Ekowisata Sijonjang, Upaya Desa Lubuk Bigau Menghadang Bencana Alam

Ekowisata-Sijonjang-Upaya-Desa-Lubuk-Bigau-Menghadang-Bencana-Alam.jpg
(Winda Turnip/Riau Online)

RIAU ONLINE, KAMPAR  - Pembukaan Ekowisata Air Terjun Sijonjang merupakan upaya yang ditempuh oleh masyarakat Desa Lubuk Bigau, Kecamatan Kampar Kiri, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau untuk menghadang bencana alam akibat penambangan dan pembalakan liar di Hutan Desa Lubuk Bigau tersebut.

Perwakilan Pemuda Desa Lubuk Bigau, Arika, menceritakan awal mula warga desa membuka ekowisata ini adalah karena adanya rencana penambangan batu bara sekitar tahun 2010 lalu. Anehnya, tidak ada desa yang merasa memberi izin terkait rencana tersebut.

"Saat itu, penambangan batu bara ini mendapatkan penolakan keras dari kami sebagai warga desa. Bahkan, kami juga sempat saling mencurigai antar desa, terkait siapa yang memberi izin tambang tersebut," ujarnya.

Kecamatan Kampar Kiri memang memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang kaya, termasuk di wilayah Desa Lubuk Bigau dan desa-desa lain disekitarnya. 

Lebatnya hutan menarik minat oknum-oknum tidak bertanggung jawab untuk menjarah dan melakukan pembalakan liar. Hal inipun memicu masyarakat desa untuk melakukan upaya penyelamatan lingkungan, yang menjadi tempat mereka hidup.

Warga antara desa di wilayah Kampar Kiri ini pun bersatu menolak penambangan batu bara. Upaya penolakan ini memakan proses yang cukup panjang sejak tahun 2012 lalu. 

"Tahun 2012 kami mulai mencari-cari informasi ke luar, karena tahun itu internet baru masuk ke desa. Kami mencari dukungan dan melakukan upaya untuk menolak keberadaan tambang batu bara. Dalam prosesnya, kami pun mendapatkan dukungan dari Yayasan Hutan Riau dan beberapa yayasan lainnya," jelasnya.

Dengan dukungan yang telah didapat, para pemuda desa yang menolak tambang itupun membentuk lembaga Pangkas (Persatuan Anak Negeri Pangkalan Kapas). Melalui lembaga ini, pemuda desa melakukan perlawanan melalui hukum untuk menolak tambang.

"Karena izin tambang sudah keluar, kami mengajukan agar semua hutan yang belum masuk wilayah IUP (Izin Usaha Pertambangan), sebagai hutan desa. Yakni hutan yang masih asli di desa kami," jelasnya.


Meski melalui jalan yang panjang, pengajuan hutan desa pun dikabulkan. 

"Akhirnya hutan desa dikabulkan. Tujuan hutan desa dibentuk adalah agar penambang tidak bisa memperluas kegiatannya ke hutan tersebut," jelasnya.

Rupa-rupanya, dalam hutan desa tersebut terdapat banyak air terjun yang berpotensi sebagai tempat wisata alam. Diantaranya, Air Terjun Batang Kapas, Air Terjun Sijonjang dan Air Terjun Mudiak Topuk.

Para pemuda dan aparat desa kembali mengadakan forum untuk membuka wisata air terjun bagi wisatawan luar daerah. Tujuan wisata air terjun dibuka adalah agar kawasan hutan tersebut menjadi lebih dikenal masyarakat luas.

"Tahun lalu, kami viralkan lah Air Terjun Batang Kapas yang menjadi air terjun tertinggi di Riau. Kemudian, tahun ini kami memviralkan Air Terjun Sijonjang, sebagai ekowisata alam di Desa Lubuk Bigau," jelasnya.

Menurutnya, pembukaan ekowisata ini memiliki sejumlah tujuan. Selain menarik pemasukan bagi masyarakat desa, pihaknya juga berharap keberadaan ekowisata akan mencegah pembalakan liar terjadi. 

"Kita juga berharap, agar masyarakat yang datang ke air terjun yang ada di hutan desa kami, bisa menyadari bahwa keindahan alam ini harus benar-benar dijaga," jelasnya.

Sementara itu, Manajer Program Yayasan Hutan Riau, Melky Roemania mengatakan bahwa kelestarian hutan di Desa Lubuk Bigau sangat penting untuk dijaga. Pasalnya, jika lahan-lahan desa menjadi tambang batubara dan hutannya menjadi gersang, maka bencana alam akan menimpa desa-desa yang ada dibawahnya.

"Desa Lubuk Bigau adalah wilayah hulu. Jika kelestarian alamnya rusak, bisa terjadi kekeringan dan kerusakan habitat air sungai, longsor dan banjir yang akan menimpa desa-desa lainnya juga," jelasnya.

Oleh karenanya, pihaknya sebagai Yayasan Hutan Riau juga mendukung warga desa untuk membuka ekowisata Air Terjun Batang Kapas dan Sijonjang. Selain itu, masih ada dua air terjun lagi yang akan diekspos di tahun mendatang.

"Misi kita sama seperti lembaga pelestarian lingkungan lainnya. Tetapi, cara kita adalah, untuk menyelamatkan hutan dengan menyelamatkan masyarakat lebih dulu. Jika ekonomi mereka membaik, mereka tidak akan merusak hutannya. Maka dari itu, dengan membuka ekowisata ini, maka pelestarian hutan juga bisa menjadi pemasukan bagi warga desa," jelasnya.

Sementara itu, Pj Kepala Desa Lubuk Bigau, Risman mengatakan pihaknya sangat mengapresiasi upaya seluruh warga dan yayasan untuk mengembangkan sekaligus melestarikan kekayaan alam di Desa Lubuk Bigau. 

Ia mengatakan, hutan desa harus dijaga agar tidak dijarah oleh masyarakat desa maupun orang luar. Jarak hutan desa yang tak boleh ditebang pohonnya adalah sekitar 2 Kilometer dari pinggir jalan dan dari area wisata.

"Karena hutan ini adalah hutan penyangga. Pengolahan hutan tersebut juga akan berdampak merugikan lingkungan dan masyarakat desa sendiri," jelasnya.

Selain itu, ia pun berharap ekowisata alam ini akan mendapatkan dukungan dan perhatian lebih dari Pemerintah Kabupaten Kampar dan Pemerintah Provinsi Riau. Terutama dalam hal pembenahan akses jalan.