RIAU ONLINE, PEKANBARU - Deputi III Bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan dari Badan Restorasi Gambut (BRG), Myrna Asnawati Syafitri menjawab santai kritikan yang dilayangkan kepada mereka atas bencana karhutla di Riau.
Kritikan disampaikan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau. Dimana, mereka bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sama-sama dianggap telah gagal dalam memperbaiki kondisi lahan terutama untuk di kawasan bergambut.
Salah satu kasusnya terjadi di kebun sagu binaan BRG milik warga di dua desa terletak di Kecamatan Tebing Tinggi Timur, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau yang juga ikut-ikutan terbakar. Kebakaran dipicu oleh terbakarnya hutan dan lahan merembes hingga ke kebun sagu dengan luasnya 20 hektare.
Menjawab itu semua, Myrna mengatakan kebakaran terjadi akibat salahnya tata kelola lahan selama puluhan tahun yang diterapkan di Provinsi Riau. Sehingga gambut tidak mungkin dapat sembuh dalam waktu teramat singkat.
"Untuk memulihkannya tentu perlu waktu. Karena kerusakan gambut secara umum dan yang terjadi di Riau adalah akibat salah kelola selama puluhan tahun. Gambut kering perlu pembasahan selama puluhan tahun untuk membuatnya lembab sehingga tidak akan terbakar," sebutnya, Jumat, 15 Maret 2019.
Sedangkan BRG benar-benar baru bekerja dalam kurun waktu dua tahun terakhir. Meskipun tidak berkurang secara signifikan, masyarakat sama-sama bisa merasakan bahwa bencana karhutla sejak tahun 2015 menurun.
"Zero fire untuk gambut kering dan rusak baru dimulai restorasinya pada dua tahun ini (2017-2018). Jadi untuk potensi kebakaran masih tetap ada. Tetapi bahwa kebakaran menurun drastis dari 2015 tentu sebuah hasil kerja yang tidak terbantahkan. Sebaiknya kita dapat lebih mencermati secara detil soal kebakaran ini," tutupnya.