SEBAGAI Lembaga Bantuan Hukum (LBH) bernaung di bawah Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), LBH Pekanbaru memiliki konsep pemikiran yang sejalan dengan konsep-konsep YLBHI. LBH Pekanbaru tak hanya concern dalam pemberian bantuan hukum individual saja, tapi juga Bantuan Hukum Struktural (BHS).
Dimana BHS menekankan pada dimensi sosial politik dalam mendorong perubahan di tingkat supra struktur dan pada tingkat infrastruktur politik, khususnya di Riau. Pada dasarnya, dalam konsep kerja bantuan hukum disingkat Bankum, terdapat 2 (dua) model bantuan hukum.
Pertama, BHS merupakan ruhnya dari seluruh konsep gerakan bantuan hukum itu sendiri. Ini merupakan sebuah gerakan bantuan hukum yang tidak hanya menyentuh individual saja, namun juga mendorong perubahan-perubahan struktural transformatif melalui pembaharuan bidang hukum dan kebijakan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ketatanegaraan yang demokratis.
Kedua, bantuan hukum cuma-cuma yang berlaku sejak adanya UU No. 16/2011 tentang Bantuan Hukum. Sedangkan, perbedaan antara keduanya hanya dari sisi penerima manfaat dan hasil dari kerja-kerja yang dilakukan.
Ketimpangan struktural
LBH Pekanbaru berdiri resmi sejak 2005, awal berdirinya untuk menyikapi dan melakukan advokasi terhadap ketimpangan struktural terjadi di Riau. Cakupan isu kerap diusung LBH Pekanbaru adalah pelanggaran HAM, seperti kebebasan berserikat, berkumpul dan beragama dan berkeyakinan, konflik agraria dan konflik sumber daya alam melawan perusahaan, perburuhan, pelanggaran prinsip peradilan yang jujur dan adil (fair trail), kekerasan terhadap perempuan dan anak serta beberapa bentuk pelanggaran HAM, dan lain-lainnya.
Kasus terhadap isu-isu tersebut mempunyai suatu karakteristik, yaitu kasus yang ada tidak hanya dilihat sebagai sesuatu harus diselesaikan, melainkan juga melihat adanya konflik sosial lebih dalam. Dengan demikian, langkah diambil tidak terbatas hanya pada tindakan hukum semata, tapi juga politik.
Misalnya, seperti mendesak lembaga legislatif dalam menuntut pengakuan hak, hukum yang adil dan penolakan kesewenang-wenangan oleh kekuasaan. Sedangkan, pelanggaran prinsip fair trail oleh para penegak hukum di lapangan merupakan isu yang paling cukup menyita perhatian dan menjadi suatu permasalahan tersendiri di Riau.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru terpilih 2017–2021.
Selanjutnya, LBH Pekanbaru juga melakukan pengamatan langsung di lapangan, dimana masih rendahnya keberanian aparat penegak hukum untuk menyediakan hak bantuan hukum bagi tersangka atau terdakwa. Padahal dalam Pasal 54 dan 56 KUHAP menjelaskan, tersangka atau terdakwa wajib mendapatkan bantuan hukum.
Namun faktanya di lapangan, penyidik kepolisian masih enggan memenuhi hak-hak tersangka tersebut. Alasan penyidik, hanya karena tersangka menolak di dampingi dan dibuatkan surat pernyataannya oleh penyidik. Hal tersebut bahkan diamini oleh para hakim di Indonesia.
Jaminan Bankum
Secara prinsip hukum, secarik kertas surat pernyataan ditandatanggani tersangka dan terdakwa, tak dapat menghilangkan hak seseorang begitu saja, sebagaimana diatur di dalam perundang-undangan. Sesungguhnya, secara hierarki peraturan perundang-undangan itu, bahwa undang-undang jauh lebih tinggi kedudukannya di atas surat pernyataan itu. Namun hal itu sering terjadi dan sering LBH Pekanbaru menjumpainya di dalam praktek di lapangan.
Contoh kasus pencabulan menimpa seorang anak bernama A (nama disamarkan) di Riau. Dalam kasus tersebut, A disidik sebagai anak berhadapan dengan hukum (ABH), mengutip istilah lazim digunakan dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak. Di tingkat kepolisian, A tidak didampingi penasihat hukum (Ph).
Penyidik saat itu berdalih telah menawarkan penasihat hukum, namun ibu A menolak. Dan A saat itu berusia 12 tahun dibuatkan surat pernyataan dicap jempol oleh dirinya sendiri dengan menyatakan A menolak untuk didampingi oleh Ph. Kasus ini berlanjut hingga ke pengadilan. Barulah ibu si A mendatangi LBH Pekanbaru setelah diarahkan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) dan minta didampingi.
Dalam keterangan tersebut, ibu si A tidak diberi tahu jika ada pengacara yang cuma-cuma dan hal tersebut tidak dijelaskan oleh penyidik, sehingga sang ibu menolak didampingi di tingkat kepolisian. Dalam kasus tersebut, putusan pengadilan dengan hakim tunggal menolak dalil pembelaan Penasihat Hukum dan lebih membiarkan menerima surat pernyataan jelas-jelas bertentangan dengan norma hukum yang ada dan tidak berdasarkan hukum.
Padahal dalam kasus tersebut, mendapat pendampingan ataupun bantuan hukum adalah wajib, dan penyidik, jaksa maupun hakim dapat menunjuk langsung penasihat hukum atau advokat guna mendampingi A. Kasus ini hingga kini masih di tahap kasasi dan belum ada putusannya.
UU Bantuan Hukum
Kasus si A tersebut mencerminkan, bantuan hukum belum menjadi suatu kebiasaan hukum dalam sistem peradilan kita. Masih banyaknya penyelewengan dan pelanggaran dalam tahapan, baik dari penyidikan hingga pengadilan karena tidak di dampinginya tersangka atau terdakwa. Hal tersebut lebih kepada kesadaran aparat penegak hukum terutama penyidik agar bersifat lebih inisiatif, karena masalah biaya bukan lagi menjadi problem lagi bagi pemberian bantuan.
Saat ini negara melalui UU No. 16/2011 telah menjamin adanya bantuan hukum (Bankum) bagi tersangka atau terdakwa yang kurang mampu. Tinggal bagaimana aparat penegak hukum mau menerapkan ketentuan tersebut atau tidak. Maka LBH Pekanbaru dalam hal ini akan terus mendorong dan mengupayakan suatu sistem bantuan hukum menjadi suatu budaya di masyarakat. Sehingga jaminan UU terhadap bantuan hukum cuma-cuma bagi masyarakat miskin jadi secercah harapan dari para pencari keadian di negeri ini. Mudah-mjudahan.***