Laporan: Azhar Saputra
RIAU ONLINE, PEKANBARU - Baru-baru ini beredar luas di kalangan warga Pekanbaru dan sudah menjadi viral melalui pesan WhatsApp tentang ocehan Sahat Mangapul Hutabarat yang menceritakan tentang gambaran menyedihkan para siswa Sekolah Dasar Negeri 026, kampung Sidodadi Desa Bukit Kerikil, Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis.
Sahat, pendiri Cabang Unit Lapangan Laboratorium Kedaulatan Pangan Agribisnis Kerakyatan (KPAK) dan organisasi Persaudaraan Mitra Tani Nelayan Indonesia (PETANI), menceritakan kondisi SD Kelas Jauh tersebut jika musim hujan seperti saat ini.
Belum lagi, akses jalan acap kali membuat warga sekitar yang melintas berhati-hati hindari puluhan bahkan ratusan lubang siap menjatuhkan siapa saja melintasinya. Sebaliknya, jika musim kemarau. Padahal, sekolah ini hanya berjarak 500 meter dari areal konsesi PT Arara Abadi, pemasok kayu untuk PT Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP).
Sekolah tersebut dibangun di atas tanah bergambut. Untuk menuju aksesnya penuh debu dan membuat kondisi belajar-mengajar menjadi tidak efektif, karena terpapar debu dan panasnya terik mentari.
Sahat juga menceritakan satu tenaga pendidik honorer sudah lama mengabdi mencurahkan segala pikiran, tenaga dan waktunya untuk tetap dan terus mengajar di Sekolah yang bisa dikatakan marjinal ini.
"Saya rasa Bu Elra Satiwi, sudah tiga tahun ini bersusah payah mendidik murid-murid SD letaknya begitu jauh jaraknya dari kediamannya," katanya dalam pesanya, Kamis, 1 Desember 2016.
Menempuh jarak 15 km dari rumahnya, Elra melintasi jalanan dengan kondisi memprihatinkan demi mencerdaskan 16 anak didiknya. Dari jumlah tersebut, tujuh murid kelas 1 SD, dan sembilan kelas IV.
Sementara itu, berbekal iuran disetorkan para wali murid tiap bulannya, Elra harus mampu mempergunakan uang tersebut untuk keperluannya sehari-hari, dari mulai makan, sampai keperluan pribadinya.
"Orangtua murid di sana hanya mampu memberikan Rp 50 ribu untuk tiap bulanya kepada guru ini agar bisa terus bisa memberikan ilmunya kepada anak-anaknya sampai mereka menamatkan pendidikan 6 tahunya,"kata Sahat.
"Kalau saya perkirakan uang segitu hanya bisa memenuhi biaya bensin seorang ibu guru saja. Kalau dirata-ratakan dari kelas di jarnya, Ibu itu mendapatkan Rp 400 ribu per bulan dari hasil sumbangan orang tua murid," tuturnya.
Sahat juga menjelaskan, dengan harga bensin eceran seperti saat ini, uang itu nantinya habis untuk biaya bensin pulang pergi Tiwi dari rumah ke sekolah berjarak 30 Km.
Dalam dua tahun terakhir ini, tutur Sahat, Tiwi menyempatkan diri untuk mengajar 10 murid TK letaknya tak jauh dari bangunan SD tersebut.
"Baru tahun 2016 ini saja ada seorang guru honorer lagi mencoba peruntukannya membantu Tiwi, Nur Hasanah, namanya," kata Sahat.
Setelah puas menceritakan tentang pahitnya upaya seorang guru di SD mencerdaskan anak bangsa, Sahat beralih merepeti keadaan pemerintahnya. Menurutnya, APBD Kabupaten Bengkalis terbesar nomor 4 di Indonesia, belum mampu mencerdaskan warganya sendiri.
"Tapi inilah fakta dari sebuah sekolah yang ada di Kabupaten Bengkalis yang ada salah satu kampung masyarakatnya berjumlah 40 kepala keluarga dengan kehidupan dan kemiskinan yang sangat memprihatinkan. Dan satu lagi yang perlu di garis bawahi. Bahwa kampung ini sering dikriminalisasi dalam kasus kasus konflik agraria," tandasnya.
Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline