Gejala Kemunduran Demokrasi Akibat Polarisasi dan Politik Identitas Jelang Pemilu 2024

Kotak-Suara6.jpg
(Shutterstock)

RIAU ONLINE, PEKANBARU-Aliansyah Panjaitan masih merasa lucu ketika mengingat-ingat semasa berkuliah di salah satu universitas negeri di Pekanbaru, bertepatan dengan kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 silam. Perbedaan pilihan Calon Presiden (Capres) tiap individu merembet hingga ke ruang belajar mengajar.

“Jadi dulu waktu kuliah ada dosen dengan mahasiswa debat soal Pilpres di kelas. Perdebatan dimulai karena dosen ini menganalogikan materinya dengan Pilpres, jadilah bahas Jokowi dan Prabowo,” kata pria berumur 24 tahun itu, Jumat, 7 April 2023.

Saat mengajarkan mata kuliah agama, dosen tersebut terkesan mendukung Prabowo dengan argument lebih berwibawa ketimbang Jokowi. “Terus kata dosen itu, Jokowi dekat dengan ‘Cina’ jadi takutnya Indonesia malah dijual,” kisahnya sembari tertawa.

Aliansyah berkisah, salah seorang teman sekelasnya tak terima dengan argumen dosen itu, dan bersikeras membela Jokowi. Debat pun memakan waktu yang lama, menghabiskan sebagian besar waktu perkuliahan.

“Karena kami mahasiswa dan tak terlalu peduli dengan pembahasan itu (Pilpres), jadi dukung argumen dosen itu saja. Pokoknya kata-kata dosen itu kami aminkan saja, jadi tim hore,” terangnya.

Tak dipungkiri, kontes dua pasangan Capres menjadi cukup sentral karena hanya ada dua pasangan calon. Kala itu, Joko Widodo berpasangan dengan Maruf Amin yang harus berhadapan dengan penantang petahana, Prabowo Subianto yang berpasangan dengan Sandiaga Uno.

Masyarakat sipil terpecah, hingga sosial media dipenuhi dengan narasi ‘cebong dan kampret’ sebagai semacam ejekan panggilan dari masing-masing Capres.

Dampak Polarisasi

Polarisasi bukan tidak mungkin kembali mencuat jelang Pemilu 2024. Potensinya mulai muncul tidak hanya di pusat melainkan juga daerah dan jadi sorotan pembicaraan.

Direktur Institut ANU Indonesia, Eve Warburton, memaparkan polarisasi tren yang memang sudah terjadi di banyak negara.

“Polarisasi secara rutin melemahkan norma-norma demokrasi di kalangan elit dan masyarakat juga. Hal itu merusak proses legislatif sehingga tidak bisa mendapatkan persetujuan, institusi legislatif tak berfungsi lagi karena kubu A dan kubu B tak bisa mencari kesepakatan bersama,” terangnya.

Eve menganalisa, peningkatan diskriminasi dan intoleransi di tengah masyarakat juga disebabkan oleh polarisasi. Dampaknya, masyarakat cenderung tak percaya terhadap institusi demokrasi.

“Belum lagi di tahap ekstrim, adanya peningkatan kekerasan di berbagai lapisan masyarakat.”



Polarisasi menyebabkan kondisi di mana dukungan elit dan dukungan masyarakat terhadap berbagai aspek demokrasi seperti hak kebebasan berekspresi dan hak kebebasan pers itu semakin bersyarat. “Maksudnya memang mereka akan mengatakan mendukung demokrasi tapi demi kepentingan kelompok, agar menang, segalanya dilakukan, misalnya penundaan Pemilu,” ujarnya.

Buruknya polarisasi di Indonesia, menurut dia, bisa dilihat bagaimana sikap pemerintah menggunakan kekuasaan dan mengubah konstitusi Pemilu agar oposisi sulit sekali menang.

“Misal mempersempit ruang Pemilu bahkan sama sekali tak mengadakan Pemilu, seperti yang dilakukan penguasa di Turki. Polarisasi akan mengancam demokrasi ketika kelompok yang berkuasa menggunakan institusi negara untuk mengalahkan oposisi,” tegas Eve.

Politik Identitas Cenderung Berulang

Direktur Pusat Penelitian Universitas Indonesia, Inaya Rakhmani, saat adanya kontestasi Pemilu, di saat yang bersamaan polarisasi, politik identitas, dan populisme di Indonesia pun muncul.

