Lusty: Victim Blaming Sering Terjadi dalam Kasus Kekerasan Seksual

lusty.jpg
(Istimewa.)

RIAUONLINE, PEKANBARU - Sebagai seorang yang konsen pada isu perempuan, Lusty Ro Manna Malau, menilai pelecehan seksual masuk pada lingkup kekerasan seksual.

"Selama ini orang beranggotakan bahwa kekerasan seksual itu ketika ada pemerkosaan atau pencabulan. Orang hanya memandang sebatas itu. Orang tidak pernah terbuka pemikirannya kalau kini, cat calling itu juga sudah masuk pelecehan seksual," ujar Pendiri Komunitas Perempuan Hari Ini.

Ia menjelaskan, di lingkungan akademis, pelecehan seksual sebenarnya sudah ada dari dulu. Hanya saja, seiring berkembang zaman, informasi semakin mudah, orang yang bersuara mengenai kekerasan seksual juga semakin berani.

"Jadi, sekarang sudah terbuka. Terlepas yang terjadi itu di ruang lingkup akademis, ketenagakerjaan, atau tempat lainnya. Kekerasan seksual bisa terjadi di mana pun. Terutama di ruang publik. Apalagi di ruang privat," paparnya.

Peneliti sosial di Sumatera Utara ini juga menyayangkan kasus pelecehan yang terjadi di lingkungan kampus. "Sementara di lingkungan akademis, kita melihat ada nilai-nilai edukasi, nilai normatif. Pelecehan seksual justru dilakukan orang yang menjadi promotor edukasi. Nah, ini yang mengecewakan," ujarnya.

Dirinya tak menampik bahwa ada risko ketika korban atau penyintas berani bersuara. Namun, menurutnya, semua keputusan ada di tangan korban. Jangan sampai korban bercerita kepada orang yang salah.



"Apalagi cerita kepada orang-orang yang masih konservatif pemikirannya. Mereka bisa saja menganggap itu hal biasa. Atau bahkan lebih parahnya, malah si korban yang disalahkan atas apa yang terjadi. Kamu sih, pakai baju begitu, kamu juga yang didatangi bapak itu," terangnya.

Wanita yang menjadi The Invisible Hero pilihan Najwa Shihab 2020 ini menyebut, tidak ada siapapun yang ingin dilecehkan. Maka, untuk kasus kekerasan maupun pelecehan seksual, masih banyak yang melakukan victim blaming.

Pengertian victim blaming yakni, fenomena yang terjadi ketika seorang korban kejahatan atau tragedi tertentu diminta pertanggungjawaban terhadap apa yang terjadi pada mereka.

"Ini seperti kasus di Unri. Si pelaku sempat melaporkan balik, atas alasan pencemaran nama baik. Saya yakin, korban sempat merasa down apalagi dikaitkan dengan cerita dan tuduhan. Padahal fokus masalah bukan di situ," tuturnya.

Dengan korban bernai speak-up, lanjutnya, berarti korban sudah menunjukkan bahwa dia berani dan berdaya. Masyarakat mesti punya perspektif yang baik terhadap penyintas pelecehan seksual. Bukan malah dengan berani bersuara dianggap aib dan memalukan.

"Kalaupun ada kelompok orang yang semangat menyuarakan ini, setidaknya dampingilah si korban. Atau, yakinkan bahwa si korban tidak sendirian," jelasnya.

Ia mengingatkan bahwa, pelaku pelecehan berani berbuat karena adanya relasi kuasa. Pelaku pelecehan ada bermacam, bisa dari kalangan akademisi, kepolisian atau kalangan masyarakat sipil biasa.

"Kepada pihak kepolisian, semoga tegas dan bisa memandang dari perspektif korban. Jangan karena relasi kuasa, ada gratifikasi dalam proses penyidikan ini. Marilah berpihak kepada korban," kata Wanita Kuat 2018 versi Pantine dan Narasi TV.