RIAU ONLINE, PEKANBARU-Calon Wakil Presiden Mahfud MD mengatakan bahwa: "Data yang pernah saya dengar dari Pak Prabowo, 1 persen penduduk menguasai 75 persen lahan. 99 persen berebut mengelola 25 persen lahan sisanya.
Memang timpang. Perlu upaya-upaya pemerataan harus dilakukan. Caranya, tentu kita lihat fakta yang ada di lapangan, banyak lahan diperoleh secara kolusi tidak jelas," ujarnya saat debat kandidat Pemilu 2024 yang digelar KPU, Jumat, 22 Desember 2023.
Tim Cek Fakta Tempo pernah memeriksa pernyataan Mahfud MD yang sama saat ia berbicara di acara dialog Andalas Lawyers Club di Universitas Andalas, Senin, 18 Desember 2023.
Klaim 1: Data 1 persen penduduk menguasai 75 persen lahan di Indonesia
Peneliti Think Policy, Alexander Michael Tjahjadi, menyoroti kata-kata Mahfud MD terkait peningkatan rasio lahan. Meski angkanya sempat sangat tinggi pada 2003, peningkatan yang sempat membuat 99 persen masyarakat berebut 25 persen lahan tidak terbukti secara statistik.
"Penurunan ketimpangan distribusi lahan juga tidak dapat diverifikasi karena data tidak mencukupi, dan data yang ada menggunakan penghitungan yang berbeda. Meski begitu, data-data yang ada masih mengindikasikan tingginya tingkat ketimpangan kepemilikan tanah di Indonesia," jelasnya.
Merujuk data Badan Pusat Statistik yang ditampilkan oleh situs KataData, rasio gini ketimpangan kepemilikan lahan di Indonesia sejak 1973 hingga 2013 berfluktuasi pada rentang nilai 0,50-0,72.
Rasio gini terendah terjadi pada 1983 dengan 0,50 sedangkan rasio gini tertinggi berada di tahun 2003 dengan angka 0,72. Rasio gini kepemilikan lahan pada 2003 mencapai 0,72, artinya 1 persen penduduk Indonesia menguasai 72 persen sumber daya lahan.
Rasio atau Indeks Gini atau koefisien adalah alat mengukur derajat ketidakmerataan distribusi penduduk. Indeks Gini dapat digunakan untuk melihat tingkat kemerataan atau ketimpangan distribusi luas penguasaan tanah dan pemilikan tanah yang terjadi di suatu wilayah. Rasio Gini berkisar antara 0 sampai dengan 1.
Koefisien Gini di atas 0,5 menunjukkan ketimpangan yang tinggi, sedangkan ketimpangan sedang, ada di antara 0,4-0,5.
Setelah 2014, BPS belum mengeluarkan data rasio gini ketimpangan lahan. Namun merujuk data lain, menurut Alexander Michael Tjahjadi, di tahun 2016, angka ketimpangan kepemilikan lahan ada di kisaran 0,58, menurut Menteri Agraria Sofyan Djalil. Sementara di tahun 2019, USAID melaporkan bahwa rasio gini pertanahan mencapai 0,57 .
Selain itu, berdasarkan dokumen yang diterbitkan Badan Pertanahan Nasional pada 2022, level rasio gini pertanahan saat ini berada di kisaran 0,58. Ini menunjukkan bahwa 1% populasi masih menguasai 58% lahan.
Namun, perlu menjadi catatan bahwa BPS dan BPN mempunyai cara perhitungan rasio gini pertanahan yang berbeda secara signifikan. Menurut Dosen Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Ahmad Nashih Luthfi, BPN tidak menghitung lahan di dalam kawasan hutan sehingga hanya mengolah data di bawah otoritasnya. Sedangkan BPS menghitung seluruh pertanahan baik yang masuk kawasan hutan, maupun di luar kawasan hutan. Sehingga data rasio gini lahan dari BPN lebih rendah dibanding BPS.
Dengan demikian, klaim tentang rasio gini ketimpangan lahan sebesar 0,75 atau 1 persen penduduk menguasai 75 persen lahan tidak bisa diverifikasi atau ditelusuri sumber datanya. Sebab berdasarkan data yang tersedia menurut BPS pada 1973-2013, rasio gini ketimpangan lahan tertinggi terjadi pada 2003 yakni 0,72 atau 1 persen populasi menguasai 72 persen lahan.
Meski begitu, merujuk seluruh sumber yang tersedia tersebut, kepemilikan lahan di Indonesia masih menunjukkan ketimpangan yang tinggi.
Klaim 2: penguasaan lahan di Indonesia perlu ditata karena segelintir orang telah menguasai sebagian besar lahan di Indonesia
Dikutip dari riset tahun 2022 oleh Samosir dan Moeis yang menjelaskan tentang urgensi pertanahan, terungkap bagaimana pemberian tanah lebih dari 0,5 ha akan memberikan efek kesejahteraan pada masyarakat. Namun, redistribusi tanah bukan hanya dengan skema sewa pertanahan, karena akan menyebabkan hilangnya kesejahteraan (welfare loss).
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dalam siaran persnya menyampaikan, mengingat ketimpangan agraria, kemiskinan struktural, krisis pangan dan regenerasi petani maka kandidat yang terpilih harus menempatkan agenda reforma agraria sebagai landasan utama pembangunan nasional.
Empat agenda dalam reforma agraria yang ditawarkan KPA:
1. Meluruskan dan mengoreksi paradigma kebijakan praktik reforma agraria di nasional.
2. Reformasi kelembagaan di bidang agraria dan sumber daya alam (SDA).
3. Reformasi sistem administrasi tanah dan SDA untuk mempercepat dan mengembangkan pengakuan negara atas keragaman bentuk penguasaan kekayaan agraria-SDA baik di darat, pesisir dan pulau-pulau kecil.
4. Penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM bagi petani, masyarakat adat nelayan dan perempuan yang sedang memperjuangkan hak atas tanah dan wilayah hidupnya di berbagai landscape agraria (daratan, tanah, wilayah adat, perairan, laut, pesisir pulau kecil).