Laporan: BAGUS PRIBADI
RIAU ONLINE, PEKANBARU – Gerakan Riau Anti Korupsi (Grasi) menggelar diskusi bertajuk Arah Pemberantasan Korupsi di Bumi Lancang Kuning. Gerakan yang terdiri dari Jikalahari, Walhi Riau, Senarai, Fitra Riau, LBH Pekanbaru, dan LPM Bahana Unri ini membahas kasus korupsi di Riau dan menilik komitmen kepala daerah mengenai pemberantasan korupsi.
Manajer Advokasi Fitra Riau, Taufik, mengatakan pada 2016 Hari Antikorupsi Internasional diadakan di Riau namun masih banyak meninggalkan catatan kotor. Menurutnya, tak ada dampak positif yang tampak di Riau dalam penanganan pemberantasan korupsi.
“Pada 2016 ada surat keputusan dengan redaksi pencegahan korupsi, tapi sampai saat ini tak tahu kejelasannya seperti apa,” jelasnya, Kamis, 9 Desember 2021.
Ia juga menyayangkan minimnya transparansi mengenai perizinan dan anggaran di Riau. Tak adanya keterbukaan informasi menyebabkan perizinan dan anggaran di Riau selalu bermasalah.
“Misalnya transparansi sumber daya alam itu tak tampak kejelasannya. Semoga hadirnya program Rumah Data oleh Diskominfo Riau bisa memudahkan publik dalam mendapatkan informasi,” terangnya.
Selain itu, ia menilai sejauh ini Gubernur Riau, Syamsuar tak ada komitmennya mengenai pencegahan korupsi di Riau. “Buktinya saja tak ada pernyataan Syamsuar soal isu pemberantasan korupsi di Riau,” cetusnya.
Sedangkan Kepala Bagian Ekosob LBH Pekanbaru, Noval Setiawan, menyampaikan tindakan korupsi bisa dilakukan dari ranah legislasi. Ia menyampaikan korupsi legislasi bisa terjadi karena masyarakat yang terlibat dalam aturan-aturan yang dikeluarkan tak dilibatkan dalam prosesnya.
“Pembuatan aturan jarang sekali melibatkan masyarakat sehingga berdampak kepada masyarakat. Belum lagi penegakan hukum korupsi sejauh ini hanya berfokus pada kerugian negara. Negara belum hadir dalam penanganan kasus HAM dampak dari kasus korupsi,” jelas Noval.
Kemudian, Ketua Tim Advokasi Walhi Riau, Ahlul Fadli, menyampaikan korupsi di Riau bisa dilihat dari segi ekologi seperti masalah perusahaan dengan relasi kuasa. Baginya, di Riau ada kepentingan antara elit dengan perusahaan.
“Contohnya saja berdasarkan data KPK, 82 persen calon kepala daerah itu didanai sponsor. Sponsor ini macam-macam, dan tentunya ada dari perusahaan. Ini sangat berpotensi korupsi,” tuturnya.
Belum lagi, lanjut Ahlul, sejumlah 194 perusahaan perkebunan kelapa sawit pada 15 kabupaten diuji petik belum memiliki Hak Guna Usaha (HGU). Sebab itu, lanjutnya, sangat penting melakukan Corruption Impact Assesment (CIA) guna memeriksa produk kebijakan berpeluang korupsi atau tidak.
“CIA ini dapat dijadikan bahan untuk memikirkan dampak negatif apabila kebijakan diterapkan. Karena tren korupsi di Riau berdampak besar pada masyarakat adat,” tutupnya.