Laporan: Bagus Pribadi
RIAU ONLINE, PEKANBARU – Terik matahari masih cukup panas dirasakan di kulit peserta yang menampilkan budaya masing-masing di pelataran Balai Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau. Sekitar pukul 15.00 WIB, para peserta dari Suku Talang Mamak, Indragiri Hulu (Inhu) menampilkan Tari Kain.
Musik mulai dialunkan oleh para pemain musik Suku Talang Mamak yang bersila di panggung berlatar merah itu. Pemusik dengan jumlah enam orang yang dengan sebutan datuk itu mengenakan pakaian serba hitam dengan selempang berwarna jingga, serta ikat kepala yang hijau benderang.
Satu persatu alat musik mulai terdengar hingga berada pada tempo yang tepat dan menjadikannya sebuah lagu. Alat musik berjajar dimainkan mulai dari gong, calempong, hingga rak-rak bersilat.
Salah satu pemain musik, Muhammad Nur, mengutarakan musik tersebut umumnya digunakan untuk acara pernikahan atau begawai. Dalam acara begawai, tak hanya musik saja yang disajikan, juga ada penampilan silat.
Sementara gong sendiri menyimbolkan fungsinya di kehidupan sehari-hari Suku Talang Mamak.
“Gong fungsinya memanggil kawan untuk minta tolong ada situasi kehilangan, kebakaran, atau berduka meninggal, dan lainnya. Karena rumah kami itu berjauhan, 0,5 – 1 km jaraknya dalam hutan. Bunyi gong itu berarti ada kejadian buruk yang tidak kita inginkan,” kisah Nur.
Dalam acara Penghargaan Ingatan Budi Datuk Bandaro alam, Irjen Pol Agung Setya Imam Effendi pada Kamis, 23 Desember 2021 itu, Suku Talang Mamak ini menggabungkan beberapa tradisinya. Nur menyampaikan ada adat istiadat melayur yang memproses daun pisang di setiap acara.
“Ada langkah-langkahnya di dalam melayur itu, yang gerakannya kami jadikan tarian di acara ini. Misalnya, dalam acara naik tambak yang dilaksanakan sebagai penghormatan orang yang telah meninggal dalam jangka waktu tiga sampai empat bulan, kami bisa mengumpulkan 200 pelepah daun pisang,” jelas Nur.
Daun tak bisa lepas dari kehidupan sehari-hari Suku Talang Mamak, karena letak geografis mereka yang berdampingan dengan tumbuhan. Sebab itulah, Nur menuturkan daun merupakan simbol adat Talang Mamak.
“Daun banyak kami gunakan, untuk alas dan penutup makanan kami. Kami tidak dibenarkan menutup lauk dan nasi dengan tudung saji, sebaiknya pakai daun,” katanya.
Dalam penampilan Tari Kain, mereka menjadikan gerakan melayur sebagai tarian. Gerakan tarik-menarik kain di atas panggung, kata Nur, itu dilakukan secara bergantian dan sebagai simbol memanaskan daun di atas api.
“Jadi kalau melayur kan daun pisang itu dipanaskan tiap sisinya. Disorong dulu ke satu sisi, jika sudah panas disorong ke sisi lainnya. Begitu seterusnya dan itu salah satu yang kami tampilkan, meski kesannya seperti tarik-menarik kain,” jelas Nur.
Ada juga gerakan membuat pulut yang juga biasanya dilakukan dalam acara begawai dan naik tambak. Nur mengisahkan, Suku Talang mamak menghamparkan pulut yang sudah dikukus di daun yang sudah dipanaskan, begitu juga saat mengukus menggunakan daun.
“Pembuatan pulut itu ada proses tapik, penapiknya yang dari kayu itu,” tuturnya sembari menunjukkan kepada saya salah satu alat tarian berbahan kayu.
“Ada iramanya di situ, pruk prak pruk prak secara bergantian. Itu juga jadi tempo dalam musik dan gerakan dalam tarian,” tambah Nur.
Mengukus pulut pun, terang Nur, tidak dengan sembarang air, seperti air galon, air PDAM, dan air lainnya yang umum digunakan masyarakat kota. “Nah, kami menggunakan air labu, harus air labu itu,” tegasnya, lalu menunjukkan labu yang jadi salah satu pendukung tarian mereka.
