RIAU ONLINE, SIAK - Beredar naskah hasil pemeriksaan Inspektorat Daerah Kabupaten Siak atas dugaan hasil jual beli dan sewa lahan Hak Guna Bangunan (HGB) di atas tanah Kawasan Industri Tanjung Buton (KITB) seluas 57 Ha milik pemerintah daerah yang dilakukan oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Siak.
Naskah ini menyebar di media sosial dan grup-grup WhatsApp masyarakat dengan format PDF, Senin, 4 November 2024.
Dalam naskah tersebut, memuat beberapa poin hasil pemeriksaan inspektorat yaitu pertama, ada dua perjanjian sewa tanah antara PT KITB dengan PT Biomass Fuel Indonesia (BFI) dengan Nomor: 01/KITB-BFI/I/2019 pada 10 Januari 2019 senilai Rp967 juta, pembayaran dilakukan tiga tahap sehingga PT BFI resmi beroperasi di KITB sampai sekarang.
Kedua, PT KITB membuat perjanjian dengan PT Zapin Energi Sejahtera (ZES) bernomor 01/KITB-ZES/IV/2019 pada 16 April 2019 dengan nilai Rp1,5 miliar dibayar dalam 10 tahap, sehingga PT ZES sudah beroperasi di lahan itu hingga saat ini. Inspektorat melihat pengalihan pemanfaatan lahan itu berpotensi merugikan keuangan daerah.
Inspektorat juga sudah memeriksa direktur PT KITB, Suharto. Ternyata diketahui bahwa Bupati Siak belum memberikan persetujuan pengalihan lahan tersebut namun sudah dilakukan perjanjian kerja sama.
Dari laporan inspektorat itu, PT KITB jelas melanggar Peraturan Bupati Siak Nomor 99 tahun 2019 tentang tata cara pelaksanaan sewa barang milik daerah pasal 23 ayat (2). Kemudian ini juga melanggar pasal 9 ayat (1) yang menyatakan bahwa pihak kedua (PT KITB) tidak diperkenankan membuat perjanjian apapun yang berkaitan pengalihan sewa dengan pihak ketiga sebelum mendapat persetujuan pihak pertama (pemerintah).
"Hal ini murni kelalaian Direktur KITB yang mengakibatkan pengelolaan tidak tertib dan berpotensi merugikan negara," seperti yang tertulis dalam naskah pemeriksaan.
Selanjutnya, inspektorat juga menemukan adanya pelanggaran atas jual beli lahan KITB oleh BUMD PT SPS.
Berdasarkan hasil pemeriksaan dan uji petik, PT SPS tidak memiliki core bisnis pada bidang pengelolaan pendukung kawasan pelabuhan selaku penerima HGB dari Pemkab Siak. Namun SPS justru melakukan pengalihan lahan HGB yang dikelolanya kepada pihak ketiga (swasta).
PT SPS memperoleh HGB dari Pemkab Siak seluas 42 Ha dengan sertifikat Nomor 00011 tanggal 12 Oktober 2020. Kemudian SPS melakukan peralihan lahan HGB kepada PT Oriental Resources Indonesia (ORI) seluas 15 Ha sebesar Rp1,5 miliar.
Inspektorat mengantongi bukti pembayaran hasil sewa lahan yang dikeluarkan oleh PT Bank UOB Indonesia pada 20 Agustus 2021 dari PT ORI ke kas daerah BPD Bank Riau Kepri sebesar Rp1.536.235.415.
Angka tersebut juga dinilai tidak sesuai dengan Perbup Siak Nomor 50 tahun 2020 pasal 8 huruf a bahwa perhitungan uang peralihan hak pakai atas nama Pemkab Siak dengan ketentuan 5% x luas tanah x NJOP x Jangka Waktu.
Maka pembayaran uang pemasukan pengalihan HGB yang menjadi kewajiban PT ORI tidak berdasarkan hasil pengukuran yang sebenarnya.
Padahal, dari kasus ini PT SPS dalam Akta Notarisnya yang dikeluarkan oleh Notaris Dariyun Efendi nomor 06 tanggal 07 Desember 2017 pasal 3 ayat (2), SPS hanya melaksanakan kegiatan bidang pembangunan, perdagangan, perindustrian, pertanian, dan bidang jasa. Tetapi manajemen SPS malah melakukan pengelolaan pendukung kawasan pelabuhan.
Dalam naskah hasil pemeriksaan inspektorat itu, PT SPS juga belum mengantongi surat penunjukkan sebagai pendukung kawasan pelabuhan di KITB dari Bupati Siak.
Inspektorat mengungkap hal itu disebabkan oleh kelalaian Tim Pertimbangan Pemberian Rekomendasi (TP2R) dalam menerima, meneliti dan membahas secara administratif permohonan pemanfaatan tanah yang dikelola SPS di kawasan Tanjung Buton.
