RIAU ONLINE, PEKANBARU-Presiden Joko Widodo resmi mengeluarkan kebijakan larangan ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) serta produk minyak goreng.
Larangan ini diberlakukan dengan mempertimbangkan ketersediaan minyak goreng di dalam negeri agar terpenuhi sebab beberapa waktu lalu ketersediaan produk minyak goreng sempat langka di pasaran.
Namun, kebijakan penghentian/moratorium eksport CPO menimbulkan tanda tanya besar terhahap petani sawit dan pekebun akankah berpengaruh terhadap harga TBS produksi pekebun.
Menanggali hal ini, Kepala Bidang Pengolahan dan Pesaran Dinas Perkebunan Provinsi Riau, Defris Hatmaja mengatakan dalam penetapan Harga TBS, regulasi yang mengatur penetapan harga TBS adalah Permentan 01/2018, khusus Provinsi Riau telah diatur secara teknis operasional dalam Pergub Riau No. 77/2020 tentang Tata Niaga TBS produksi pekebun Riau.
"Di dalam penetapan harga TBS telah diatur Permentan dan Pergub Riau dipengaruhi oleh Indeks K dan harga CPO serta harga pko (kernel) dunia. Untuk Indonesia kita mempedomani harga lelang di KPBN jakarta, lelang di KPBN berdasarkan harga CPO/PKO di pasar dunia," ujar Defris, Sabtu 23 April 2022.
Dikatakan Defris, sebagai negara produsen CPO terbesar di dunia, Indonesia tentu akan berkontribusi besar terhadap ketersediaan CPO di pasar dunia. Selain itu harga CPO dunia akan terpengaruh dari ketersediaan bahan baku minyak goreng tersebut.
Sehingga, hukum demand dan supply akan berlaku, jika harga CPO dunia naik, tentu akan berdampak terhadap naiknya harga TBS pekebun, begitu juga sebaliknya, karena penetapan harga TBS sesuai regulasi mengacu kepada harga CPO/PKO dunia.
"Artinya, semakin tinggi harga CPO dan harga kernel serta Indek K, maka harga TBS akan semakin meningkat, demikian juga sebaliknya. Harga CPO dan harga kernel sendiri tergantung harga perdagangan dunia di pasar internasional," jelasnya.
Dijelaskan Defris, sementara terkait kekhawatiran moratorium eksport CPO akan mengakibatkan over supply bahan baku TBS sawit produksi pekebun di dalam negeri dikhawatirkan berdampak terhadap anjloknya harga TBS produksi pekebun karena tidak laku dijual kepabrik PKS.
"Hingga menjadi busuk (buah sawit) dan menimbulkan kerugian bagi petani. Terutama pada pekebun mandiri/swadaya yang belum mau untuk berkelompok/ berlembaga," imbuhnya.
Ditambahkan Defris, melalui regulasi Permentan 01/2018 dan Riau telah mengatur itu melalui Peraturan Gubernur Riau no. 77/2020 tentang Tata Niaga TBS.
Adapun substansi dan solusi dari kedua regulasi tersebut melalui fasilitasi kemitraan antara kelembagaan tani dengan pabrik kelapa sawit, rukun wajibnya yang harus dipenuhi yakni tergabung dalam kelompok tani/mempunyai kelembagaan tani.
Artinya dengan kemitraan yang dibangun tersebut akan memberi kepastian pasar bagi petani/kelembagaan tani dalam menjual buah TBS mereka dan bagi pihak PKS akan memberikan kepastian pasokan bahan baku TBS sesuai dengan kapasitas terpasang di pabrik mereka, khususnya PKS Non Kebun yang diikat dalam sebuah perjanjian kerjasama (MoU / SPK) yg difasilitasi oleh dinas yang membidangi perkebunan.
"Jadi kami mengimbau mari petani sawit kita untuk mau dan segera berlembaga/berkelompok (KUD, Kelompok Tani, Gapoktan) agar bisa kita mitrakan dgn PKS terdekat di areal kebun mereka agar terlindungi dan mendapatkan harga yang berkeadilan serta tidak akan berdampak seperti yang dikhawatirkan pekebun non mitra karena kebijakan moratorium tersebut," tutupnya.