Kritik Anggota DPR RI M Rahul Soal Penanganan Narkoba Dinilai Tidak Tepat

Tito-Handoko.jpg
(Hasbullah)

RIAUONLINE, PEKANBARU - Pengamat politik Riau, Tito Handoko menilai sikap anggota Komisi III DPR RI asal Riau, Muhammad Rahul yang tiba-tiba menyebut Polda Riau tidak serius menangani dunia malam dan narkoba tidak tepat.

Hal ini menjadi semakin tidak sinkron karena beberapa waktu lalu justru Ketua DPC Gerindra asal Bengkalis ditangkap karena penyalahgunaan narkoba jenis sabu.

"Semestinya koreksinya dari dalam dulu, bukannya dari luar. Ketika Rahul melakukan koreksi dari luar itu tidak tepat karena dia sebagai anggota DPR RI fraksi Gerindra. Ia harusnya koreksi dari dalam," ujar Tito, Kamis 15 April 2021.

Menurut Tito, kejadian ini merupakan tanggung jawab Gerindra untuk mengawasi apa yag dilakukan anggotanya tidak hanya dalam konteks politik namun juga sosial.

"Pengurus partai politik yang melanggar etika publik, melakukan tindak pidana korupsi, penyalahgunaan narkoba itu 100% kesalahan partai politik yang tidak melakukan pembinaan terhadap anggotanya. Karena partai politik juga merupakan organisasi sosial tempat orang-orang berinteraksi," jelas Tito.

Menurutnya, hal ini merupakan indikasi tidak adanya fungsi kontrol dilakukan oleh partai politik. Padahal ini sangat penting dilakukan mengingat partai adalah jembatan negara dan masyarakat.



"Kita tahu parpol sebagai jembatan rakyat kepada pemerintah. Jembatan itu yang rusak. Bagaimana memperbaiki hubungan antara pemerintah dengan rakyat jika jembatan itu rusak," tambahnya.

Akademisi Fisip UNRI ini menyebut seharusnya kejadian ini dapat menjadi momentum agar partai berbenah. Tidak hanya Gerindra namun seluruhnya.

"Bersama-sama melakukan cek urin bekerjasama dengan Badan Narkotika Nasional. Anggota yang terbukti menyalahgunakan narkoba bisa disanksi atau dipecat. Kesadaran itu yang seharusnya tumbuh dari dalam bukan dari luar," papar Tito.

Hal ini dinilai Tito sering out of control dari partai politik. Parpol hanya sibuk di kontestasi politik Pemilu, Pileg, atau Pilkada yang berlangsung lima tahun sekali. Kontrol terhadap perilaku dan aktivitas yang dilakukan oleh anggotanya itu jarang sekali dilakukan.

Hal lain yang juga disoroti Tito adalah minimnya para anggota DPR Aktivitas anggota DPR RI yang tidak pernah turun ke dapilnya. padahal ini merupakan kegiatan yang disyaratkan dalam Undang-Undang.

"Dia dipilih di situ kan sebagai perpanjangan tangan orang. Aspirasi yang diinginkan masyarakat ke depannya ditelurkan ke dalam bentuk kebijakan. Turun saja tidak pernah bagaimana mau menyerap aspirasi?"

Hal ini pula yang terlihat jarang dilakukan oleh Rahul. Sebagai bagian dari millenial di DPR RI, Rahul yang diharap dapat membawa perubahan justru tak memberi peran.

"Sudah dua tahun tidak turun ke lapangan. Baliho dan sembakonya turun, tapi orangnya tidak pernah turun itu gimana caranya? publik kan perlu bertemu dengan wakilnya. Ini seharusnya diawasi Gerindra sebagai partai Rahul," tuturnya.

Menurut Tito, hal ini menjadi satu pelajaran penting bagi partai untuk menjalankan fungsi control terutama reward dan punishment. Diharapkan berjalannya fungsi ini akan membawa perubahan positif dari internal partai.