Dari data yang berhasil dihimpun, ditemukan Akta Jual Beli antara PT SPS dengan PT ORI yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Devi Nurita Amri, dengan nomor: 218/KEP-400.20.3/V/2018 pada tanggal 28 Mei 2018.
Dalam akta jual beli itu, tertera tanda tangan dari pihak pertama selaku Direktur PT SPS, Bob Novitriansyah dengan pihak kedua atas nama Kim Young Chul perwakilan PT ORI diikuti dua saksi atas nama Nanda Hidayah dan Khomsatun. Objek lahan seluas 15 Ha dengan harga Rp7.950.000.000.
Sesuai MoU PT SPS dengan PT ORI, pihak kedua disebutkan membeli tanah guna membangun tangki timbun Crude Palm Oil (CPO) atau minyak sawit mentah di unit dermaga kawasan pelabuhan Tanjung Buton. Para pihak juga menyetujui perpanjangan sertifikat tanah HGB untuk masa 30 tahun berjalan dan tambahan perpanjangan 20 tahun.
Terlihat juga ada lampiran tabel skema pembayaran tanah 15 Ha yang harus dipenuhi oleh PT ORI sebanyak 8 kali pembayaran dimulai sejak 2020 hingga 2027 mendatang. Untuk setahunnya PT ORI harus membayar sebesar Rp934.125.000 dengan total keseluruhan Rp7.950.000.000. Disetujui dua belah pihak Bob Novitriansyah dan Kim Yong Chul.
Sebelumnya, DPRD Siak telah mengeluarkan hasil Panitia Khusus (Pansus) terhadap dua BUMD ini. Pansus menemukan sejumlah permasalahan dan fakta hukum dalam penyelenggaraannya.
Ketua Pansus BUMD DPRD Siak, Syamsurizal menyampaikan tim pansus menemukan sejumlah pelanggaran yang dilakukan oleh dua BUMD tersebut.
Beberapa temuan yang didapati oleh Pansus DPRD tersebut terkonfirmasi pula dengan adanya temuan dari Inspektorat pada 2022.
Pansus juga menyayangkan sikap dari Pemkab Siak yang tidak memberikan dokumen Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) terkait BUMD sampai dengan laporan Pansus ini diselesaikan. Padahal DPRD Siak telah mengirimkan surat resmi kepada Pemerintah Kabupaten Siak untuk menyerahkan LHP dimaksud untuk dijadikan bahan bagi Pansus dalam melaksanakan tugas konstitusionalnya secara baik.
Menurut politisi Demokrat itu, Pemkab Siak perlu segera meninjau ulang dan memperbaiki dasar hukum ruang lingkup kegiatan usaha atau core bisnis dari BUMD PT SPS sesuai dengan perkembangan kebutuhan BUMD PT SPS dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pansus meminta pelaksanaan perjanjian kerjasama BUMD Siak dengan pihak lainnya yang masih bermasalah secara hukum dan masih rendahnya kontribusi BUMD dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) menunjukkan kinerja buruk dari pengelola BUMD.
"Dua BUMD ini berkinerja buruk. Untuk itu Pemkab Siak perlu melakukan restrukturisasi kepengurusan dan mengganti jajaran direksi yang tidak mampu mencapai target kinerja yang sudah ditentukan," katanya.
Berkaitan dengan piutang usaha pada tahun 2022, di antaranya piutang usaha agribisnis CV Tumbuh Subur sebesar Rp 2,1 miliar dan PT Buana Sinar Lestari sebesar Rp 830 juta piutang ini telah memiliki kekuatan hukum tetap berdasarkan Keputusan Nomor 36/Pid.Sus-TPK/2015/PT.Pbr dan Keputusan Nomor 304 PK/Pid.Sus/2018.
"Piutang ini harus dilakukan upaya penagihan secara serius, mengingat sudah memiliki kekuatan hukum tetap. Pansus meminta kepada direksi untuk melakukan upaya penagihan secara intensif, dan jika diperlukan, menggunakan instrumen hukum," tegasnya.
Kemudian daripada itu, juga terdapat saldo uang muka per 31 Desember 2022 sebesar Rp 300 juta yang di dalamnya terdapat uang muka PPh Pasal 23 sebesar Rp 297 juta. Namun, tidak ditemukan bukti pemotongan PPh Pasal 23, yang menyebabkan nilai tersebut tidak dapat dikreditkan dalam perhitungan PPh badan.
"Tentu ini menunjukkan kelemahan dalam pengelolaan administrasi PT SPS dan berpotensi merugikan perusahaan. Pansus meminta kepada direksi untuk memperbaiki tata kelola administrasi dan kearsipan guna menghindari kerugian di masa mendatang," katanya.