keberatan dirinya nyalon dan menyarankan agar Saleh mengurungkan niatnya.

 

"Tapi namanya orang hidup perlu dinamika juga. Saya ikut ke sini seandainya saya terpilih, saya hanya mau mengubah sejarah karena belum ada di keluarga kita orang yang jadi pejabat negara. Kalau bukan saya, jangan kan untuk jadi, nyalon juga enggak berani. Kalau saya jadi, generasi selanjutnya pasti punya motivasi," ujarnya.

 

Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline