Riwayat Tuanku Tambusai si Harimau Paderi dari Rokan yang Sulit Dikalahkan

Tuanku-Tambusai2.jpg
(Dinas Sosial Provinsi Riau)

RIAU ONLINE, PEKANBARU-Tuanku Tambusai bukan nama yang asing di telinga masyarakat Riau. Pahlawan yang memiliki nama kecil yakni Muhammad Saleh telah berjasa bagi negara, maka ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia No. 071/TK/Tahun 1995, tanggal 7 Agustus 1995.

 Bukan perkara mudah bagi Tuanku Tambusai bisa mendapat gelar sebagai pahlawan negeri. Ada banyak pengorbanan dan perjuangannya yang ia lakukan bagi negara. Riau Online merangkum sejarah hidup dan perjalanan perjuangan pahlawan kebanggaan Riau. Yuk simak.

 

Tuanku Tambusai sosok tokoh ulama, pemimpin dan pejuang yang tangguh, konsekuen, dan ditakuti serta dihormati oleh berbagai pihak. Selain itu, ia merupakan salah seorang tokoh Paderi terkemuka yang berasal dari Rokan Hulu, Riau.

 

Ia memiliki kecerdikan dan keberanian luar biasa semasa hidupn untuk berjuang melawan para penjajah dari Belanda sehingga ia dijuluki De Padrische Tijger van Rokan atau Harimau Paderi dari Rokan oleh Belanda. Hal tersebut karena ia amat sulit dikalahkan, tidak pernah menyerah, dan tidak mau berdamai dengan Belanda.

 

Tuanku Tambusai lahir di Dalu-dalu, Nagari Tambusai, Rokan Hulu, Provinsi Riau pada 5 November 1784. Ia keturunan MinangKabau anak dari Tuanku Imam Maulana Kali dan Munah. Sang ayah merupakan seorang guru Agama Islam yang berasal dari Nagari Rambah. Namun saat itu, Raja Tambusai mengangkat ayahnya menjadi imam sehingga akhirnya beliau juga menikah dengan wanita yang merupakan penduduk asli di sana yang bersuku Kandang Kopuh. Oleh karena itu, sesuai tradisi Minangkabau yang matrilineal suku ini diturunkannya kepada Tuanku Tambusai sebagai anaknya. 

 

Sejak kecil, Tuanku Tambusai telah diajarkan oleh ayahnya mengenai ilmu bela diri, termasuk ketangkasan menunggang kuda, dan tata cara bernegara. Untuk memperdalam ilmu agama, ia pergi belajar ke Bonjol dan Rao di Sumatra Barat. Di sana ia banyak belajar dengan ulama-ulama Islam yang berpaham Paderi, hingga ia mendapatkan gelar fakih atau orang yang paham aturan Islam. 

 

Ajaran Paderi begitu memikat dirinya, sehingga ajaran ini disebarkan pula di tanah kelahirannya dimana ajarannya cepat diterima luas oleh masyarakat, sehingga ia banyak mendapatkan pengikut. Dengan modal semangatnya untuk menyebarkan dan melakukan pemurnian Islam hingga mengantarkannya untuk berperang mengislamkan masyarakat di tanah Batak yang masih banyak menganut pelbegu. Ketika berdakwah di daerah tersebut, Tuanku Tambusai di fitnah ingin merombak adat nenek moyang orang Batak sehingga menyebabkan nyawa Tuanku Tambusai terancam.

 

Merasa Toba sudah tak aman baginya, ia memutuskan untuk kembali ke Rao sekarang disebut Sumatera Barat. Di sana dia menyiarkan agama Islam bersama Tuanku Rao ke berbagai pelosok seperti Air Bangis.

 

Awal mula perjuangannya bermula di daerah Rokan Hulu dan sekitarnya yang berpusat di Benteng Dalu-dalu. Kemudian ia melanjutkan perlawanan ke wilayah Natal pada tahun 1823. Lalu di tahun 1824, ia memimpin pasukan gabungan dari berbagai daerah diantaranya Dalu-dalu, Lubuksikaping, Padanglawas, Angkola, Mandailing, dan Natal untuk melawan Belanda. Dia sempat menunaikan ibadah haji dan juga diminta oleh Tuanku Imam Bonjol untuk mempelajari perkembangan Islam di Tanah Arab.



 

Selain itu, Tuanku Tambusai juga pernah mempelajari ilmu perang dari Tentara Turki dibidang perbentengan (Fortification Technics) di Arabia. Lalu ia pernah menjadi Duta Khusus Gerakan Wahabi untuk Saudi Arabia menggantikan Tuanku Tinaro yang meninggal di Arabia. Tuanku Tambusai berada di sana kurang lebih 3 tahun mulai dari tahun 1818 hingga 1821. 

 

Dalam kurun waktu 15 tahun, Tuanku Tambusai cukup merepotkan pasukan Belanda sehingga sering meminta bantuan pasukan dari Batavia. Namun, berkat kecerdikannya, benteng Belanda Fort Amerongen dapat dihancurkan sehingga Bonjol yang telah jatuh ke tangan Belanda dapat direbut kembali walaupun tidak bertahan lama.

 

Dalam perjuangannya ia tak hanya berhadapan dengan Belanda, namun juga saudara sebangsanya yang lebih memilih berpihak kepada Belanda seperti Raja Gedombang (Regent Mandailing) dan Tumenggung Kartoredjo (bekas tentara Sentot Alibasyah). Walaupun pada saat itu, Tuanku Tambusai berusaha membujuk serdadu Belanda asal Jawa untuk membantu perjuangannya dalam pertempuran di Lubukhari tahun 1833.

 

Karna ketika itu Belanda menggunakan para wanita setempat sebagai tameng. Namun, untuk mendukung perjuangannya beliau juga memanfaatkan solidaritas dalam agamanya. Sayangnya Belanda mengetahui upaya tersebut. Akan tetapi sebanyak 14 orang serdadu Belanda asal Jawa yang sempat ia bujuk akhirnya bergabung dengan Tuanku Tambusai. 

 

Pada awal tahun 1838, pasukan Belanda menyerang Dalu-dalu dari dua arah, yakni Pasir Pengarayan dan dari Tapanuli Selatan. Serangan itu gagal karena Tuanku Tambusai sudah mendirikan benteng berlapis-lapis. Serangan berikutnya dilancarkan Belanda pada Mei 1838. Beberapa benteng dapat mereka rebut, namun Belanda memerlukan waktu beberapa bulan lagi sebelum perlawanan Tuanku Tambusai dapat mereka akhiri. 

 

Akhirnya pada 28 Desember 1838, benteng pertahanan terakhir di Dalu-dalu jatuh ke tangan Belanda. Namun ia berhasil meloloskan diri dari kepungan Belanda dan para sekutunya melalui pintu rahasia. Sebagai seorang ulama besar ia telah menunaikan kewajibannya. Keberadaannya sebagai pejuang pembela tanah air yang gigih dan pantang menyerah selalu dihargai masyarakat sekitar, mereka pun tak segan membantu. Meskipun harus hidup dalam pengasingan, ia tak mau tunduk pada perintah Belanda.

 

Lalu dalam Perang Paderi, Tuanku Tambusai merupakan sosok pemimpin terkemuka. Kehadirannya selalu diterima oleh penduduk di daerah yang dikunjunginya. Hal itu tercermin dari sejumlah gelar yang disandangnya, seperti Ompu Bangun, Ompu Cangangna, Ompu Sidoguran dan Ompu Baleo.

 

Bentuk keteguhannya juga dapat dibuktikan ketika pemimpin Fort Amerongen menawarkan perdamaian padanya, ajakan itu ditolaknya mentah-mentah. Hal tersebut menunjukkan keteguhannya dalam menjaga prinsip.  Hal serupa juga terjadi pada tahun 1832, saat itu Letkol Elout mengajaknya berdamai di Padang Matinggo, Rao. Dengan tegas ia berpesan pada Elout agar tidak mencampuri urusan dalam negeri orang lain. 

 

Mendengar hal itu, Elout membalasnya dengan mengatakan bahwa di mana ada Belanda di sana ia membuat kuburan. Dengan lantang Tuanku Tambusai menjawab "Jika begitu sediakan bedil!"

 

Tuanku Tambusai jugaselalu berpindah-pindah sewaktu bergerilya melawan Penjajah Belanda untuk menghilangkan jejak. Kuburan Tuanku Tambusai yang palsu ada 6 tempat yang diketahui. Demikian Tuanku Tambusai memilih namanya Datuk Baginda Ilang yang dapat bercerita panjang tentang kehidupan dan perjalanannya. 

 

Dalam buku Riwayat Hidup Syekh Abd. Wahab pendiri pesantren Babussalam (Besilam) yang dikarang Fuad Said disebut nama kecil Tuan Guru Syekh Abd. Wahab adalah Abu Qasim. Sedang menurut penyelidikan Penulis (Ir. L.P. Hasibuan) Tuan Guru tersebut adalah Tuanku Tambusai yang bersembunyi di bawah ketiak Penjajah Belanda selama ini. Penjelasan dan bukti-bukti Tuan Guru Syekh Wahab adalah Tuanku Tambusai dapat dilihat pada buku yang berjudul: "Menapak Jejak Tuanku Tambusai" dan buku berjudul: "Menyingkap Riwayat Hidup Tuan Guru Syekh Abd. Wahab", karangan Ir. L.P. Hasibuan.

 

Selain dari itu, nama Tuanku Tambusai adalah nama yang diberikan Gerakan Wahabi kepadanya. Dimana Tuanku disini maksudnya pimpinan Padri (Jenderal) di dalam kemiliteran. Sedangkan Tambusai adalah nama kecamatan yang merupakan ibukota Dalu-dalu. Karena dari Daludalu inilah titik tolak Tuanku Tambusai dalam mengislamkan daerah bagian timur Tapanuli dan membuat benteng Daludalu sebagai pertahanan itu yang disebut sebagai Benteng Daressalam (pintu keselamatan).

 

Jejak Tuanku Tambusai dapat ditemukan di Sungai Rokan. Dimana di sungai tersebut terdapat sampan kecil milik Tuanku Tambusai bersamaan dengan barang-barang miliknya seperti cincin stempel, Al-Quran, serta beberapa buku yang dibawanya dari Mekkah. Di usianya yang telah cukup renta, 98 tahun, ia kemudian mengungsi ke Seremban, Malaysia. Sehingga akhirnya Tuanku Tambusai meninggal dunia pada 12 November 1882 di Negeri Sembilan, Malaysia.

 

Artikel ini ditulis Anggi, peserta program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di RIAU ONLINE