Sungai Serkap menjadi sumber air dari pohon-pohon lebat dalam kawasan Restorasi Ekosistem Riau (RER).
(istimewa)
RIAUONLINE, JAKARTA - Indonesia memiliki kemampuan sumber daya yang kuat dalam mengelola kawasan gambut berkelanjutan. Namun demikian hal itu mutlak harus didukung dengan kerjasama yang baik berbagai pihak.
Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Alue Dohong dalam webinar bertajuk Pengelolaan Gambut secara Berkelanjutan untuk Pengembangan Ekonomi, Lingkungan dan Masyarakat, Kamis (11/2/2021), mengatakan pengalaman, pengetahuan, teknologi, informasi dan inovasi dengan pendekatan multipihak dalam mengelola gambut dapat dioptimalkan untuk kesejahteraan bangsa Indonesia.
“Tidak hanya dilakukan secara berkelanjutan namun perlu juga secara bertanggung jawab dan bijaksana. Karena itu kita harus lihat gambut tidak hanya sebagai aset lingkungan tetapi juga aset ekonomi dalam rangka peningkatan kesejahteraan bangsa dan negara. Semua harus seiring sejalan atau ada keseimbangan antara ekonomi, lingkungan dan sosial,” ucapnya
Alue menambahkan gambut bersifat unik namun rentan terhadap gangguan dan degradasi sehingga pengelolaannya harus hati-hati dan bijaksana, bertanggung jawab serta berkelanjutan. Banyak pihak berkepentingan terhadap ekosistem gambut, baik dari segi ekonomi dan masyarakat dan lingkungan, termasuk kepentingan habitat makhluk hidup lainnya di kawasan itu.
“Karena itu perlu ditekankan tata dan kelola secara bertanggung jawab bijaksana dan berkelanjutan di dalam bingkai sinergisitas, spirit kerja kolaboratif, multipihak dan multiguna sesuai karakteristik dan fungsi gambut. Tidak boleh berpikir sektoral tapi juga lintas sektoral, tidak hanya lintas kementerian tetapi juga lintas kepentingan,” terangnya.
Sementara itu, Kepala Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) Hartono Prawiraatmaja menjelaskan pihaknya bertugas merehabilitasi lahan gambut yang terdegradasi di areal luar konsesi, yang kerap sudah diokupasi oleh masyarakat. Karena itu, pihaknya berupaya selalu berkolaborasi dengan masyarakat desa setempat atau masyarakat dari tempat lain yang beraktivitas di kawasan itu.
“Kita bekerja sama dengan pemda, sediakan anggaran, tenaga pendamping dan mengajak masyarakat bersama-sama, meski tidak mudah. Kita ajak mereka untuk adaptasi kebiasaan seperti berbagi air sehingga dalam satu kesatuan lahan gambut tidak terjadi kekurangan air akibat penggunaan yang berlebihan,” urainya.
Kebiasaan baru lainnya yakni menghentikan penggunaan api dalam pembukaan lahan pertanian. Pengelola lahan harus tahu yang dilakukan pada satu lokasi akan berakibat pada lahan milik orang lain yang letaknya berada di dalam areal yang sama. Karena itu forum komunikasi pemilik lahan menjadi kunci pengelolaan gambut.
“Kami lakukan dialog intensif dengan berbagai pemangku kepentingan, pendampingan, kolaborasi dengan institusi pendidikan. Kerja sama dengan masyarakat, merupakan suatu kebutuhan dan keniscayaan. Kami bentuk desa peduli gambut. Dengan masyarakat berdaya, kerusakan gambut jadi tanggung jawab dan kesadaran mereka untuk direstorasi,” tuturnya.
Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Karliansyah mengamini kerja sama semua pihak merupakan keniscayaan untuk merehabilitasi lahan gambut yang terdegradasi.
Perusahaan yang bergerak di bidang pulp and paper, Grup APRIL menerapkan pendekatan proteksi-produksi dalam pengelolaan hutan tanaman industri (HTI) serta menginisiasi program Restorasi Ekosistem Riau seluas 150.693 hektar sebagai upaya mendukung konservasi dan restorasi ekosistem gambut di Provinsi Riau.
“Grup APRIL juga berpartisipasi dalam pengembangan ilmu pengetahuan lahan gambut tropis yang diharapkan dapat berkontribusi pada pengelolaan lahan gambut global. Ini merupakan komitmen dari sektor swasta dalam berkolaborasi bersama multipihak lainnya dalam mendukung praktik pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan,” kata Deputy Director Sustainability & Stakeholder Engagement APRIL Group Dian Novarina yang turut menjadi pembicara dalam webinar.
Dian juga menggarisbawahi aspek sosial sangat penting dan tidak boleh terlupakan dalam pengelolaan gambut yang berkelanjutan. “Di APRIL, kami bertekad untuk berkembang bersama-sama secara inklusif dengan melibatkan masyarakat yang ada di sekitar operasional kami dengan salah satu target ambisius kami pada komitmen APRIL 2030 adalah menekan kemiskinan ekstrem di radius 50 km dari operasional pada 2030,” paparnya.
Selain itu, APRIL melalui PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) juga terus mendorong serangkaian program pemberdayaan masyarakat di lahan gambut, salah satunya pengembangan one village one commodity (OVOC) yang telah menghasilkan komoditas unggulan seperti Nanas Penyengat yang menjadi sumber penghasilan masyarakat disekitar daerah operasional. (rls)