RIAUONLINE - Kementerian Sosial meminta bupati dan wali kota di seluruh Indonesia untuk mengirimkan data terkait anak yang ditinggal orang tua meninggal karena COVID-19.
Direktur Rehabilitasi Sosial Anak Kementerian Sosial, Kanya Eka Santi, mengatakan data tersebut digunakan untuk memberikan dukungan yang sesuai dengan kebutuhan anak dan keluarga.
“Tembusannya kepada Dinas Sosial Provinsi dan Kepala Dinas Sosial Kabupaten Kota untuk bisa mengumpulkan data yang terkait dengan anak-anak yang yatim, piatu atau yatim piatu,” kata Kanya Eka Santi dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pemenuhan dan Perlindungan Hak Anak Korban Kehilangan Orang Tua pada Pandemi COVID-19 yang diselenggarakan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Kamis (12/8).
Kanya mengatakan anak yang kehilangan salah satu atau kedua orang tua rentan dengan sejumlah risiko. Misalnya, tidak terpenuhinya kebutuhan secara fisik untuk tumbuh kembang; tidak adanya pengasuhan; terabaikannya pendidikan; masalah psikososial anak; dan keluarga pengasuh.
“Anak juga rentan mengalami penelantaran dan kekerasan. Dan yang juga sangat kita hindari adalah institusionalisasi di mana anak kemudian…sudahlah karena tidak ada yang ngurus anak kemudian di kirim ke panti-panti,” ungkap Kanya Eka Santi.
Menurutnya, Kementerian Sosial melalui program Asistensi Rehabilitasi Sosial (ATENSI) menyediakan berbagai jenis bantuan untuk mencukupi kebutuhan anak.
Belasan Ribu Anak
Tata Sudrajat, Deputy Chief Program Impact and Policy di Save the Children Indonesia, menjelaskan dari jumlah total orang yang meninggal akibat COVID-19 sebanyak 110.619 per 11 Agustus 2021, sekitar 2,8 persen adalah mereka yang berusia 19-30 tahun dan 12,8 persen berusia antara 31-45 tahun. Mereka pada umumnya telah berkeluarga dan memiliki anak berusia 0 – 17 tahun.
“Kurang lebih ada 17.257 anak yang menjadi yatim, piatu atau keduanya. Kita tahu di usia-usia itu pada umumnya orang berkeluarga, punya anak juga,” kata Tata Sudrajat.
Namun, Tata mengatakan bahwa angka itu adalah perkiraan paling minimal. Ada beberapa organisasi yang memperkirakan angkanya jauh lebih tinggi.
"Nah, sebetulnya angka-angka estimasi itu juga untuk menghitung resources (sumber daya. red) yang harus kita sediakan dan seterusnya untuk merespons masalah ini,” katanya.
Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Nahar, mengakui dibutuhkan pendataan untuk mengidentifikasikan jumlah anak yang kehilangan salah satu atau kedua orang tua akibat COVID-19.
Anak-anak tersebut perlu diberikan perlindungan khusus dalam bentuk pemenuhan kebutuhan dasar, yaitu pangan, sandang, tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, belajar dan rekreasi, jaminan keamanan dan persamaan perlakuan. Juga pemenuhan kebutuhan khusus bagi anak yang menyandang cacat dan anak yang mengalami gangguan psikososial.
Menurut Nahar, yang menjadi tantangan adalah mendapatkan data waktu nyata (real time) terkait kapan anak kehilangan orang tuanya. Data ini penting untuk mencegah agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
“Karena selang satu jam orang tua meninggal, ini hal-hal yang kita khawatirkan bisa terjadi. Bisa saja orang tuanya meninggal, tapi kemudian tidak punya keluarga, lalu kemudian diajak oleh orang yang tidak dikenal, maka akan lepas itu,” kata Nahar.
Rakornas itu menghasilkan sejumlah rekomendasi di antaranya pemerintah daerah harus melakukan edukasi kepada masyarakat agar keluarga melaporkan setiap peristiwa anak yang kehilangan orang tua kepada aparat pemerintah secara berjenjang, melalui rukun tetangga (RT), rukun warga (RW), dan desa atau kelurahan. Intervensi juga perlu dilakukan, dalam bentuk pendampingan sosial bagi anak dan keluarga.
Selain itu juga dengan memberikan dukungan pemenuhan hak dasar anak terkait sandang, pangan dan papan melalui dukungan masyarakat sekitar dan bantuan sosial lainnya.
Artikel ini sudah tayang di VOAindonesia