RIAUONLINE - Darwanto, pria berusia 65 tahun itu tak hentinya meneteskan air mata. Dia berharap hal terburuk dalam hidupnya, yang baru saja terjadi hari ini hanyalah sebuah mimpi. Dia sangat ingin terbangun dari mimpi seramnya itu.
Matanya terlihat sembab, air mata terus mengalir ke pipinya yang mulai menua.
Tak banyak kata yang ia ucapkan. Dia hanya terdiam mengikuti alunan ayat suci yang sayup-sayup dilantunkan oleh para pelayat.
Rabu malam itu, Rumah sederhana Darwanto yang menduda berlokasi di Desa Dayo, Kecamatan Tandun, Kabupaten Kampar penuh sesak. Keriangan lebaran yang masih terasa di rumah itu sesaat sirna.
Petani sawit tersebut kehilangan Yeni Riski Purwati, anak bungsunya. Wanita berusia 27 tahun dan baru saja menikah tersebut pergi untuk selama-lamanya. Dengan cara tragis yang sangat sulit untuk dilupakan. Terseret derasnya parit akibat banjir yang melanda Pekanbaru, Selasa pagi.
Yeni merupakan anak bungsu dari empat bersaudara. Dia tinggal di Pekanbaru bersama suaminya, Anto (30).
Kematian Yeni menimbulkan duka mendalam bagi Anto. Usia pernikahan mereka bahkan belum genap satu tahun.
Insiden memilukan itu terjadi saat korban berniat mengantar suaminya, Anto, ke Bandara Sultan Syarif Kasim (SKK) II Pekanbaru. Yeni hendak melepas kepergian suaminya yang bekerja di Sampit, Kalimantan Tengah. Namun ternyata, suaminya justru yang harus melepas kepergian istri tercintanya. Untuk selamanya.
Korban Yeni ditemukan pada pukul 08.05 WIB, dengan jarak sekitar dua kilometer dari lokasi awal korban jatuh. Korban ditemukan tim gabungan Basarnas, Kepolisian serta bantuan warga.
Suami korban, Anto juga terlihat sangat berduka dengan kejadian yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya itu. Anto yang ditemui di kediaman duka bahkan tak sanggup berkata-kata dan tak hentinya meneteskan air mata.
Masih terlihat jelas foto pernikahan kedua sejoli tersebut di dinding. Pernikahan bahagia yang berlangsung sembilan bulan lalu.
Masyarakat setempat mengenal Yeni sebagai anak yang pintar dan baik. Mereka sama sekali tak menyangka tetangganya yang terkenal ceria itu harus pergi dalam usia belia. Bahkan dengan cara tragis pula. Akibat kesalahan pemerintah dalam mengatur tata kota. Yang tak pernah bisa menyelesaikan masalah banjir di ibu kota. (**)