Tari Kain yang mereka tampilkan, sebagian besar bagiannya menjelaskan fungsi daun dalam kehidupan sehari-hari mereka. Hari ini di Pekanbaru, mereka menampilkan kegiatan sehari-harinya yang tak lepas dari daun lewat kain kuning cerah.
Sembilan penari perempuan dan satu penari laki-laki itu silih berganti menampilkan gerakan tariannya di hadapan hadirin. Mereka melakukan gerakan menumbuk menggunakan alu dan lesung, yang dilakukan Suku Talang Mamak saat panen ladang.
“Kemudian pengobatan tradisional bernama belian. Gerakan itu tak bisa luput dari kami, karena pengobatan secara tradisional ada langkah-langkahnya. Nah, langkah-langkah itulah yang kami masukkan dalam gerakan tarian kami,” lanjut Nur.
Berdasarkan penuturan Nur, pakaian yang dikenakan para penari itu merupakan pakaian pengantin. Namun, tidak tunggal pakaian pengantin. Karena dalam penampilannya mereka juga memadukan beberapa bagian dari pakaian yang digunakan sehari-hari secara adat istiadat.
“Misalnya selempang yang digunakan penari itu memang untuk acara begawai, dan gelang kaki untuk merentak,” ujarnya menunjuk gelang kaki yang dikenakan salah satu penari perempuan.
Jika diperhatikan, pakaian yang dikenakan penari cukup serasi satu sama lain. Ada yang mengenakn baju berwarna hijau, kuning, dan biru yang selaras dengan selempang berwarna kuning. Penutup kepala penari perempuan menjadi perhatian saya sendiri.
Salah Seorang Tokoh Tetua Suku Talang Mamak, Silagak, menjawab pertanyaan di benak saya yang setelah penampilan mereka saya utarakan ke mereka. Silagak menjelaskan penutup kepala penari perempuan itu bernama tengkuluk yang fungsinya memang untuk melindungi kepala.
“Kondisinya berbeda jika dalam tarian dan kehidupan sehari-hari. Karena tengkuluk kami pakai untuk melindungi dari sinar matahari saat di ladang. Selain itu juga untuk penopang beban saat di hutan maupun panen di ladang,” tutur Silagak menjawab pertanyaan saya.
“Ada wadahnya bernama ambung (ia bergerak mengambil ambung di sisi kirinya) dan tali inilah yang diletakkan di kepala,” katanya turut mempraktikkan menggunakan ambung sembari berjalan ke depan, mengisahkan bagaimana Suku Talang Mamak saat pergi dan pulang berladang.
Kondisi Suku Talang Mamak Saat Ini
Seorang warga Suku Talang Mamak yang menjadi pemusik, Kadisan, mengisahkan kehidupan sehari-hari mereka yang saat ini terjadi. Di balik indahnya Tari Kain yang dipersembahkan mereka secara maksimal di hadapan warga Pekanbaru, Suku Talang Mamak membawa harapan kepada pemerintah.
“Kami ini rumahnya berdekatan, satu hamparan (desa). Kalau pekerjaan kami, semakin ke sini karena ada sawit dan karet, kami ada yang jadi buruh. Biasanya mendodos sawit. Ada juga yang punya ladang sendiri,” ungkap Kadisan.
Meski sebagian bekerja sendiri, dan lainnya sebagai buruh, Kadisan mengaku tak segan-segan berhenti bekerja untuk sementara jika ada kegiatan adat.
“Biasanya dua sampai empat hari acara adat. Di situ kami semua mengerahkan hidupnya ke acara adat tersebut. Jadi semua warga di satu hamparan Talang Mamak itu terlibat,” ujarnya.
Tak lupa, Kadisan menyampaikan pesan ninik mamak di Talang Mamak, agar budaya Talang Mamak seperti berladang berpindah, dan tradisi lainnya dilindungi oleh pemerintah. Mungkin, lanjutnya, bisa melalui aturan yang legal seperti melalui peraturan gubernur.
“Berladang berpindah itu sudah kami lakukan sejak dulu, makanya kami minta perhatian pemerintah. Karena selama ini lembaga adat ini juga belum terlalu terlihat kerjasamanya dengan pemerintah daerah untuk mengakomodasi kami. Jadi kami minta ke depan saling bekerjasama membangun Talang Mamak dan menjaga adat istiadat kami,” tuturnya dengan nada suara rendah menutup perbincangan.