RIAU ONLINE, PEKANBARU - Ketua Fraksi Demokrat DPRD Riau, Agung Nugroho mengajak mahasiswa untuk bersama meminta penjelasan dari Gubernur Syamsuar terkait berapa persen porsi keluarga yang diangkat menjadi pejabat dalam pelantikan pejabat eselon III dan IV beberapa waktu lalu.
Sebab jangankan masyarakat, ketua fraksi seperti dia saja hingga hari ini tidak tahu berapa jumlah pasti pejabat yang dilantik begitu juga dengan latar belakang mereka.
Hal tersebut disampaikan Agung dalam Talkshow Suara Mahasiswa bertema Melibat Kinerja Dinasti Birokasi yang digelar di Mocarabica cafe Jalan SM Amin bekerjasama dengan BEM UR, Riau Online dan Bharabas FM.
Memang secara aturan, Agung menegaskan tidak ada pelanggaran karena ia yakin Syamsuar maupun Yan Prana sudah mempelajari semua persyaratan untuk melantik pejabat.
"Memang tidak ada pelanggaran aturan, mereka pasti sudah belajar soal aturan. Masalahnya adalah etika dan kepatutan. Masyarakat yang memilih syamsuar pasti kecewa kalau begini," kata Agung, Sabtu, 18 Januari 2020.
"Hari ini pelantikan tidak jelas, kalau pejabat sudah jelas kenapa takut diumumkan? Saya yang DPRD Riau saja tidak tahu apalagi publik," tambahnya.
Karena itulah, DPRD Riau tidak bisa berbuat banyak untuk melarang itu, sehingga pihaknya hanya akan melihat kinerja dari pejabat yang dilantik ini dalam dua atau tiga bulan kedepannya.
"Kita lihat kinerjanya 2-3 bulan dulu, tugas kita adalah mengawasi pemerintah. Khususnya birokrat yang menjalankan APBD," tambahnya.
Sementara Presiden Mahasiswa UR, Syafrul Ardi mengaku pihaknya memang akan melakukan aksi untuk menuntut klarifikasi dari Syamsuar, namun ia masih melakukan kajian-kajian ilmiah sehingga aksi mereka lepas dari stigma negatif.
"Kami sedang melakukan kajian-kajian, nanti kalau sudah lengkap baru kami akan aksi," tegas Syafrul.
Sementara itu, Kepala Ombudsman perwakilan Riau, Ahmad Fitri mengatakan secara aturan tidak ada masalah, namun ia masih akan menunggu laporan dari masyarakat terkait pelayanan masyarakat.
"Kalau ada laporan masyarakat pasti akan kita telusuri, tapi kalau masalah pejabat yang merasa dirugikan idealnya melapor ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN)," tuturnya.
Lalu, Pengamat Pemerintahan dari UR, Tito Handoko, menjelaskan nepotisme sudah berlangsung di Indonesia sejak dahulunya, namun apa yang dilakukan Syamsuar jauh dari semangat reformasi tahun 1998.
"Apa betul semangat reformasi ada di sana? Belum tentu. Kita tentu tidak bisa melepas dari kepentingan, misalnya saya sebagai eselon II, lalu di eselon III dan IV ada keluarga pejabat. Bisa tidak saya tekan mereka? Ya tidak bisa. Bahkan saya dapat informasi, banyak juga titipan tim sukses, dari kiri kanan pak Syam," tutupnya.