RIAU ONLINE, PEKANBARU - Mantan Wakil Gubernur Riau, Wan Abu Bakar, meminta seluruh pihak yang ada di Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) mengkaji ulang Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) guna menyinkronkan Majelis Kerapatan Adat (MKA) dan Dewan Pengurus Harian (DPH).
Menurutnya, kondisi LAMR hari ini rapuh karena ketidakjelasan fungsi dan tanggung jawab dimana tugas Marjohan sebagai ketua MKA dan Syahril Abubakar sebagai ketua DPH.
"LAMR ini ibarat benteng pertahanan dan kalau ini jebol adat Riau akan hilang. Ini harus dipahami. Selama ini LAMR tak punya suatu kekuatan yang nyata karena adanya dua kelompok yang berbeda antara MKA dan DPH," terangnya, Selasa, 29 Maret 2022.
Wan mengatakan dalam AD/ART LAMR tak menjelaskan secara konkrit, sehingga kedua pimpinan ini tak punya garis demarkasi menyoal tugas dan fungsinya.
"Makanya AD/ART itu ditinjau ulang, diperlukan evaluasi. Perubahan AD/ART yang mendetail dan mendasar," tegasnya.
Menurutnya, selama ini Musyawarah Besar (Mubes) LAMR tak ada pembahasan substantif yang diputuskan di mubes saat itu juga. Tambahnya, malah keseringan keputusan dilakukan pasca mubes dan tak substantif.
"Itu tak boleh, segalanya dalam AD/ART diputuskan dalam mubes. Sekarang terbukti, MKA menganggap ketua DPH sudah banyak menyalahi tugas dan kewajibannya. Belum lagi membuat suatu keputusan yang mana tak diberitahu ke MKA sehingga tak bisa memutuskan," tutur Wan.
Pria yang juga pernah menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Riau itu juga meneruskan, MKA sejatinya merupakan pihak tertinggi perihal keputusan. Sedang DPH berfungsi sebagai pelaksana kegiatan dalam LAMR.
"Bukan seenaknya DPH berdiri sendiri, harus dibahas dalam MKA. Kami lihat selama ini tak demikian, yang MKA jalan sendiri, yang DPH juga jalan sendiri. Nah ini menyebabkan ketua DPH terlihat dominan. Sedangkan sesuai adat harusnya MKA," tuturnya.
Menurutnya, ada banyak kejanggalan selama ini yang didominasi salah satu pihak di LAMR untuk kepentingan personal. Sebab itu, di mubes tahun 2022 ini harus ada perubahan total.
"Saya dengar juga sekarang ada keputusan MKA mengatakan bahwa adanya penyimpangan-penyimpangan DPH sehingga kegiatan Ketua DPH dihentikan. Tapi kenyataannya tetap berjalan juga kegiatan DPH ini. Jadi harusnya DPH menjalankan kegiatan sekretariat saja sedangkan kegiatan seperti melantik pengurus lembaga adat tak boleh. Karena seharusnya itu dibahas dan diputuskan oleh MKA," jelasnya.
Wan berkata dalam lembaga adat seharusnya menjunjung tinggi adat istiadat dan kesopanan. Lanjutnya, jika terjadi perpecahan di LAMR maka tak ada lagi fungsinya lembaga adat bagi orang melayu.
"Sebab itu, mubes nanti pun konsepnya itu MKA yang harus menyusun bukan DPH. Karena di MKA lah yang membawa produk apa saja ke dalam mubes, sedang DPH yang menyelenggarakan mubes," tutur Wan.
Tak berhenti di situ, Wan mengingatkan bahwa dalam mubes sepenuhnya perubahan berada pada peserta mubes yakni ketua lembaga adat di kabupaten/kota di Riau.
"Sayangnya justru saya lihat menjelang mubes ini sudah kasak-kusuk masing-masing kelompok menyusun kekuatan. Ini salah. Mengapa untuk menjadi pengurus LAMR harus membentuk semacam tim sukses? Ini lembaga adat bukan lembaga politik," tegasnya.
Berangkat dari situ, ia meminta pihak lembaga adat di kabupaten/kota harus menyadari dan jangan mudah terintervensi lagi terprovokasi oknum baik DPH atau MKA.
"Itu yang harus dilakukan kalau ketua lembaga adat kabupaten/kota mau melakukan perubahan bagi LAMR. Jangan ada politik uang juga, kalau sudah main uang bakal rusak LAMR. Lebih baik bubar.
Saya tak menuduh tapi mengingatkan karena zaman sekarang sistem organisasi banyak bersifat pragmatis. Harus demokratis, sehat, tak ada intervensi, dan manipulasi apalagi dengan permainan uang. Jangan jadikan LAMR sebagai 'perusahan' atau kepentingan personal," tandas Wan.