Sentimen identitas yang dilabeli dengan atribut sosial tertentu seperti kata kunci 'Cina', 'kafir’, 'radikal' merupakan akar masalah atau penyakit yang lebih serius.

“Saya tak setuju jika dibilang fenomena ini terjadi karena dampak demokrasi. Polarisasi dan politik identitas terjadi akibat ketimpangan kekayaan yang sangat tajam antara yang paling kaya dengan yang paling miskin,” jelasnya.

Lebih jauh, Inaya mengamati paradoks lembaga-lembaga politik elektoral seperti KPU, sistem TPU, Pemda, ada Pilkada di mana institusi dan peraturannya eksis tapi tetap jadi arena permainan menyebarkan kekuasaan hingga ke berbagai daerah.

“Makanya menyoroti konteks lokal itu jadi penting karena untuk mengetahui penguasa di daerah itu memang kebanyakan orang lokal. Polarisasi ini perlu diurai hubungannya dengan peran dan konsolidasi kekuasaan di lingkup sehari-hari kita di tingkat lokal dan hubungannya dengan pusat,” kata dia.

Sementara ia juga khawatir menjalarnya polarisasi di ruang masyarakat sipil. Misalnya, organisasi atau LSM yang menerima dana dari partai tertentu. “Ini juga politik identitas di dalam ruang masyarakat sipil yang memecah belah kita juga, yang kalau tak ada resolusi maka akan ditunggangi kepentingan elit politik untuk kekuasaannya menjelang Pemilu,” ujar Inaya.

“Ruang sipil sudah sempit, jadi jangan lagi ditambah polarisasi di antara satu aktor dengan aktor lain karena ada persaingan antara tokoh di masyarakat kecil,” tegasnya.

Merujuk laporan Economist Intelligence Unit (EIU), kualitas demokrasi Indonesia belum membaik dan tergolong ‘cacat’ dalam 16 tahun terakhir. Laporan terbaru EIU, skor indeks demokrasi global Indonesia tahun 2022 juga stagnan, malah peringkatnya turun 2 tingkat, dari 52 ke 54 di bawah Kolombia dan Filipina.

Sementara riset Freedom House 2022 memaparkan, Indonesia belum sepenuhnya bebas karena masih menorehkan skor yang buruk pada hak-hak berpolitik (30/40) dan kebebasan sipil (26/60). Indeks skornya pada 2022 berjalan stagnan (59/100), sama dengan indeks 2021 setelah merosot dalam lima tahun berturut-turut.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan di tingkat tertentu, para elit politik di Indonesia menggunakan retorika yang sifatnya membelah untuk mengkondisikan situasi sehingga pembelahan itu bisa menguntungkan kepentingan politiknya masing-masing.

“Namun sifat polarisasi ini sangat kompleks, isunya bisa agama, ras, suku, bisa orientasi seksual.”

Menurut dia, ada gaungan berulang semacam politik pengakuan yang sebenarnya menutupi politik redistribusi yang tak merata.

“Sebenarnya politik polarisasi itu semacam kabut yang menutupi masalah sebenarnya yaitu redistribusi ekonomi,” tegas Usman.

Ditambah lagi, kata Usman, peningkatan intoleransi politik pada Pemilu. “Misalnya apakah Anda sebagai Muslim atau Kristiani, apakah akan memilih pemimpin di tingkat provinsi, kabupaten/kota yang agamanya sama dengan Anda. Hal-hal seperti ini cenderung berulang,” katanya.

 

Menurutnya, dalam konteks polarisasi, disinformasi menjadi masalah sentral. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu disinformasi memperparah regresi demokrasi di Indonesia, termasuk merusak kualitas Pemilu dan ini cenderung akan berulang di Pemilu 2024.

“Disinformasi ini dapat melanggar HAM, terutama hak mendapatkan informasi dan hak untuk berekspresi. Kemudian negara dan pengelola media sosial turut andil atas merebaknya disinformasi. Respon negara atas disinformasi lebih sering tidak memadai dan merugikan, ibarat mengobati luka gores di tangan, seharusnya cukup dengan perban dan antiseptik, ini malah mengamputasi seluruh tangan,” pungkas Usman.