Saat Warga Binaan Enggan Berpangku Tangan Menyaksikan Perjuangan Ibu Pertiwi

warga-lapas.jpg
(istimewa)

RIAUONLINE, PEKANBARU - Hidup di balik jeruji besi bukan berarti pasrah. Bukan berarti tak bisa berbuat apa-apa dan bukan pula berpangku tangan dan diam melihat negeri tercinta dilanda musibah.

"Kami semua tidak diam, kami ikut menyumbangkan tenaga dan kemampuan untuk turut serta melindungi bangsa," kata salah seorang warga binaan yang mendekam dibalik jeruji pinggiran Riau.

Wabah Virus Corona atau yang juga dikenal dengan Covid-19 memang dahsyat. Betapa tidak, virus yang tidak kasat mata itu telah menyerang lebih di 210 negara di dunia.

Penyebaran infeksi virus corona secara global terus mengalami peningkatan setiap harinya. Tak kurang dari dua juta warga dunia terpapar dari virus yang berasal dari Tiongkok itu, dengan lebih dari 100 ribu diantaranya meregang nyawa.

Di Indonesia, terdapat lima ribu pasien positif Covid-19 dengan nyaris 500 diantaranya meninggal dunia.

Mayoritas warga seolah kehilangan kebebasan karena mereka harus tetap berdiam di rumah untuk memutus mata rantai penyebaran.

Sementara bagi mereka yang kebebasannya diambil untuk mempertanggungjawabkan kejahatan dan mendekam di balik dinginnya jeruji besi, hanya melihat hingar bingar kekacauan di dunia luar.

Mereka memiliki dua pilihan. Tetap berdiam dan tak melakukan apapun, atau terlibat untuk melakukan sesuatu saat ibu Pertiwi menangis perih berupaya lepas dari belenggu kesusahan.



Bagi ratusan warga binaan yang kini mendekam dibalik jeruji di Provinsi Riau, mereka memilih opsi ke dua.

Sebagai institusi tertutup yang memiliki tingkat hunian tinggi dan over kapasitas, lapas/rutan di Riau rentan terhadap penyebaran dan penularan Covid-19 akibat sulitnya penerapan physical distancing. Namun, berbagai upaya telah dilakukan untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19 di lapas/rutan seperti melakukan sosialisasi, penerapan budaya hidup sehat, menyediakan sarana cuci tangan dengan sabun dan atau hand sanitizer, penyemprotan disinfektan pada kamar dan blok hunian, meniadakan jadwal kunjungan sementara, pemberhentian pengiriman tahanan ke rutan/lapas, sampai membebaskan napi melalui program asimilasi dan integrasi.

Mereka tak rela dicap tak berguna dan membuang semua cibiran manusia. Berbekal kemauan, semangat dan sedikit keterampilan, tangan-tangan mereka mulai bergerak.

Setiap harinya, ada ratusan hingga ribuan alat pelindung diri (APD) dihasilkan dari balik jeruji besi. Bukan pujian yang mereka mau, melainkan kesempatan untuk berguna dan membantu.

Kepala Sub Bagian Humas Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Riau Koko Syawaluddin Sitorus mengatakan ribuan masker telah dihasilkan oleh tangan-tangan terampil para narapidana yang tengah menjalani hukuman tersebut.

Setidaknya, saat ini terdapat tiga wilayah yang aktif merangkai APD berupa masker wajah, face shield atau alat pelindung wajah serta jas plastik.

Di antara wilayah itu adalah Lapas Klas IIB Selat Panjang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Lapas Klas IIA dan Lapas Perempuan Klas IIA Pekanbaru serta Rutan Dumai dan Rutan Pekanbaru.

APD yang dihasilkan itu kemudian dibagikan kepada masyarakat dan petugas melalui Dinas Kesehatan dan Rumah Sakit Daerah setempat.

Selain itu, untuk di Pekanbaru APD jenis face Shield juga disalurkan kepada pihak ketiga sebagai pemesan dan juga langsung kepada Gugus Tugas Percepatan Penanggulangan Covid-19 Provinsi Riau.

"Selain itu, saat ini juga ada beberapa pihak ketiga yang bekerjasama dengan Lapas Rutan tersebut dalam rangka produksi masker dan APD lainnya. Rencananya, masker dan APD tersebut juga akan dibagikan kepada tenaga medis dan masyarakat yang membutuhkan," jelasnya.

Dia mengatakan meskipun hidup tak sebebas di dunia luar, harapan mereka tetap tumbuh untuk melihat ibu Pertiwi kembali tersenyum.