Mengenal Raja Marhum Bukit, Namanya Disematkan Untuk Jembatan Siak IV

Jembatan-Sultan-Abdul-Jalil-Alamuddin-Syah.jpg
(Azhar Saputra)

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Budayawan sekaligus sejarawan dari Riau, O.K. Nizami Jamil menceritakan siapa sebenarnya Sultan Alamuddin Syah atau Marhum Bukit. Namanya kini disematkan pada nama Jembatan yang sebentar lagi sudah dapat dilintasi oleh masyarakat Riau.

Sejarahnya juga sudah dibukukan pada saat peresmian jembatan tersebut pada Kamis, 14 Februari 2019 silam. Saat mengulang kembali, gaya bahasanya jelas menggambarkan seorang budayawan sejati. Menurutnya begitu banyak jasanya terhadap Riau hingga saat ini.

Bermula dari kelahirannya. Sultan Alamuddin Syah merupakan putera sulung yang dipertuan Raja Kecik gelar Sultan Abul Jalil Rachmad Syah pendiri Kerajaan Siak pertama tahun 1723 di Kota Buantan, Sungai Jantan (sekarang Sungai Siak).

Ibunnya adalah puteri Dipati Batu Kucing Musi Rawas Pelembang dan istrinya bernama Daeng Khaiijah, puteri Daeng Perani.

"Saat itu ketika raja memberikan penobatan kepada putra-putranya, hanya dirinya dinobatkan sebagai Raja Muda yang membuatnya memilih pergi dari Negeri Siak. Melanglang buana hingga ke Selat Malaka bahkan sampai ke Laut Cina Selatan," sebutnya.

Sejarahwan ini menceritakan disana dia menjadi bajak laut, menjadi penguasa di lautan. Bahkan kapal milik Belanda hingga Inggris turut menjadi sasarannya. Termasuk para pedagang yang melintasi perairan Selat Malaka dan Laut Cina Selatan menjadi sasarannya.

Merasa memiliki bekal yang cukup, dirinya bertualang menuju Siantan dengan membawa pengikut 500 orang. berasal dari berbagai suku dan bangsa, para pengembara ini turut serta membawa kapal hasil rampasan.

Disana mereka menuju Borneo, perairan Kalimantan Barat. Marhum Bukit menetap di Pulau Siantan dengan bantuan Daeng Kamboja, karena dia adalah menantu Daeng Perani. Kapal perangnya memiliki kapasitas besar dan kecil. Hasil dari rampasannya. Sehingga membuat koloni Belanda takut. Apalagi setelah sukses menghadang perdagangan lalu lintas Selat Malaka dan Laut Cina Selatan.



Merasa tak bisa dikalahkan, Belanda mebuat politik pecah belah dengan menghasut Marhum Bukit agar kembali ke Siak untuk mengambil tahta kerajaan. Saat itu dikuasai oleh adiknya sendiri, Tengku Buwang Asmara.

Sejarahnya, adiknya ini telah membuat malu Gubernur Belanda di Malaka. Karena sanggup menghancurkan Loji Belanda dan membunuh pimpinan serta semua serdadu di Pulau Guntung, Kuala (muara) Siak.

Tanpa pikir panjang Marhum Bukit tertarik. Namun memberikan syarat kepada Belanda untuk tidak ikut campur dalam masalahnya. Termasuk keluarga Kerajaan Siak.

"Saat itu terjadi perang saudara antara adik beradik. Tapi di tengah peperangan si adik menyampaikan wasiat ayahnya yang berbunyi jika suatu hari Marhum Bukit kembali untuk mengambil tampuk kekuasaan, maka Serahkanlah. Sebab dia adalah saudara sulung yang juga berhak menjadi raja," sebutnya.

Mendengar wasiat itu hati Marhum Bukit luluh. Peperangan kemudian berakhir. Dirinya bertahta sebagai Raja di Kerajaan Siak di Koto Menpura tahun 1766. Pusat kerajaan kemudian dipindahkan ke hulu Sungai Jantan, di negeri Batin Senapelan melalui persetujuan sidang Dewan Kerajaan Siak.

Alasan dipindahkannya karena Marhum Bukit begitu membenci Belanda yang ingin merampas Negeri Kerajaan Melayu di Pesisir Selat Malaka dengan politik pecah belah. Dia juga enggan membayar hutang perang kepada Belanda.

Senapelan perlahan mulai dibangun karena ini merupakan pusat kerajaan baru. Dirinya memindahkan pelabuhan dagang di Tapung Kiri dan Tapung Kanan ke Negeri Senapelan untuk melancarkan arus perdagangan. Membawakan hasil bumi untuk dijual ke Malaka dan Singapura.

Tambahnya, untuk menghubungkan jalur perdagangan hingga ke negeri Minang Kabau dan Kuantan, dibuatlah jalur darat melalui Teratak Buluh. Hasil bumi diangkut dengan pedati ditarik dengan kerbau dan kuda.

Jalan di Negeri Senapelan juga tak luput dari pandangannya. Sekarang dikenal sebagai Pedang Terubuk, Pedang Buatan, Kampung Dalam, Pintu Angin, Kampung Sukma Hilang dan lain-lain. Serta membangun perdagangan rakyat yang disebut dengan Kampung Payung Sekaki di Pantai Cermin.

"Di sinilah nama Marhum Bukit itu. Di tahun 1780, Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah diberi gelar Marhum Bukit. Tahtanya kemudian diteruskan oleh putranya bernama Tengku Muhammad Ali yang diberi gelar Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil sebagai Sultan Siak V tahun 1780-1782. Jabatannya tak lama karena sudah tua. Belum lagi menjadi panglima perang yang terus melawan Belanada, Inggris dan para bajak laut di Selat Malaka diwaktu mudanya.

Perintah ayahnya untuk melanjutkan rencana pembenahan jalan raya di Senapelan arah Kampar, Pangkalan Koto Baru, Payakumbuh juga dilakukan sehingga dibuat bersimpang tiga.

"Jalan bersimpang tiga ini diberi nama Kampung Simpang Tiga. Sekarang namanya Simpang Tiga Marpoyan. Di masa Tengku Muhmmad Ali bertahta, Senapelan diberi nama Pekan Baharu. Sekarang menjadi Pekanbaru yang kini menjadi Ibu Kota Provinsi Riau," jelasnya.