Gerwani dan Gerwis Adalah Fakta Bahwa Feminisme Bukanlah Gerakan Modernitas

Feminisme.jpg
(Canva bia Canva.com)

Laporan Indah Lestari

RIAU ONLINE, PEKANBARU-Anggapan bahwa feminisme adalah gerakan era modern yang banyak maunya, tidak masuk akal, vulgar, non normatif, hingga disebut-sebut melawan kodrat adalah sebuah kekeliruan atau kegagalan paham.

Label semacam ini banyak diberikan oleh generasi tua (baby boomers), yang kemunculannya dikaitkan dengan budaya Barat yang katanya jauh dari norma-norma Timur yang lekat pada budi luhur dan tradisi masyarakat Indonesia sendiri.

Secara leksikal perlu dipahami terlebih dahulu bahwa gerakan ini merujuk pada adjektif atau sifat. Bukan bermaksud mengobjektifikasi laki-laki dan kelompok-kelompok berdasarkan stigma negatif terhadap perempuan.

Memang benar secara terminologi, Feminis atau Feminin berasal dari Barat. Tetapi untuk pemikirannya sendiri bersumber dari seluruh dunia.

Pada tahun 1950-an dan 1960-an, di Indonesia berdiri aktif organisasi wanita bernama Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Kelompok ini memiliki relasi erat dengan Partai Komunis Indonesia. Meski begitu, tetap Gerwani adalah organisasi independen yang giat perhatikan dan memperjuangkan masalah-masalah sosialisme dan feminisme.

Selain Gerwani juga ada Gerwis. Gerwis merupakan singkatan dari Gerakan Wanita Indonesia Sedar. Sedar artinya menyadari. Gerakan ini  berdiri di tahun yang sama dengan Gerwani. Bedanya, organisasi ini memuat gabungan beberapa organisasi wanita yang ada pada masa itu. Antara lain, ada Persatuan Wanita Sedar Surabaya, Rukun Putri Indonesia Semarang, Gerakan Wanita Rakyat Indonesia Kediri, dan Persatuan Wanita Murba Madura.

Dalam kongres ketiganya, Gerwis bergabung bersama Gerwani dan akhirnya, resmi mengubah nama menjadi Gerwani dan menjadi organisasi massa yang berada di bawah naungan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Hal tersebut menandaskan bahwa anggapan atau pendapat yang menyudutkan feminisme sebagai gerakan modernitas atas pengaruh budaya barat (westernisasi) seunggulah kesalahan yang amat besar.

Gerakan-gerakan feminis yang merujuk pada kesetaraan gender semacam ini, bukanlah sebuah sikap angkuh yang berahi untuk mengalahkan laki-laki atau selangkah memenangkan kedudukan. Melainkan, keinginan untuk setara, sejajar dan berjalan beriringan dalam hak-haknya.

Kesetaraan gender yang dimaksud adalah sasaran terhadap kontruksi berfikir manusia isosial, bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan bertingkah laku, bersikap dan berposisi.



Maka dari itu, feminisme ini hadir sebagai sebuah upaya untuk memperbaiki sudut pandang, stigma yang menitik beratkan prioritas kepada kaum laki-laki dan perempuan selalu diperlakukan secara tidak adil dalam banyak hal.

Pengaruh politik, keluarga, budaya, interoretasi agama, sosial, ekonomi, termasuk kepentingan agraria secara tidak langsung memaksa kelompok-kelompok perempuan tersebut untuk memerangi stereotip gender yang ada.

Hal tersebut ditujukan sebagai upaya membangun peluang dan keadilan untuk hak-hak yang setara antara perempuan dan laki-laki. Seperti dalam hal pendidikan, pekerjaan, pergaulan dan sebagainya yang pantas diperoleh perempuan.

Dalam hal pekerjaan misalnya, para feminin secara aktif mengkampanyekan hak perempuan, termasuk hak untuk memegang jabatan politik, memilih profesi, mendapatkan upah yang adil atau setara, memiliki properti yang sama, mendapatkan pendidikan tambahan, kebebasan bekerja dan menunjang karir setelah menikah, serta hak untuk mendapat cuti kehamilan.

Selain itu, melalui program-programnya para feminis juga turut berusaha untuk melindungi emansipasinya maupun yang bukan dari segala tindak kekerasan integrasi sosial, pelecehan dan kekerasan seksual, hingga kekerasan di dalam rumah tangga sekalipun.

Mungkin secara popularitas, banyak orang mengenal gerakan feminis berasal dari Barat. Tetapi, tidak untuk kesadarannya. Jika ditelaah dan dicermati setiap orang, bukan hanya perempuan pasti ingin kemerdekaan bagi dirinya. Kendali yang utuh. Boleh dikatakan ini juga merupakan bentuk perjuangan HAM yang hanya saja lebih spesifik, kompleks dan progresif.

Menurut catatan sejarah, gerakan yang muncul sejak akhir abad ke-18 dan berkembang pesat sepanjang abad ke-20 ini, dimulai dengan penyuaraan persamaan hak politik bagi kaum perempuan.

Gerakan ini memang terkesan lebih menyasar kepada laki-laki. Bukan tanpa sebab. Hal itu sendiri dilatarbelakangi, kasus pelecehan, kekerasan seksual dan protes terhadap kesetaraan hak-hak sepanjang sejarah yang memang didominasi kaum hawa.

Hal itu juga diperkuat oleh salah satu tokoh feminis bernama Mary Wollstonecraft, dengan karyanya yang berjudul A Vindication of The Right of Woman yang dianggap sebagai salah satu tulisan feminis awal, yang berisikan kritikan terhadap Revolusi Prancis yang hanya berlaku untuk laki-laki saja, akan tetapi tidak bagi perempuan.

Gender bukanlah kodrat. Gender adalah sifat yang perannya dapat dipertukarkan. Hal itu pulalah yang membuat Raden Ajeng Kartini turut menyuarakan pemikirannya atas keadaan perempuan Indonesia, khususnya perempuan Jawa yang tidak mendapatkan kesempatan untuk pendidikan yang setara dengan laki-laki, satu abad setelah kritikan Wollstonecraft.

Saat ini gerakan feminis sudah mengarah pada Critical Legal Studies yang memberikan banyak kritik pada logika hukum yang selama ini digunakan. Salah satu contohnya adalah perjuangan mengesahkan RUU PKS menjadi UU PKS yang baru saja disahkan tahun ini. Hulu pemikiran seperti ini mulai muncul pada abad 20-an.

Ketergantungan hukum pada politik, ekonomi dalam peran hukum untuk membentuk pola hubungan sosial, serta pertumbuhan hierarki oleh ketentuan hukum yang tidak mendasar selama ini, menjadikan isu tersebut didukung eksistensinya secara global.

Meskipun, pendapat feminis bersifat pluralistik, akan tetapi satu hal yang menyatukan para feminis adalah mereka yakin bahwa masyarakat dan tatanan hukum selama ini memiliki sifat patriarki.

Patriarki yang ada pada tatanan masyarakat dan hukum adalah penyebab subordinasi, dominasi dan ketidakadilan terhadap perempuan. Sehingga sebagai konsekuensinya, feminis menuntut kesetaraan gender.

Paradigma ini adalah suatu pemahaman yang komprehensif mengenai keadilan berbasis gender yang dapat dijadikan sebagai pijakan untuk gerakan, pemikiran serta kebijakan yang manusiawi.

 

Feminisme bukanlah gerakan modernitas atau ambisius belaka. Gerakan ini sudah ada sejak lama dan kesadarannya mendarah-daging pada setiap perempuan di seluruh belahan dunia. Jadi, rasanya tidaklah pantas apabila manusia, terlebih antar sesama perempuan jika harus meyebut-nyebut ini dan itu buruknya mengenai feminisme sendiri, tanpa mengkritisinya terlebih dahulu.

sumber : Kamus Sejarah Indonesia (Eko Sujatmiko, Aksara Sinergi Media, Surakarta 2013), Mary Wollstonecraft: A Vindication of the Rights of Woman: with Strictures on Political and Moral Subjects Edisi 3 (Deidre Shauna Lynch, W. W. Norton and Company, New York 2009)